buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Thursday 10 October 2013

Masih Juga Mencari 'Bad Boys'?

Bukan rahasia lagi kalau banyak perempuan cenderung menyukai bad boys. Mungkin ini efek kebanyakan nonton film dan baca novel, tapi entah kenapa, mau nggak mau, pasti banyak yang mengakui bahwa bad boys itu menarik. Lihat aja berapa banyak film Hollywood yang mengedepankan cowok-cowok bandel dan membuatnya terlihat menarik. Perempuan ingin bersama mereka, dan laki-laki ingin menjadi mereka. 

Sebenarnya, saya yakin mayoritas perempuan bisa mengetahui apakah laki-laki di depannya termasuk bad boys atau nggak. Tapi kadang mengetahui hal tersebut nggak membuat perempuan berhenti untuk menyukai si bad boys.


Jawaban dari pertanyaan mengapa perempuan menyukai bad boys, mungkin bisa dibagi menjadi dua: karena mereka menganggap lelaki biasa itu membosankan (makanya mencari tantangan) dan kedua, mungkin ini adalah masalah ego.


Berharap mengalami petualangan

Yang namanya bad boys pasti berani mengambil risiko (risk taker). Nggak ada dalam kamus bad boys menghabiskan malam dengan minum susu cokelat hangat sambil menonton televisi. Mereka mungkin sibuk bergaul di luar, flirting sana-sini, atau bahkan melanggar hukum kecil-kecilan. 

Bad boys juga nggak bisa diprediksi, dan sejujurnya akan sangat menyenangkan menghabiskan waktu dengan orang yang sering memberikan kejutan kepada kita. Kalau menghabiskan waktu terus menerus dengan orang yang sikapnya kaku mengikuti aturan, lama kelamaan pasti bosan.  Lagi pula, kita cenderung untuk menghargai lebih hal-hal yang susah kita dapatkan dibandingkan yang mudah didapat. 


Bersama bad boys itu tantangan, dan bersama mereka rasanya hidup itu kayak main judi. Kalau menang, rasanya hadiahnya luar biasa. Hidup jadi lebih menyenangkan, walaupun emosi seperti sedang naik rollercoaster: naik turun dengan cepat. Safe is no fun.


Ego dan keyakinan bahwa kita bisa ‘menjinakkan’ mereka

Dari semua hal yang menarik dari bad boys, yang terlihat paling menggoda adalah harapan bahwa kita bisa mengubah mereka. Memang sih, pada dasarnya perempuan itu memiliki karakter ‘penyelamat’, bawaannya ingin memperbaiki apa yang menurut kita nggak pada tempatnya dan bisa diubah menjadi lebih baik. Perempuan ingin menjadi game changer, yang bisa berkata kepada setiap orang bahwa, ‘dia berubah karena saya, lho....’ Dan ini adalah masalah ego.

Tapi, tahu nggak, ladies? Orang hanya berubah kalau dia mau berubah. Kita bisa menjadi pemicunya—tapi nggak akan pernah terjadi kalau dia sendiri nggak pernah mau itu untuk terjadi.


Kalau dia nggak berubah namun kita tetap ingin bertahan, mengenyampingkan ketertarikan di awal—lama kelamaan pasti kita akan capek. Percayalah. Siapa juga yang sanggup bertahan dengan kekhawatiran dan kemungkinan konflik/masalah yang terus menerus? Walaupun kita senang naik rollercoaster, kalau nggak berhenti-berhenti pasti akan muak. 


Semakin kita dewasa, kita akan semakin sadar bahwa bukan saatnya lagi kita naik rollercoaster, mungkin ini saatnya kita naik komidi putar. Akan tiba saatnya kita butuh laki-laki yang bisa diandalkan. Yang aman. Dan bukan si pembuat masalah. Karena banyak perempuan yang harus belajar dengan cara yang nggak enak untuk menyadari bahwa bad boys yang tidak mau berubah, adalah pasangan buruk. 


Semoga kita tidak mengalaminya.


sumber : yahoo!!! she... 

Wednesday 11 September 2013

Mr. Independent BAB TIGA

Hasby menjatuhkan diri dikursi kayu didepan kanvasnya dan mengernyit merasakan sakit ditulang belakangnya yang menyentuh bangku kayu cukup keras. Luapan amarah masih bergemuruh dihatinya. pikirannya masih dilingkupi oleh hawa panas yang terasa membakar otaknya. Berani-beraninya dia . ia menarik nafas panjang saat merasakan butir-butir peluh membasahi wajahnya. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
Sebelumnya belum pernah ada orang yang mengusiknya seperti anak baru itu. ia berjanji tidak akan pernah membiarkan anak baru itu mengganggu hidupnya lagi. Setelah nafasnya mulai beraturan ia melirik ke kanvasnya. Menatap sosok gadis cantik yang begitu sempurna. Wajahnya, senyumnya, suarannya, wanginya, masih begitu melekat dalam ingatan hasby. Begitu hangat hingga akhirnya matanya menyalang tajam. Ia menekan kepalan tangannya ke kanvas itu hingga menembus kanvas itu, tidak cukup sekali ia melakukan berulang kali hingga kanvas itu hancur tak bersisa. Ia berdiri dari kursinya dan menendang penyanggah kanvasnya hingga terjatuh kelantai. Ia menelan ludah dan menarik nafas sebentar lalu menguatkan hati untuk pergi dari ruangan itu. meninggalkan lukisan itu dengan keadaan mengenaskan. Lukisan yang ia buat selama berminggu-minggu. Lukisan yang sudah begitu banyak menguras waktunya. Dan sekarang ia hancurkan begitu saja.

***

Siska menengguk air mineral yang langsung dibelinya saat sampai dikantin, sedangkan sita hanya diam sambil memegangi pergelangan tangannya yang memerah. “sorry ya ta, gue ga tau kalo ada hasby disana.” kata siska saat berhasil menghabiskan setengah botol dan langsung menatap sita penuh penyesalan. “cewe yang tadi siapa ya sis?” sita bertanya sambil berfikir mencoba mengacuhkan permohonan maaf siska.
“waah… bener-bener lo ya. Udah dibentak-bentak gitu. Masih aja bisa penasaran.” Siska mengerutkan kening sambil geleng-geleng kepala. Mencoba mencari akal supaya sita tidak lagi berurusan dengan hasby.
“siapapun dia, gue ga peduli dan sebaiknya lo juga ga peduli. Lo liat kan ta gimana marahnya hasby tadi?” siska sekali lagi berusaha mengingatkan sita bagaimana amarah hasby tadi. Sita menatap siska sambil tersenyum. Dan lagi-lagi membuat siska menaikkan alis.
“menurut lo lukisan hasby tadi itu sosok nyata atau Cuma imajinasi dia aja?”
“lo bener-bener suka sama dia ya ta?” siska melirik pergelangan tangan sita yang memar akibat cengkraman hasby beberapa menit lalu.
“gue ga papa kok sis.” Katanya mencoba meyakinkan siska kalau memar ditangannya sama sekali bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan walau sebenarnya ia membohongi siska. Cengkraman hasby tidak hanya membuat pergelangan tangannya merah tapi juga meninggalkan rasa nyeri disana. saraf-sarafnya menegang sehingga terasa sakit kalau digerakkan.
“jawab pertanyaan gue ta, lo suka sama hasby?” siska menatap mata sita dalam-dalam. Mencoba mencari kebenaran disana. dengan acuh sita mengangkat bahu lalu beranjak untuk membeli minum. ia kembali dan langsung menyeruput soft drinknya hingga tersisa setengah.
“gue kan udah pernah jawab.” Sita menatap pandangan siska dengan skeptis.
“penasaran? dan masih penasaran setelah liat dia marah kaya gitu?” sekali lagi ia melirik pergelangan tangan sita dan secepat itu juga sita menutupinya dengan tangan yang satunya.
***
Hasby membuka pintu kamarnya dan menimbulkan bunyi berderit cukup keras. Ia melempar tas keatas meja belajarnya lalu menjatuhkan diri ke ranjang bersprei berwana putih itu dengan sepatu yang masih menghiasi kakinya. Pikirannya melayang ke kejadian tadi pagi. Dan seketika itu juga api amarah terasa membakar seluruh tubuhnya. Diingatnya wajah sita yang berbinar penuh keingin tahuan saat melihat lukisannya.
Tok..tok..tok…  suara itu berhasil membuyarkan pikirannya. Setelah mendengar suara mamanya ia menyahut dan mempersilahkan masuk. Setelah pintu terbuka ia mendudukkan diri di ranjangnya sambil menatap wanita muda masuk ke kamarnya.
“kamu baru pulang?” mamanya duduk disamping ranjang dan menatap wajah tampan anaknya. Hasby mengangguk sambil membuka blazer sekolahnya dan menyampirkannya ke kursi belajar yang tak jauh dari sana dengan sembarang.
“tadi di mall mama ketemu vi….” Hasby berdehem cukup keras sebelum mamanya berhasil menyelesaikan kata-katanya. Seakan ia tidak mau nama itu terdengar olehnya. Air muka hasby langsung berubah ,Tapi ia hanya diam, tidak mengatakan sepatah kata pun.
“kamu udah ngelupain dia kan sayang?” hasby sebenarnya ingin berteriak tidak… ia masih mencintai dan menyayangi wanita itu, ia masih berharap semuanya bisa kembali seperti dulu, tapi akhirnya ia menarik nafas panjang dan mengangguk dengan mantap. Mencoba meyakinkan mamanya kalau ia baik-baik saja.
            “hasby baik-baik aja ma.” Katanya lagi saat mendapati tatapan mata mamanya yang masih diliputi keraguan. Mungkin ia memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari mamanya tapi ia tidak mau melihat mamanya terlalu mengkhawatirkannya. Toh, ini Cuma masalah anak muda biasa dan mungkin dirinya yang terlalu melebih-lebihkan.
            ***
            Sita memberanikan diri membuka gagang pintu putih itu. setelah terbuka bau khas langsung menyengat hidungnya. Ia menatap keindahan yang terlihat disekelilingnya. Perpaduan warna yang begitu cantik. Ia mengelilingi ruangan itu, menelik satu-persatu lukisan yang ada disana. mulai dari yang terpajang didinding sampai yang digeletakkan menyandar ditembok juga yang masih kokoh dipenyanggah dan menanti untuk diselesaikan.
            Semuanya indah tapi bukan itu yang ia cari. Ia terus mengelilingi ruangan hingga akhirnya matanya berhenti dipojok ruangan. Kesebuah kanvas yang sudah tak berbentuk dan dibiarkan tergeletak seperti sampah. Perlahan ia bergerak menghampiri apa yang menjadi objek tatapannya beberapa detik lalu.
            “kenapa ancur begini?” ia mengambil kepingan kanvas itu agar bisa melihat kembali lukisan hasby. Dan sekali lagi terpana akan kejeniusan hasby dalam hal yang satu ini. wanita dalam lukisan itu terasa begitu nyata dan begitu hidup.
        
    ***

            “wahai pria tampan yang ada didalam, buruan keluar donk. Gue udah telat nih.” Seorang wanita berteriak nyaring dan langsung memekakaan telinga hasby yang sedang memasang dasinya didepan cermin.
            “berisik banget sih, mobil lo kemana?” katanya sambil menarik bagian segitiga dasinya ke ujung kerah.
            “masuk bengkel sayaaaaang. Hadeh.. buruan deh, gue ada kuis pagi ini tau.” Katanya kesal sambil terus menggedor-gedor pintu kamar hasby.
            “iyeeh baweeeel.” Hasby membuka pintu dan melihat wanita dengan kaos putih dan blazer coklat juga blue jeans. Sepersekian detik setelah hasby menampakkan diri wanita itu langsung menarik tangan hasby menuju ruang makan.
            “makannya dijalan aja.” Wanita itu tersenyum kepada mama hasby dan akhirnya tertawa melihat hasby yang menaikkan sebelah alisnya. “lo pikir gue kuda makan sambil jalan.” Katanya sambil menyeruput susu hangatnya. “hasby… kalo gue ampe telat gue ga mungkin bisa ikut kuis. Dosen yang ini tuh killer banget tau.” Katanya was-was sambil menatap hasby yang terlihat begitu menghayati susu hangatnya seakan sengaja memperlambatnya. “lo kan bisa naek taxi.” Hasby menaruh gelas kosongnya diatas meja makan. Dan mulai memilih roti tawar yang ada dimeja makan. “kan ada elo, ngapain naek taxi. Bareng lo kan ketauan gratis.” Katanya sambil menarik tangan hasby tepat saat hasby berhasil mengambil dua lembar roti tawar dan siap memasukkan ke mulutnya. “tante, via duluan yaa.” Teriaknya sambil menjauh dari ruang makan sedangkan hasby hanya mengikuti arah tangannya sambil berusaha menelan roti yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya.
            “woy, kalo gue mati keselek gimana.” Katanya setelah sampai digarasi dan dengan susah payah berhasil menelan hingga melewati tenggorokkannya. Setelah puas mengomel hasby mulai menjalankan motornya membelah kemacetan ibukota menuju salah satu universitas negeri dijakarta. “ntar ga usah jemput gue, gue bareng temen gue aja.” Hasby yang diajak bicara mengerutkan dahi. “idiih.. lagian siapa juga yang jemput lo. Kerajinan.” Katanya sambil tertawa menampakkan deretan gigi putihnya.
        
    ***

            Sita mengerutu saat mendapati tinta pulpennya habis ditengah-tengah ujian fisika. Ia melirik kearah hasby yang sedang serius dengan lembar jawabannya. Lalu menelan ludah saat mengetahui kalau hasby tidak mungkin bisa dimintai bantuan. Ia meraih tempat pensilnya dan mencoba pulpen yang masih ia simpan disana, tapi naasnya semuanya habis. Inilah kebiasaan buruknya, selalu menyimpan barang yang tidak berguna dan akhirnya malah menyusahkannya. Ia beralih ke tasnya dan mengorek-orek berharap masih ada keajaiban disana. tapi akhirnya ia mendengus saat mendapati usahanya nihil.
            Sekali lagi ia melirik kearah hasby dan berfikir tidak ada salahnya mencoba.
            “by, boleh pinjem pulpen gak?” katanya sambil berbisik berusaha tidak mengganggu ketenangan yang sedang tercipta dikelas itu. tanpa menoleh hasby berkata cepat. “nggak”
            Sudah sita duga, selain jutek hasby juga pelit. “pelit ih.” Katanya refleks dan pelan tapi cukup terdengar jelas ditelinga hasby. “kalau gue juga Cuma punya satu, gimana gue mau minjemin lo. Mending lo beli dikoprasi sana, ada dilorong sebelum kantin.” Katanya sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dan meletakkannya dimeja depan sita. Membuat sita menaikkan alis. Apa maksudnya niih . katanya dalam hati.
            “makasih atas bantuan materilnya, tapi gue ga butuh.” Katanya sambil menggeser uang itu kemeja hasby dan beranjak dari tempat duduknya. Sepanjang perjalanan ke koperasi ia sibuk menggerutu dalam hati tidak menyangka kalau hasby bisa melakukan tindakan seperti itu. dia pikir gue semiskin itu apa? Setelah sampai dikoperasi ia membeli setengah lusin pulpen sekaligus untuk cadangan. Juga sebagai ajang balas dendam pada hasby akibat merendahkannya tadi. Ia tertawa sendiri membayangkan reaksi hasby nanti.  Setelah mengambil kembalian dari pria paruh bawa penjaga koperasi ia kembali ke kelas dan langsung melanjutkan ujiannya agar tidak kehilangan banyak waktu. Setelah bel berbunyi ia lekas maju untuk mengumpulkan lembar ujiannya begitu juga anak-anak yang lain.
            “niih by, buat lo.” Katanya sambil menaruh tiga buah pulpen dimeja hasby, membuat hasby menoleh dengan tatapan bingung. “lo kan ga punya pulpen cadangan.” Sita berusaha menjelaskan maksud dan tujuannya.
            “gue emang ga punya pulpen cadangan tapi gue masih punya cukup uang.” Katanya jutek sambil beranjak dari kursinya, menghilang entah kemana padahal masih ada satu mata pelajaran lagi sebelum istiahat.
            Sita tersenyum melihat raut wajah hasby yang terlihat kesal, tidak.. ia sebenarnya ingin tertawa keras. Rasain lo.. emang enak… kutuknya dalam hati.
            Beberapa menit setelah ibu andien sang guru matematika masuk hasby menyusul dan langsung duduk disampingnya. Sita masih belum bisa menyembunyikan senyumnya bahkan saat guru itu mulai menjelaskan angka-angka dipapan tulis ngalor-ngidul.
            “sita… are you okay??” sita langsung menatap wajah bu andien sambil mengangguk pelan. Ia pikir semuanya sudah selesai tapi ternyata tidak. Bu andien menyuruh sita mengerjakan satu dari tiga soal dipapan tulis. Mati gue… makinya dalam hati. Sita tidak bisa dibilang bodoh tapi jujur ia paling benci dengan pelajaran ini dari dulu. Terus gimana menjawab bahkan sedari tadi ia tidak pernah tau bu andien menjelaskan apa.
            Dengan gemetar ia beranjak dari kursi dan mengambil spidol dari tangan bu andien lalu menatap papan tulis. Wajahnya mulai pucat melihat angka-angka dengan pangkat kuadrat dipapan tulis. Perlahan ia mulai membaca catatan bu andien yang masih ada di papan tulis sebelah kiri atas, berharap mendapat jawaban dari sana. “siapa yang bisa mengerjakan nomor dua?” bu andien bersuara kembali dan sama sekali tidak membantu sita.
            Sita membulatkan matanya saat melihat hasby berdiri disampingnya dan dengan sepertinya dengan mudah mengerjakan soal itu, ia tidak Cuma mengerjakan soal nomer dua tetapi juga soal nomor tiga. Kerjain soal gue juga dong sita berteriak dalam hati sambil menampakkan wajah memelas membuat hasby tersenyum sinis kearahnya. hasby sialan. Sita mengatai hasby saat mendengar hasby berkata “selamat berjuang” dan dengan enteng meninggalkan sita yang masih menjadi tontonan gratis semua penghuni kelas. Sita sempat mendengar ada suara cekikikan yang mungkin mentertawakan kebodohannya.
            “sita.” Suara bu andien menyedarkan sita dari lamunan panjang yang tidak menghasilkan apa-apa. “saya ga ngerti bu.” Jawabnya jujur. “duduk. Lain kali kalau saya sedang menjelaskan tolong diperhatikan ya.” Guru itu mengulurkan tangannya dan mengambil spidol dari tangan sita. Sita tersenyum sambil mengangguk lalu kembali ke mejanya.
            “payaah.. soal kaya gitu aja gak bisa.” Suara hasby membuat sita menoleh dengan geram. Menahan diri untuk tidak mencolok mata tajam hasby dengan jari-jarinya
            ***
            “pak..pak berhenti pak.” Sita membuka kaca gelap mobilnya dan terpaku melihat seseorang yang sedang bermain basket dilapangan belakang sekolah. setelah memberi instruksi supirnya agar pulang duluan ia turun dari mobil dan menghampiri lapangan basket yang berada ditengan sebuah taman hijau itu.
            Hasby berdiri ditengah-tengah lapangan dengan sebuah bola besket ditangannya. Beberapa kali ia mencoba melempar bola oranye itu ke ring tapi gagal. Sita tersenyum “payaah, gitu aja ga bisa.” Ia setengah berlari dan merebut bola basket dari tangan hasby. Mendribblenya dua kali dan dalam satu gerakan melemparkan ke ring dan tepat sasaran.
            Ia tersenyum puas melihat hasby hanya menatapnya tanpa ekspresi. “baru bisa maen basket ya? Gitu aja bangga.” Hasby berjalan kepinggir lapangan. Mengambil ranselnya yang tergeletak disana dan mulai menjauh dari pandangan sita. Sita masih berada ditengah-tengah lapangan dan memperhatkan hasby yang mulai menghilang. Ia sama sekali tidak berniat mengejar laki-laki itu.
untuk masalah yang satu ini sita bisa dibilang berbakat. Sejak SMP Ia selalu menjadi anggota tim basket dan kemampuannya dalam memainkan bola oranye itu tidak perlu diragukan lagi.
Suara dering handphone mengembalikan sita ke alam nyata. Ia melihat wajah siska menghiasi layar ponselnya. Dan akhirnya ia baru ingat kalau ia ada janji untuk pergi ke toko buku. “ta, lo dimana? Gue udah ditoko buku nih.” Siska langsung menyerocos saat sita mengangkat telpon genggamnya. “gue masih dibelakang sekolah, gue langsung kesana niih.” Katanya setengah berlari menuju jalan besar untuk mencari taxi.
        
    ***

            “ampun deh ya, lo itu naek odong-odong yaa. Lama amat nyampenya. Gue ama ricky hampir lumutan nih.” Omel siska saat melihat sita menghampirinya. Sita tertawa melihat siska mengerucutkan bibirnya. Agak keterlaluan memang, karena sita yang minta diantar siska ke toko buku tapi malah membiarkan ia dan ricky menunggu lama karena ia tidak bisa menahan diri untuk mengalihkan pandangannya ke hasby yang sedang asik sendiri dilapangan basket.
“ricky mana?” sita melihat kebelakang siska, mencoba mencari keberadaan ricky.
“dia lagi asik maen di fun world.” Mereka akhirnya masuk kesebuah toko buku di mall itu. sita berniat membeli beberapa buku yang ia butuhkan untuk sekolah barunya sedangkan siska malah sibuk ke rak novel.
“ga usah beli buku banyak-banyak ta, kaya dibaca aja.” Siska menghampiri sita dengan sebuah tas plastik tempat buku-buku yang akan dibelinya.
“biar ga dibaca tapi harus punya, lo tau sendiri kalo hasby pelitnya minta ampun.” Siska terdengar tertawa kecil saat sita menampakkan wajah jengkel saat menyebut nama hasby.
“heyy.. wanita-wanita rumpi.. udahan belom? Kagak pada inget rumah apa ya?” suara itu berhasil membuat kedua wanita itu menoleh kearah datangnya suara secara serempak. Ricky berada tak jauh dari tempat mereka berdiri, seragamnya sudah kusut dan wajahnya tampak lelah. Seperti anak kecil yang baru saja bermain dikubangan lumpur.
“Lo kenapa ky, muka lu kusut amat?” Tanya sita sambil memasukkan buku terakhir ke tas plastik yang dipegangnya. “kusut juga masih ganteng kan?” ia tertawa lalu jalan mendekat. “gue abis adu maen basket sama anak orang.” jawabnya polos sambil mengambil tentengan dari tangan pacarnya. “biar gue tebak. Lo pasti kalah.” Sita menyahut sambil berjalan duluan menuju kasir. “gue bukannya kalah, tapi gue ngalah.” Jawabnya penuh percaya diri, tapi sita justru terkekeh mendengar jawaban ricky.


BERSAMBUNG KE BAB EMPAT

Thursday 5 September 2013

Mr. Independent BAB DUA

Sita sampai disekolah saat jam masih menunjukkan 06.05. udara masih begitu segar saat ia menghela nafas panjang dan angin sejuk memenuhi paru-parunya. Ia berjalan pelan melewati koridor-koridor menuju kelasnya dan mengedarkan pendangan kesekeliling. Mencoba memperhatikan sekolah barunya. Sekolah barunya termasuk sekolah swasta elit kalau dilihat dari bentuk gedung memang lebih mewah daripada sekolah-sekolah lain. Memiliki fasilitas-fasilitas extra yang mungkin tidak akan ada disekolah-sekolah lain. Terdiri dari empat lantai yang dilengkapi dengan lift untuk mencapai tiap lantainya. Dibagian kanan sekolah ada taman yang cukup luas, hijau dan menawarkan kesejukan untuk mata yang memandang. Lantai dasar dipergunakan sebagai kantor guru, ruang tata usaha, laboraturium-laboratorium praktek dan juga lapangan olahraga baik indoor maupun outdoor. Sedangkan untuk tiga lantai atas sebagai ruang kelas.
            Ia keluar dari lift dilantai tiga dan berjalan menuju ruang kelasnya dan berfikir kalau ia sepertinya datang terlalu pagi karena sekolah masih sangat sepi. ia masuk kekelasnya dan melihat sosok hasby sudah duduk rapi dibangkunya. Ia tersenyum lebar dan langsung menghampirinya. “kemaren gak pulang ya?” ia tersenyum sambil melepas tasnya dari gelungan pundaknya. Hasby menoleh dan langsung menatap sita tajam.
            “lo emang biasa dateng jam segini ya?”
            Suasa hening… beberapa detik berlalu dan hasby belum juga membuka suara untuk menjawab pertanyaan sita. Lo itu tuli ato apa sih by?? Aneh banget jadi orang. batinnya
            “gak usah sok kenal deh sama gue. Gue gak suka.” Hasby membanting komik yang sedang dibacanya diatas meja dan beranjak pergi dari sana. Meninggalkan sita dalam kebingungan yang luar biasa.
            “Ini gue yang salah apa emang dianya yang aneh siih? Perasaan pertanyaan gue wajar deh.” Sita berkata pada diri sendiri.tapi sesaat kemudian ia tersenyum, membayangkan raut wajah hasby yang jutek malah membuatnya ingin tertawa. Entah perasaan apa yang menyulut garis bibirnya hingga mengembang. Dan dihatinya, saat melihat hasby yang muncul adalah rasa penasaran bukan kekesalan atau yang lainnya. Ia yakin dan percaya kalau semua sikap hasby yang tidak wajar itu pasti beralasan. Dan entah sejak kapan ia bertekad untuk mengatahui alasan itu.

            ***

            “sis, lo tau ga sih kenapa hasby itu bisa sejutek itu?” sita bertanya pada siska saat mereka berada dikantin. Siska yang sedang larut dengan makanannya mulai tertarik mendengar pertanyaan sahabat barunya itu. ia lantas melepaskan tangannya dari sendok garpu dan menumpuk kedua lengannya diatas meja. “udah gerah ya sama sikapnya?” katanya setengah berbisik. Sita hanya mengangguk seraya membenarkan. Diingatnya sepanjang pelajaran tadi hasby sama sekali tidak menoleh kearahnya maupun mengajaknya bicara. Laki-laki itu seakan tidak pernah menganggap kalau sita ada disampingnya.
            Sitapun akhirnya menceritakan insiden tadi pagi dan membuat siska terbahak, seakan sita baru saya menceritakan kejadian lucu. Ia mendengus dan pasrah dirinya dijadikan bahan tertawaan sahabat barunya itu. “kalo lo mau cari aman sama hasby? Satu-satunya cara ya lo diem. Anggep aja hasby ga ada.” Siska terkekeh dengan kata-katanya sendiri. Membuat sita mengernyit. “gilo lo, lo pikir gue batu apa.” Jawabnya lantang walau sebenarnya kalau dipikir-pikir mungkin itu adalah pilihan terbaik.
            “lo tau gak sih kenapa dia bisa kaya begitu?” saat sita bertanya ricky datang menghampiri mereka dan langsung duduk disamping wanitanya. Mencoba langsung menatap gadis didepan dan disebelahnya seakan tidak ingin ketinggalan berita. “ada apa nih, dari jauh keliatannya seru banget?” dan tanpa basa-basi siska menceritakan semua yang baru saja diceritakan sita kepada ricky, membuat laki-laki itu tertawa juga.
            “haduh.. udah donk.. cariin solusi kek, malah ngetawain lagi.” Sita merajuk melihat kedua temannya malah sibuk menertawakan dirinya.
            “abis lo lucu ta, udah dibilang kemaren hasby itu jutek. Malah berani-beraninya nyapa dia.” Ricky terkekeh membayangkan ekpresi jutek hasby.
            “emang dia semenakutkan itu ya?” sita bertanya tepat saat pesanannya datang. Setelah mengucapkan terima kasih kepada penjualnya ia langsung mengadu sendok dan garpu dipiringnya.
            “lebih dari itu sita. Hasby itu terkenal dingin banget sama cewe. Lo mau nanya baik-baik juga pasti jawabannya pasti jutek.” Siska memperhatikan sita yang sibuk dengan makanannya tapi ia tahu kalau telinga sita pasti masih difungsikan seratus persen.
            “pantes aja duduk sendiri. Pasti ga akan ada yang mau deket-deket sama dia.” Sita masih mengunyah saat mengeluarkan kata-kata barusan. Membuat siska yang sedang menyeruput soft drinknya menggeleng cepat. “jangan salah, salah satu cewe paling tajir dan paling popular disekolah ini justru cinta mati sama dia.” Sita mengernyit dan sesaat terbersit wajah hasby. Wajah hasby memang tampan, dan sejauh yang ia lihat ia tampak sempurna secara fisik. Walau pada akhirnya tuhan menunjukkan keadilannya. Hasby diberi fisik yang rupawan tapi tidak dengan sikap dan sifatnya.
            “kayanya sejauh ini Cuma dia yang kebal sama hasby. Tapi udah dikejar kaya apa juga hasby mana mau luluh. Lagian siapa juga mau sama cewe kaya dia.”
            “kaya gimana maksud lo?”
            “sok berkuasa mentang-mentang orang tuanya termasuk salah satu donator terbesar disekolah ini. suka berbuat seenaknya, pokoknya cewe yang super duper nyebelin deh.” Siska menggeram mengingat sikap cewe yang diceritakannya. Membuatnya terbakar emosi. Dan seketika itu juga membuat sita terkikik. “lo kayanya punya dendam pribadi ya sama tu orang?” simpulnya
            “gue ga suka aja sama sikapnya yang sok berkuasa itu. untungya dia minggu ini lagi izin. Kabarnya sih keluar negeri. Tau deh negeri mana. Gue berdoa sih semoga tu anak nyasar terus ga balik lagi kesini.” Katanya sambil tertawa membayangkan betapa damainya sekolah ini kalau keinginannya menjadi kenyataan.
            “cewe lo parah banget ky.”. ricky langsung mengangguk membenarkan. “kalau ngomongin tu orang emang dia selalu emosi bawaannya.”
        
    ***

            “pak..pak tolong ikutin motor itu dulu ya. Tapi agak jaga jarak” Sita menyuruh supirnya membelokkan mobil kearah berlawanan dengan arah yang seharusnya. Ia melihat hasby dan motornya menikung tepat didepan mobilnya. Walau hasby memakai helm full face dan jaket yang menutupi seluruh badannya dari panasnya sinar matahari.  Ia yakin karena sangat mengenali ransel hasby. Atau entah sejak kapan ia mulai memperhatikannya. Dengan patuh, mobilnya kini mengekori sepeda motor hasby dengan jarak agak jauh tapi masih bisa dilihat.
            Motor mewah hasby meluncur mulus membelah kemacetan Jakarta. Ia mulai masuk kesebuah komplek yang sebenarnya tidak jauh dari sekolahnya dan masuk kesebuah rumah berplang “SANGAR SENI ANANDA”.
            Sita menyuruh supirnya berhenti lebih dekat lalu membuka kaca mobilnya. Ia melihat hasby memarkirkan motornya dipelataran sanggar. Beberapa anak disana terdengar menyapa dengan senyum paling ramah. Hasby terlihat melengkungkan garis bibirnya sambil membuka jaketnya dan langsung masuk kedalam sanggar.
            Itu orang bisa senyum juga toh. Tapi Buat apa hasby disini?? Apa dia salah satu anggota disanggar ini?? sita membatin sambil menyuruh supirnya kembali menginjak gas. Tapi semenit kemudian ia kembali menyuruh supirnya berhenti karena rasa penasaran kembali menyeruak dihatinya.
            “bapak pulang duluan ya, nanti sita naik taksi aja.” Katanya sambil turun dari mobilnya. Setelah orang yang diajak bicara mengangguk mobilnya mulai berjalan meninggalkannya hingga hilang dari pandangan. Ia kembali mendekati rumah berplang itu dan memperhatikan sejenak. dari luar gerbang ia dapat melihat dengan jelas beberapa anak yang kemungkinan usia SMP dan mungkin sebayanya terlihat bergerombol dihalaman sanggar. Setelah memperhatikan sebentar ia berbalik dan masuk ke sebuah café yang tepat berada didepan sanggar itu. ia bisa jamin kalau orang yang ada dicafe itu sebagian adalah anggota disanggar itu karena letak café berada tepat didepan sanggar dan beberapa dari mereka terlihat memakai kaos yang sama dengan tulisan yang sama dengan nama sanggar. ia mengedarkan pandangan dan langsung duduk dipojok ruangangan dekat kaca yang arahnya langsung menghadap kegerbang sanggar. setelah memesan minum yang sita lakukan hanya memandang kearah gerbang sanggar hingga akhirnya terdengar suara anak-anak sebayanya yang duduk didepan mejanya.
            “ka hasby emang pendiem gitu ya orangnya?” seseorang yang berambut pendek yang masih berseragam SMP terlihat bersemangat bertanya dengan dua orang dihadapannya.
            “emang gitu, tapi kalo lo udah kenal. Ka hasby baik kok.” Orang yang berbaju merah menyahut sambil tersenyum.
            Sita makin menajamkan telinganya mendengar nama hasby diperbincangkan.
            “tapi aneh ya, ganteng-ganteng gitu kok ga punya pacar.” Salah seorang yang lain buka suara.
        
    ***

            Hasby memarkirkan motornya dan langsung masuk kedalam sanggar. menyapa beberapa anak yang langsung menyambutnya dengan senyum paling manis. Setelah manaruh tas diruang aula. Ia bergegas kebelakang sanggar. hanya disini ia bisa tersenyum ramah  Karena pada kenyataannya hanya disinilah ia merasa nyaman. Hanya dirinya, kuas dan kanvas.
Sudah bertahun-tahun ia menghabiskan waktu ditempat ini. mulai dari menjadi anggota sanggar lukis hingga sekarang menjadi salah satu pengajar disini. Ia melangkah menuju gazebo luas tempatnya mengajar. Melihat dari jauh anak-anak yang sudah berkumpul menunggunya.
            Jam menunjukkan pukul 16.50 ia keluar dari sangar menuju café diseberang untuk membeli minum. sejak keluar dari sanggar matanya langsung tertuju ke salah satu bangku café yang ditempati seorang gadis berseragam dan saat mata mereka bertemu gadis itu langsung menutup wajahnya dengan buku menu.
            Hasby masuk kecafe itu dan langsung memesan jus alpukat favouritnya. Terdengar beberapa anak yang dikenalnya menyapa ramah. Tapi mata hasby hanya menatap ke pojok ruangan, ke tempat beberapa menit lalu pandangannya tertuju. Setelah meyakinkah diri bahwa ia mengenal orang yang duduk disana ia menghampiri.
            “ngapain lo disini?” katanya . sepersekian detik kemudian sita terpaksa menurunkan buku menu yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ia tersenyum melihat hasby dengan wajah datar menatapnya bak polisi yang menemukan tersangka.
            “emang gue ga boleh ada disini.” Sita membalas tatapan hasby yang semakin tajam
            “lo ngikutin gue?” hasby mengingat mobil yang mengikutinya dari tikungan sekolah menuju sanggar.
            “ternyata selain jutek, lo juga kepedean banget yah. Siapa juga yang ngikutin lo. Inikan tempat umum, suka-suka gue donk.” Sita tertawa melihat wajah hasby yang mulai menampakkan kebingungan besar. Hasby masih berdiri ditempatnya sedangkan sita sudah beranjak mendekati kasir dan setelah membayar minumannya ia keluar dari café diikuti tatapan heran dari beberapa penghuni isi café.
        
    ***

            Sita terlonjak dari tidurnya saat menyadari sinar matahari terasa menyilaukan wajahnya. Ia mengerjapkan mata dan terperangah melihat jam sudah menunjukkan pukul 06.15. Ia berlari menuju kamar mandi dan dalam jangka waktu beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi. “ma, sita duluan yaa.. udah telat nih.” Ia mencium punggung telapak tangan ibunya dan mengambil sepotong roti ditangan ibunya. Setelah mengucapkan salami ia tersenyum melihat ibunya yang geleng-geleng kepala.
            “ayo berangkat pak.” Sita menepuk pungguk supirnya dan hampir saja membuat kopi yang baru diseruput pria paruh baya itu menyembur. “iya non.” Katanya sambil menghabiskan segelas kopi miliknya sebelum akhirnya mengikuti sita masuk ke mobilnya.
            Dimobil sita sibuk memperhatikan jam tangannya. Waktu berjalan cepat tapi ia merasa gerak mobilnya lambat karena macet yang sudah dimulai dijalanan ibukota. Dan mobilnya berhenti mulus didepan gerbang sekolahnya yang sudah tertutup tepat saat jam menunjukkan pukul 07.20. ia langsung menghambur keluar dari mobil dan sedikit membanting pintu mobil sebelum akhirnya berhasil mencapai gerbang.
            Untung saja satpam yang baik hati itu masih memperbolehkannya masuk. Sedetik setelah pintu gerbang terbuka ia berlari sekuat tenaga menyusuri lorong-lorong menuju lift yang berada di ujung koridor. Tapi belum sempat ia mencapai lift. Di pertigaan koridor ia menabrak seseorang hingga jatuh tersungkur. Ia belum mendongkak karena mulai merasakan lututnya yang terasa panas. “kalo mau main lari-larian jangan disini. Dilapangan sana.” Suara yang begitu dikenal sita membuatnya terpaksa menengadahkan kepalanya. Hasby berdiri disana dengan wajah datar seperti biasa. Dan yang paling tidak diduga sita adalah, hasby hanya menatap sita sebentar lalu berlalu begitu saja. Tanpa memberikan pertolongan atau hanya sekedar basa-basi meminta maaf.
        
    ***

            Setelah mengumpulkan sisa-sisa tenaga sita kembali berdiri dan sekilas melihat lututnya yang memerah dan ada rasa nyeri disana. hasby sialan runtuknya dalam hati. Setelah meminta maaf dan menberika beribu-ribu alasan dari guru piket, ia bisa meluncur mulus ke kelasnya tanpa mendapatkan hukuman karena telat. Hasby duduk tenang dibangkunya dengan raut wajah yang sama sekali tidak bisa ditebak. Hasby Belum menatapnya dan berbicara apapun saat sita berhasil mendudukan diri disana.
            Tapi saat sita mengeluarkan buku pelajarannya hasby menoleh kearahnya, memutar badannya empat puluh lima derajat kearahnya. cukup lama menatap sita dengan tatapan datar dan ekspresi tidak terbaca. Seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi begitu sulit keluar dari tenggorokkannya. Apa sebegitu sulitnya minta maaf . sita berkata dalam hati. Sita yang merasa risih akhirnya menyeletuk. “ga usah minta maaf, gue yang salah.” Sita membalik badan berusaha menghindari tatapan hasby yang terasa sedingin es.
            “gak salah?” suara hasby berhasil membuat sita kembali menoleh. Ia menaikkan alis karena bingung
            “siapa juga yang mau minta maaf. Gue Cuma mau bilang, jadi anak baru kok telat.”
            “anak baru juga manusia kali.” Sita mendengus dengan marah sekaligus malu karena berfikir laki-laki disampingnya ingin meminta maaf padanya. Ia kembali memfokuskan pandangan kedepan. Ke seorang guru wanita yang sibuk mengoceh tentang sejarah kemerdekaan Indonesia.
            “ternyata hasby selain dingin dan jutek, juga tidak berperi kemanusiaan yaa.” Sita mengoceh saat siska datang bermaksud mengajaknya ke kantin sekolah. Orang yang dibicarakan kebetulah sudah kabur entah kemana tak lama setelah bel istirahan berbunyi.
            Siska manatap tajam kearah sita, ada keingintahuan disana. setelah menghela nafas panjang sita menceritakan kejadian tadi pagi. Dan kali ini tidak membuatnya tertawa tapi simpati kepada kemalangan yang dialami oleh gadis yang kini menjadi sahabatnya itu.
            “sabar ya ta, gue ga tau kalau hasby jadi kelewatan gitu.” Siska melempar pandangan kasihan kepada sita.
            “tapi lo tau sanggar seni ananda gak?” raut wajah dan cara bicara sita berubah antusias saat mengingat sesuatu. Membuat siska mengernyit karena merasa kalau sahabatnya sangat pintar memainkan raut mukanya. Ia diam sambil menerawang, mencoba mengingat sesuatu yang ditanyakan sita.
            “yang ada dikomplek belakang sekolah?” katanya meyakinkan sedikit ingatannya.
            “iya.”
            “kenapa emang sama sanggar itu?” katanya sambil membolak-balik buku catatan yang ada didepannya.
            “kemaren gue ngikutin hasby sampe kesana.”
            “HAH??” kali ini siska tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Memikirkan apa maksud sita mengikuti hasby sampai sana. “waah… lo cari masalah aja deh. Tapi dia gak tau kan?”
            “dia ngeliat gue dan kayanya dia pasti tau persis kalogue ngikutin dia.”
Siska menepuk jidatnya mendengar tingkah konyol sahabatnya. “jangan bilang lo suka sama hasby?”
            Sita mengulum senyum dan membuat siska semakin waswas. Pasalnya kalau sampai sita tertarik dengan hasby dan menunjukkan secara terang-terangan, sita juga pasti akan berurusan dengan elit. “mungkin, gue ngerasa dia beda aja dari yang lain.” Sedetik kemudian siska menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai tanda ketidaksetujuannya. Membuat sita kembali berujar “bukan berarti gue mengharapkan dia juga, tapi yang jelas gue harus tau alasan kenapa dia bisa sedingin itu sama cewe.”
  
***

            Sita memasuki gerbang sekolahnya saat hari masih sangat pagi. Beberapa petugas kebersihan terlihat sibuk mengepel sepanjang koridor sekolah. “hasby?” sita menatap bingung melihat hasby sudah terduduk dibangkunya. Emang selalu sepagi ini ya? Ia menelan ludah dan berjalan pelan menghampirinya. Suasana begitu hening karena tidak ada yang membuka suara. Seperti biasa, hasby sedang sibuk dengan komik favouritnya. Hasby sendiri menyadari kedatangan sita. Tapi ia lebih memilih diam dan menganggap tidak ada orang. sebelumnya juga seperti itu.
            “lo anggota disanggar ananda itu ya by?” dengan keberanian penuh sita bertanya. Terdengar suara helaan nafas dari laki-laki disampingnya disusul suara berdebam keras dari buku yang dibanting. “bukan urusan lo.” Katanya cepat.
            “gue nanya baik-baik by, bisa nggak jawabnya ga usah ketus gitu?” sita menatap hasby yang masih acuh. Laki-laki itu menoleh. “gak bisa. Kalo ga mau diketusin ga usah ikut campur urusan orang.” hasby memundurkan bangkunya dengan keras dan berjalan hingga berlalu dari pandangan sita. Tapi entah dorongan apa yang membuat sita akhinya ikut keluar dari kelas. Ia melihat kesekeliling dan menemukan hasby didepan lift. Dia setengah berlari, tapi akhirnya ia menendang bak sampah didepan lift hingga meninbulkan bunyi nyaring saat lift itu sudah bergerak turun. Tak lama pintu lift terbuka, sita masuk dan menyusul hasby, walau ia sama sekali tidak tau hasby mendarat dilantai berapa. Ia akhirnya menekan tombol satu. Setelah pintu terbuka ia melihat kesekililing dan sama sekali tidak meninggalkan jejak hasby. Setelah berfikir cukup lama ia mulai bergerak ke koridor sebelah kanan. Kenapa gue jadi aneh gini sih,  sita mulai bertanya-tanya dalam hati atas rasa penasarannya atas semua sikap hasby. Selama masuk sekolah ini ia benar-benar menjadi orang yang tidak dikenalnya. Suka bersikap impulsif dan ia benar-benar membenci dirinya sendiri.
            Ia terus berjalan hingga akhirnya sebuah ruangan menarik perhatiannya. Ruang galeri, ia melongok kejendela bening yang menyelimuti ruangan itu. tembok yang menghalangin pandangan hanya sebatas lehernya. Sehingga ia bisa dengan jelas siapa sosok yang baru saja mendudukan diri disana. Hasby… sedang mengayunkan kuas diatas kanvas dengan posisi memblakanginya sehingga sita tidak bisa melihat apa yang dilukis hasby. Dengan penasaran ia berjalan pelan kepintu galeri yang tidak tertutup rapat untuk melihat hasby lebih jelas.
            Beberapa menit ia berdiri disana sama sekali tidak membuatnya bisa melihat kanvas hasby. Ia berfikir kalau hasby mungkin saja meluapkan amarah padanya diatas kanvas itu.
            “dooorrr…” suara itu hampir saja membuat jantungnya copot kedasar jurang. Tapi sedetik kemudian hening menyelimuti mereka. Sita hanya menatap hasby yang kini menolehnya dengan wajah merah padam. Begitupun siska yang sadar kalau ia bercanda disaat yang tidak tepat.
            “lo lagi?? Ngapain sih?” hasby maju mendekati sita yang langsung beringsut menjauh dan menabrak siska yang ada dibelakangnya. Dan saat itulah sita bisa melihat apa yang sedang dilukis hasby. “cantik.” Ia tidak sadar mengucapkan kata itu keras-keras, membuat amarah hasby makin tersulut. “dia siapa by?” sita bertanya tanpa melihat hasby yang siap meledakkan amarahnya. Sedangkan siska sudah berusa menyadarkan sita dengan menarik tangannya. Tapi sita masih diam disana. menatap seorang wanita cantik yang tergambar dikanvas hasby. Wanita tinggi dengan kulit kuning lansat dan rambut yang keriting menggantung sampai pinggang. Wanita anggun dengan gaun putih selutut yang sedang tersenyum manis kearahnya.
            “CUKUP, SEKARANG LO PERGI ATAU GUE YANG BAKAL NYERET LO KELUAR DARI SINI.” Hasby mencengkeram pergelangan tangan sita, membuat sita tersadar kealam nyata dan langsung meronta sekuat tenaga. Tapi usahanya gagal saat cengkraman hasby semakin mengencang dan ia yakin akan meninggalkan bekas memar dipergelangan tangannya.
            “ini kan tempat umum. Gue boleh donk ada disini juga?”  sita menantang saat dirinya mulai kelelahan karena usahanya melepaskan diri dari hasby tidak juga berhasil.
            “tapi bukan berarti lo bisa nanya-nanya seenaknya. Lagian lo bukan salah satu anak lukis kan? Jadi bisa dibilang LO TERLARANG MASUK RUANGAN INI.” mata tajam hasby membara menatap sita dan cengkramannya semakin kuat, membuat sita mengernyit kesakitan. Ia sebenarnya tidak mau berbuat kasar kepada siapapun. Tapi anak baru yang ada dihadapannya ini benar-benar menganggu hidupnya. Dan ia sama sekali tidak menyukai itu.


BERSAMBUNG KE BAB TIGA

Saturday 24 August 2013

Mr. Independent BAB SATU


            “saya sita azzahra. Saya pindahan dari Bandung.” Sita yang berseragam putih abu-abu berdiri disekitar tigapuluh orang sebayanya. Diliriknya sekeliling, orang-orang didepannya tersenyum ramah. Membuatnya berfikir mungkin tidak akan terlalu sulit memulai adaptasi baru disini.
            “kamu boleh duduk ditempat yang kosong nak,” kata seorang guru dengan arah pandang yang menunjukkan satu-satunya bangku kosong ditempat itu. ia mengernyit menatap sesosok laki-laki sebagai penghuninya. Ia terlihat sibuk menatap buku dimejanya tanpa memperhatikan kegiatan sekitar. Dengan ragu ia berjalan mendekati arah pandangnya. Dan setelah berhasil mendudukan diri ia memberanikan melirik ke orang disebelahnya yang belum juga menoleh. “gue sita.” Katanya sambil mengulurkan tangannya. Beberapa detik tapi orang yang diajak berkenalan sama sekali belum menoleh kearahnya. “gue sita.” Ia bergumam kembali saat tidak mendapat tanggapan dari orang disebelahnya.
            “Hasby.” Katanya pelan tanpa menoleh kearah sita.
            “siapa?” tanyanya lagi, masih mengacungkan tangan berharap uluran serupa
            “Hasby” laki-laki itu masih belum menoleh. Membuat sita mengerutkan dahi.
           “siapa?” sita masih berusaha melambaikan sebelah tangannya. Berharap dapat balasan layaknya orang berkenalan.
            “MAHERZA HASBY ALFARIZY. Budeg banget sih lo.” Sita mendadak pucat saat hasby menoleh dan mengucapkan namanya keras-keras. Membuat semua mata anak menoleh karahnya. Sedetik kemudian terdengar suara anak-anak yang menahan tawa. Untung saja entah sejak kapan guru yang tadi mengantarnya lenyap tak berjejak. Ia masih menatap hasby penuh Tanya dan masih mengulurkan tangan.
            Hasby melirik tangan sita yang terulur lalu kembali ke bacaannya, tidak memperhatikan raut wajah sita yang kebingungan.
            Bukan salam perkenalan yang baik, katanya dalam hati. Ia menghela nafas dan langsung mengeluarkan buku catatan saat guru kembali kekelas dan kembali meracau didepan. Sesekali ia melirik kesamping, melihat orang yang baru saja diketahui bernama hasby yang begitu tenang. dan setelah diperhatikan ia berkesimpulan kalau hasby adalah tipe orang yang tidak terlalu pandai bersosialisasi. Tapi, sesaat ia mengingat wajah yang baru saja menatapnya. tampan, ia bergumam.

            Sita terpaksa ikut pindah saat ayahnya dipindahtugaskan dikota ini. Ia sendiri sebenarnya berat meninggalkan bandung karena ia lahir dan besar disana. terlalu banyak kenangan manis dikota paris pan java itu. tapi mau bagaimana lagi.
            Dering bel istirahat menggema diseantero sekolah. Membuat semua anak yang terkurung dikelas menghambur keluar kelas.
            “gue boleh tau ga dimana kantinya?” tanya sita kearah hasby saat melihat beberapa anak dikelasnya mulai berjejalan keluar.
            “kayanya gue bukan satu-satunya orang yang ada disini deh. Jadi mending lo Tanya orang lain sana.” Suaranya begitu enteng dan tatapannya masih ke buku bacannya. Sama sekali tidak melihat sita yang amarahnya sudah merambat ke ubun-ubun.
            Seseorang yang masih berada dikelas itu dan duduk tak jauh dari sana mendengar percakapan mereka dan tersenyum . “lo ikut gue aja ayo. Percuma nanya sama hasby.” Ia tersenyum mengisyaratkan agar sita mengikutinya. Sita tersenyum sinis kearah hasby lalu mulai beranjak dari tempat duduknya. Ia setengah berlari agar bisa mensejajarkan langkahnya dengan laki-laki itu.
            “gue ricky.” Katanya sambil mengulurkan tangannya. Sita tersenyum lalu menjabat tangannya. “ga usah heran ya sama hasby. Dia emang kaya gitu.” Laki-laki itu terkekeh saat mereka memasuki gerbang hijau yang sudah dipadati siswa-siswi lain. Ricky mengedarkan pandangannya kesekeliling ruangan besar itu. mencoba mencari meja kosong.
            “emang jutek gitu orangnya?” Tanya sita saat mereka berhasil menemukan satu meja kosong. Ricky hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan sita. “lo mau makan apa? Biar gue pesenin sekalian?” sepersekian detik setelah ricky bertanya ia mengedarkan pandangannya kesekeliling dan menjawab “bakso aja, thanks sebelumnya.” Ricky tersenyum lalu melangkah pergi.
            Ia mengarahkan pandangan kesekeliling dan mendapati tatapan aneh dari yang orang-orang disana. mungkin mereka sadar kalau ada anak baru disekolah mereka. Beberapa orang tampak tersenyum ramah padanya.
            Beberapa menit kemudian ricky kembali dengan seorang wanita disebelahnya. “ta, kenalin ini siska, cewe gue.” Katanya sambil duduk dibangku sebrang diikuti cewe manis disebelahnya. “siska.” Katanya ramah sambil menjabat tangan sita. Setelah sita menyebutkan namannya makanan pesanannya datang.
            “pindahan dari mana ta?” Tanya siska kearah sita yang sedang sibuk dengan makannnya. Belum sempat ia membuka mulut ricky menjawab. “bandung” sita tersenyum melihat siska yang melirik sebal kearah ricky. “masuk ke kelas mana?” tanyanya lagi.
            “ke kelas aku.” Lagi-lagi ricky mengambil alih bagian sita menjawab. Membuat sita tersenyum melihat raut wajah siska yang semakin sebal sedangkan ricky terlihat cuek dan sibuk dengan garpu dan sendok ditangannya. Bersamaan dengan itu ia melihat hasby masuk kekantin seorang diri dan langsung duduk dipojok ruangan. Tempat yang cukup membuat sita bisa melihat jelas kearahnya. wajahnya terlihat dingin dan tanpa ekspresi.
            “hayooo… kenapa ngeliatin hasby?” suara siska membuatnya tersadar sekaligus malu karena ketauan memperhatikan hasby. Ia hanya terseyum kecil.
            “lo udah kenalan ta sama hasby?” Tanya siska.
            “udah, udah dibentak juga malah.” Ricky kembali buka suara dan benar-benar membuat pacarnya jengkel.
            “daritadi aku tuh nanya sita. Kenapa kamu mulu yang jawab. Kamu udah ganti nama jadi sita. Hah?” kali ini ricky mendongkak dan menatap wajah pacarnya yang diliputi kejengkelan. Ia tertawa melihat siska mengerucutkan bibirnya. “abis kalo denger suara kamu, aku bawaannya mau nyaut mulu.” Ia masih terkekeh hingga akhirnya melanjutkan makannya.
            “jadi beneran lo udah dapet salam perkenalan dari hasby?”
            “udah, dia duduk disamping hasby malah.”
            “kamu bisa diem dulu gak? Kalo nggak aku sumpel juga mulut kamu pake tisu.” Siska melirik kearah tisu dimeja lalu membulatkan matanya kearah ricky yang tertawa dan langsung meminta maaf.
            “jadi bener lo duduk disamping hasby?” kali ini ia menatap sita yang mengangguk sambil tersenyum. Terdengar suara siska tertawa, membuat sita menaikkan alis. “kalau begitu lo harus siap-siap memperbanyak stok kesabaran lo.”
  “emang bakal separah itu ya?” kali ini sita mencoba bertanya apa yang sejak tadi berputar dipikirannya. Gadis manis didepannya terlihat mengangguk lalu menengguk es teh manis dari gelasnya sebelum akhirnya berbicara. tenang aja, sebenarnya dia baik kok. Gue dulu satu SMP sama dia,dulu dia gaa kaya gitu. Emang sih klo liat sikap dia kaya gitu, siapa yg mau deket sama dia. Belum deket aja udah pada kabur tuh cewe-cewe. Tapi tenang aja, dia nggak gigit kok. Kalo lo pengen deket sama dia, lo Cuma perlu mahamin dia, dan buat dia nyaman ada disamping lo. Dan yang perlu lo tau Dia itu orangnya mandiri banget. Dia selalu ngerasa bisa ngelakuin apa-apa sendiri. Makannya dia nggak begitu suka bersosialisasi kaya kita-kita. Dia ampe dapet julukan Mr.INDEPENDENT.” siska terus mengoceh tentang hasby dan sita hanya memperhatikannya dengan cermat tanpa ingin ketinggalan satu beritapun tentang hasby.
            Sita menimpali kata-kata siska dengan sebuah senyuman dan kembali memusatkan perhatiannya ke mangkuk yang isinya sudah berteriak-teriak minta dihabiskan. Sekilas ia melirik hasby yang masih terduduk dibangkunya dipojok ruangan seorang diri. ia tidak memperhatikan sekelilinganya bahkan mungkin ia merasa punya dunia sendiri.

bersambung ke BAB DUA



Saturday 29 June 2013

Tetesan Tinta 2

Tidak semua orang Hebat selalu menang.. 
ada mereka yang justru kalah karena mereka Hebat...

Saturday 22 June 2013

Tetesan tinta 1

Hidup itu bukan PILIHAN tapi PERJUANGAN
 banyak org yang nyatanya tidak punya PILIHAN,, tapi semua org pasti pernah merasakan PERJUANGAN

Friday 14 June 2013

Cinta Atau Benci



                “delia… ada firman. Ayo donk kamu temuin. Kasihan dya udah nunggu lama”. Suara lembut yang bersahutan dengan ketukan pintu terdengar oleh delia yang masih duduk tenang dekat jendela rumahnya. Mengirup udara sore yang begitu segar. Angin yang bertiup membuat beberapa helai rambutnya terbang. Ia menatap kearah sebuah mobil yeng terparkir didepan pagar rumahnya. . Untuk apa dia datang kesini lagi?
“ia nanti delia turun ma” katanya dengan nada kesal. Dengan berat ia menggerakkan tangannya untuk menjalankan kursi rodanya. Keluar dari kamar ini saja terasa begitu sulit.. gerutunya dalam hati. Delia berhasil keluar dari kamar dan langsung menatap sesosok pria tampan didepannya. Pria itu tersenyum lembut tetapi delia lebih suka menekuk wajahnya. “biar kubantu” dengan sigap pria itu berdiri, bersiap membantu mendorong kursi roda delia. “tidak usah, terima kasih” delia buru-buru menolak. Membuat firman tersenyum kecil dan hanya mengikuti delia dari belakang. Delia dan kursi rodanya sudah berada dihadapan firman. Tetapi firman hanya menyunggingkan senyum melihat delia. “kalau kau datang kesini hanya untuk senyum mengejek. Lebih baik kau pergi” suara lantang delia terdengar karena merasa risih dengan tatapan firman dan senyumnya yang seolah menertawakan ketidakberdayaannya. “bagaimana kalau kita ketaman”. Delia mengerutkan dahi melihat ekspresi firman yang sama sekali tidak mempan dengan kata-kata kasarnya.

 “tidak mau. Kau pikir kau siapa?” katanya ketus sambil membuang muka dari firman. Firman tertawa kecil, ada kegelian disana membuatnya berdiri dan langsung mendorong kursi roda delia keluar rumah. Delia membelalakan matanya dan menatap firmah penuh amarah.

“apa yang kau lakukan. Cepat berhenti.” Seakan tak mendengar ucapan delia, firmah masih mendorong kursi roda delia hingga ke depan mobilnya. “aku sudah meminta izin kepada ibumu. Kau tenang saja” katanya lembut sambil menatap geli delia yang memasang wajah cemberut.
“kalau aku tidak mau. Kau mau apa?” delia berkata lebih lantang. Sambil menatap firman penuh kebencian.
“aku akan memaksamu.” Katanya sambil membuka pintu mobil dan menggendong delia duduk dibangku depan. Delia yang merasakan tangan firman menyentuh kulitnya hanya pasrah.

Bahkan untuk memberontak dari pria ini saja aku tak mampu. Katanya dalam hati. Ada raut kekecewaan disana, seandainya ia bisa, mungkin ia sudah menghajar siapapun yang berani-beraninya menyentuhnya. Tapi ia tahu kalau firman adalah pria baik. Dan ini bukan pertama kalinya firman memaksakan membawa pergi delia. Orang tua deliapun sudah percaya dengan firman. Ia melirik kearah firman yang sudah berada disamping dan focus pada kemudinya. Tapi ia akhirnya membuang muka kearah jendela.  Ia sebenarnya tidak sudi naik mobil ini apalagi bersama firman.

1 tahun yang lalu.. sebuah kecelakaan hebat membuat delia kehilangan kakinya. Kakinya memang tidak diamputansi, tapi ia kehilangan fungsinya secara keseluruhan. Ia seperti dihantam batu besar saat tau bahwa ia harus menghabiskan sisa hidupnya  dikursi roda.

Sore itu… ia melangkah keluar dari sebuah agensi setelah mendatangi kontrak menjadi seorang model disalah satu majalah fashion terbesar dikotanya. Inilah cita-citanya sejak dulu. Sejak SMP wajahnya sudah sering menghiasi majalah-majalan remaja. Dan kali ini cita-citanya sudah berada didepan mata.

Jalan begitu sepi, ia dengan santai menyebrang hingga akhirnya ia mendengar suara mobil menderu-deru, ia menoleh dan mendapati sebuah mobil dari tikungan melaju kencang kearahnya. Membuatnya terlempar  Sampai akhirnya tak sadarkan diri.

Ia membuka mata dan menyadari ia sudah berada dirumah sakit. Ia bersyukur karena ia pikir ia tidak akan bisa diselamatkan. Tapi ternyata semuanya tidak baik-baik saja. dokter bilang kalau delia akan menghabiskan sisa hidupnya dikursi roda. Kedua kaki delia sudah tidak bisa diselamatkan. Seperti disambar petir disiang bolong, delia menangis sejadi-jadinya. Meratapi semua impian yang sudah ada didepan mata dan tak akan pernah ia gapai. Mengutuk orang yang yang telah menabrakknya yang ternyata melarikan diri.

 Semuanya berubah semenjak kecelakaan itu. delia menjadi pemurung. Ia hanya mengurung diri dikamarnya sambil menangis setiap hari. Ia tidak mau menemui siapapun selain keluarganya. Ia benci melihat tatapan belas kasihan dari orang-orang yang menjenguknya.

Dan hari itu tiba. Delia memutuskan pergi ketaman komplek sendirian. Sudah 3 bulan ia mengurung diri dikamar dan itu membuantnya bosan. Dengan keberaniannya ia memacu kursi rodanya keluar rumah. Mengirup udara segar. Ia menolak ditemani siapapun termasuk ibu dan adiknya. Seperti hari-hari kemarin. Ia ingin selalu sendiri. Dan tatapan-tatapan orang yang ada disana benar-benar membuat delia muak. Tatapan kasihan dan mengejek itu sangat mambuatnya tidak nyaman. Ternyata keluar dari rumahnya juga tidak membuatnya lebih baik.

Ia menggerakkan kursi rodanya agak keras tapi tak bergerak sedikitpun. Ia menghela nafas melihat salah satu roda kursi rodanya tersangkut sebuah batu. Saat itulah uluran tangan lembut firman datang membantunya. Delia terkesiap melihat seseorang mendorong kursi rodanya. “saya bisa sendiri. Terima kasih” wajah delia menatap firman yang tersenyum. Firman memperkenalkan diri lalu menawarkan diri mengantar delia pulang. Tapi saat itulah rasa benci itu datang. “rumah saya  tidak jauh dari sini. Saya bisa pulang sendiri” kata delia sambil memacu kursi rodanya menjauhi firman. Firman yang melihat lalu masuk ke mobilnya dan menjalankan mobilnya pelan tepat dibelakang delia. Memastikan delia sampai rumah dengan selamat .

Hari berikutnya firman datang kerumah delia membawa  sekotak coklat, tapi delia secara terang-terangan menolak bahkan mengusir  firman dari rumahnya. Tapi ternyata itu tidak menyurutkan semangat firman. Firman bertekad membuat delia bangkit dari keterpurukannya hingga tanpa sadar tumbuh rasa suka dalam hatinya.  Hampir setiap hari ia datang kerumah delia, membawa berbagai makanan dan bunga terkadang, tapi tidak ada satupun yang delia terima dengan ikhlas. Semua delia terima karena terpaksa, karena paksaan ibunya untuk menghargai pemberian orang. sudah 9 bulan dan firman masih tidak kapok juga. Ia terus datang ke rumah delia walau hanya untuk mendengar cacian dan makian dari delia.

Suara pintu terbuka membuat delia kembali ke kesadarannya. Firman dengan sigap menggendong delia kembali ke kursi rodanya. Mereka menatap kesebuah danau yang ada didepan mereka. “apa kau ingin minum?” kata firman memecah keheningan. Delia hanya menggeleng tanpa melepas pandangannya ke arah danau yang terhampar tenang dihadapannya.
“kau tau? Seharusnya hari ini aku sudah berada dipuncak kesuksesan sebagai model. Menggapai semua cita-citaku. Bukan duduk dikursi roda ini dan menjadi orang yang tidak berguna”. Kata-kata delia membuat firman kembali menoleh ke arah delia, ada rasa sakit dihatinya. Rasa yang begitu menyesakkan dadanya tiap ia melihat delia.
“cita-cita ku sudah ada didepan mata waktu itu. tapi dalam hitungan menit semuanya berubah. Kenapa tuhan masih membiarkanku hidup jika aku tidak bisa berbuat apa-apa”. Air mata menetes dari mata kanan delia. Membuat hati firman semakin teriris. Tapi firman tidak dapat berkata apa-apa. lidahnya kaku, semua suaranya terasa tertelan ditenggorokkan.  “apakah kau pernah mengerti perasaanku?” delia akhirnya menoleh kearah firman. Mata mereka bertemu, mata delia yang berkaca-kaca dan mata firman yang penuh kesedihan. “lalu.. mengapa kau begitu bodoh terus-terusan menemuiku?”. Suara delia lebih lantang kali ini. Firman masih menatap delia dalam diam.
“aku menyayangimu delia” suara firman terdengar serak.
Delia tersenyum sinis  “kau menyayangi orang yang salah. Aku tau kau hanya kasihan padaku. Mulai sekarang lebih baik jangan pernah temui aku lagi.”

***

Semuanya terlambat… firman terduduk  disamping nisan delia. Kemarin orang tua delia menemukan delia dalam keadaan tak sadarkan diri dengan luka dipergelangan tangannya. Ia sengaja bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Tapi sayangnya delia sudah tidak bisa diselamatkan.
kenapa kamu melakukan ini delia. Kenapa kau tidak memberiku kesempatan untuk mengakui semuanya
firman menatap sebuah surat beramplop biru ditangannya. Surat yang ditinggalkan delia sebelum mengakhiri hidupnya. Dengan tangan gemetar ia membuka kertas itu

dear firman,
aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku kepadamu
semua kata-kata kasarku
semua keegoisanku
maaf aku harus mengakhiri hidupku seperti ini
aku tidak sanggup menanggung semuanya
duduk dikursi roda dan menjadi cacat
aku harap kau mengerti…
jauh dilubuk hatiku aku menyayangimu
tapi jauh dilubuk hatiku pula  aku sangat membencimu
aku terbelenggu oleh dua perasaan yang bertolak belakang
maaf aku tidak dapat menunggumu mengakui kesalahanmu
padahal aku ingin sekali mendengar pengakuanmu bahwa kau yang menabrakku dan menyebabkanku cacat,
sehingga aku bisa menghapuskan kebencian itu dan sepenuhnya menyayangimu
dihari pertama kita bertemu ditaman. Aku sudah mempunyai perasaan padamu,
tapi setelah kau menawarkanku pulang bersama mu dan menunjukkan mobilmu
saat itu pula rasa benci tumbuh dihatiku
saat tabrakan itu, sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri
aku melihat jelas mobil dan plat nomor yang merenggut kebagaiaanku,
dan itu…. mobilmu
tiap kau datang menemuiku.. aku selalu berharap kau akan mengakui semuanya.
Tapi ternyata semuanya sia-sia, itulah yang membuatku semakin membencimu dari hari ke hari
Kau pengecut…

Mata firman berkaca-kaca. Pandangannya mulai kabur
Maafkan aku delia, maafkan aku.. aku terlalu menyayangimu… aku takut kau lebih membenciku kalau kau tahu yang sebenarnya. Tapi kau seharusnya tau kalau aku pasti akan mengakuinya..

END-