BAB DUA
Aku masuk kerumah dan langsung
merasakan hawa dingin menyelimuti. Yaah… aku juga salah satu anak yang tidak
betah dirumah. karena aku tidak pernah merasakan kenyamanan dirumah ini. hanya
ibuku yang membuat aku ingin pulang. Ayahku adalah ayah tiri yang menikahi
ibuku saat aku berumur 5 tahun dan aku benar-benar membencinya. Dia adalah pria
berumur 45 tahun dan bekerja sebagai salah satu kepala bagian keuangan disalah
satu perusahaan furniture dijakarta. Ekonomi keluarga kami memang baik, tapi
aku sama sekali tidak menyukainya. Hubunganku dengannya hanya sebatas anak dan
ayah tiri. Aku tidak dekat dengannya dan tidak pernah berusaha mendekatkan diri
dengannya.
Ibuku sendiri adalah ibu rumah
tangga yang terbaik menurutku. Dia ibuku, tapi dia bisa menjadi ayahku, bisa
menjadi kakakku bahkan bisa menjadi adikku. Aku sebenarnya hanya butuh ibuku
karena ibuku bisa menjadi siapa saja yang aku butuhkan. Dan satu yang tidak
terlupakan adalah adik tiriku. Sama seperti ayahku, aku tidak terlalu menyukai
laki-laki berusia 9 tahun itu. alasannya sama… karena ia lebih mirip ayah
tiriku daripada ibuku.
Aku mencium tangan ibuku dan mencium
pipinya saat menemuinya duduk diruang tamu.
“kenapa
baru pulang? ibu telpon hp kamu sibuk terus.” Ibuku langsung berjalan menuju
dapur dan kembali dengan segelas teh hangat yang langsung aku terima dengan
senyum seraya mengucapkan terima kasih. “maaf bu, tadi temen valia ada yang mau
traktir gitu. Tapi valia malah keasikan nongkrongnya.”
Farrel…
itu kamu…. Aku setengah berlari menuju kamarku dan tersenyum melihat sosok
laki-laki terduduk diranjangku.
“kok lo bisa ada disini?” aku
langsung menghampirinya dan duduk disampingnya. Farrel adalah sahabatku sejak
kecil, sahabat yang selalu ada disaat aku membutuhkannya, satu-satunya sahabat
yang mengerti aku. Laki-laki itu berkulit putih dengan lesung pipi dan rambut
hitam lebat.
“iya,
gue kangen sama lo.” Katanya sambil tersenyum. “gimana sekolah dan hidup baru lo?” tanyanya. Dan aku hanya menjawab
dengan mengangkat bahu. “gue masih menyesuaikan diri.”
Malam ini aku tidur lewat dari
tengah malam karena terlalu asik mengobrol dengan farrel. Kami melakukan hal
yang dulu sering kami lakukan bersama. Kami bercerita dan bernyanyi bersama.
Hingga aku terlelap entah jam berapa.
Aku terbangun saat jam menunjuk
pukul 05.30. aku masih bisa meraskan hawa dingin diluar. Tapi beruntung kali
ini tidak ada yang menampakkan diri diranjangku seperti kemarin dan farrel… dia
juga sudah tidak terlihat dikamarku. Aku keluar dari kamar hanya untuk melihat
keluargaku berkumpul dimeja makan. Dan adik tiriku…Egi… aku melihatnya
menatapku dengan tatapan penuh ketakutan. Tapi aku sama sekali tidak peduli
padanya. Aku tidak peduli bahwa dia pernah berkata pada ibuku kalau aku gila,
aku aneh dan dia takut padaku. Aku tidak pernah bertegur sapa dengannya walau
kami tinggal satu atap dan sekali lagi aku tidak pernah peduli dengannya dan
apa yang dia katakan.
Aku bertemu kembali dengan farrel
saat turun dari bis menuju sekolahku. Itulah yang akhirnya membuatku tidak jadi
sekolah dan lebih memilih berjalan-jalan bersama farrel. Bolos sekolah bukan
hal pertama yang aku lakukan. Karena dulu, aku memang tidak suka dengan yang
namanya sekolah. aku merasa tidak butuh sekolah karena aku merasa aku lebih
pintar dari guru-guru yang mengajarku. Aku bisa tahu apa yang tidak mereka tahu
dan sebenarnya aku tidak butuh belajar. Sekolah hanya sebuah formalitas
untukku.
Aku dan farrel berjalan mengelilingi
kota hari ini. kami bersenang-senang tanpa memperdulikan orang yang memandangku
dengan tatapan aneh sampai tatapan ketakutan. Aku pergi ke toko buku, pergi ke
taman hiburan, dan taman kota. Yang jelas aku senang hari ini. tidak ada yang
membatasiku dan aku benar-benar merasa bebas. Aku mendengar ponselku berbunyi
dan mengeluarkannya dari tas. Ada lima pesan masuk dan tiga belas panggilan tak
terjawab dari Nathan. aku membuka pesan itu satu persatu.
Pesan
pertama
“val, gue bener-bener minta maaf
soal kemaren”
Sender: jo_nathan
Pesan
kedua
“val, kata indah lo gak masuk?
Kenapa?”
Sender: jo_nathan
Pesan
ketiga
“val… apa lo sakit? Kenapa ga
masuk?”
Sender: jo_nathan
Pesan
keempat
“val, please bales sms gue atau
angkat telpon gue.”
Sender: jo_nathan
Pesan
terakhir
“val… gue ada dirumah sakit,
nemenin nyokap gue.
Jadi mungkin nanti malem gue bakal
kerumah lo, kalo lo nggak juga bales sms gue.”
Sender: jo_nathan
Melihat pesan terakhir aku langsung
bergegas menuju rumah sakit. farrel ada disebelahku dan aku menceritakan
kejadian tadi malam. Aku memang kesal malam itu. tapi aku sudah melupakan
semuanya. Aku tidak bisa melarang orang lain berfikir aneh tentang diriku
karena memang aku berbeda dari mereka. Tapi aku hanya tidak menyangka, kalau
Nathan bisa berkata seperti itu.
Aku masuk ke gedung itu dan menyadari
bahwa farrel sudah tidak berada didekatku. Aku memejamkan mata sebentar lalu
berjalan menuju lift. Satu-satunya yang aku benci saat berada dirumah sakit
adalah para penghuni tak lazim yang selalu terlihat olehku. Mereka tersebar
dimana-mana. Di tiap sudut, berkeliaran dengan bebas dan aku melihat mereka
dengan jelas. Aku keluar dari lift dilantai tiga dan langsung menuju koridor
sebelah kanan, tidak butuh waktu lama karena akhirnya aku melihat Nathan duduk
didepan pintu kamar 408.
Aku bisa melihat keterkejutan Nathan
melihatku yang berjalan mendekat. “valia… darimana lo tau gue dirumah sakit
ini.” ia langsung berdiri dan berjalan mendekatiku. Aku bisa melihat kecemasan
dan penyesalan dimatanya.
“gimana keadaan nyokap lo?” aku
bertanya dan sebenarnya lebih ingin mengalihkan perhatiannya. Dia berjalan
kearah pintu dan aku mengekorinya dari belakang. Dari jendela yang terpasang
dipintu putih itu, aku bisa melihat ibunya terbaring lemah tidak berdaya.
Kanker otak… aku
bergumam setelah melihat penyakit yang bersarang ditubuh ibunya Nathan.
“darimana
lo tau?” Nathan memegang bahuku membuatku menoleh. “apanya?” aku berlagak polos
menanggapi kata-katanya.
“kanker
otak. Lo tau kalo nyokap gue kena kanker otak?. Darimana lo bisa tau?”saat itu
juga aku terkekeh, membuat keningnya berkerut. “Nathan… gimana gue gak tau.
Lantai ini kan emang khusus untuk pasien kanker.” Aku melihat air mukanya
berubah lemas dan ia memdudukan diri dikursi tak jauh dari sana. Dan yang
membuat aku menyesal adalah aku tidak bisa membaca pikirannya sama sekali.
Nathan
tiba-tiba mengeluarkan sebuah Koran dan memberikannya padaku. Aku sudah tau apa
maksudnya. Kecelakan bis kemarin masuk dalam halaman depan Koran Jakarta itu.
“gue
bodoh banget ya, tadinya gue pikir lo berbeda. Lo tau kalau papan dikantin mau
jatuh, lo tau kalau bis itu bakal kecelakaan, lo tau kalau nyokap gue sakit.”
Nathan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dan aku merasakan nyeri
dihatiku. Aku tidak tau harus berbicara apa.
“gue
Cuma punya feeling tan, dan mungkin feeling gue kebetulan aja bener.” Aku
lagi-lagi berusaha meyakinkannya dan mengusap pundaknya dengan lembut. Aku
kembali berdiri karena melihat farrel berdiri didepan pintu. Aku ikut melongok
kearah kamar ibu Nathan dan terkejut melihat sesosok wanita menatap kami
dipojok ruangan. Dengan spontan aku memasuki ruangan itu.
Jangan ganggu dia.. aku mencoba berbicara dengannya, wanita
bertubuh kurus dengan wajah pucat pasi dan rambut berwarna emas itu dulu adalah
pasien di kamar ini.
Aku tidak suka dia tidur ranjangku…
aku mau dia pergi… aku bisa melihat dan mendengar farrel berusaha
berbicara lagi dengan wanita itu. tapi wanita itu berkeras bahwa ia tidak suka
ada orang dikamar ini. ia merasa bahwa ini adalah rumahnya.
“percuma val, mending lo suruh
temen lo mindahin ibunya kekamar lain. Aura disini bener-benar gak enak. Lagipula dia meninggal bukan karena
kanker, tapi karena dibunuh.”
Aku
menelan ludah lalu berbalik dan melihat Nathan tengah menatapku dengan
pandangan menyelidik. Aku seperti tersangka yang tertangkap basah olehnya.
“kenapa val?” aku mendekat dan
menggandeng tangannya keluar dari kamar itu.
“mending lo pindahin nyokap lo dari
kamar ini. gue ngerasa kamar ini gak cocok buat nyokap lo?” aku langsung
berniat meninggalkannya saat itu juga tapi ia menggenggam tanganku. menahanku
agar tidak beranjak selangkah lagi.
“kasih gue alasan logis?” aku
menatap matanya dan menyentuh pipinya dengan tangan kananku. “ga semuanya perlu
alasan jonathan.” Aku melepaskan diri dari Nathan dan mulai beranjak pergi.
Menyusuri tiap koridor rumah sakit bersama farrel, sahabatku. aku hanya
berharap kalau Nathan mau mendengarku untuk memindahkan ibunya ke kamar lain.
“apa
lo ga bisa baca pikiran dia? Dia itu ada rasa sama lo.” Aku menatap farrel
dengan tatapan tidak percaya. Beberapa detik kemudian aku menggeleng dengan
cepat.
“gue gak mau ngerusak hubungan gue
sama Nathan.” aku melihat farrel tertawa. Dan kini dia berdiri didepanku, membelakangiku.
“lo ngetawain gue?” aku berbicara
cukup keras dan menyadari beberapa pasang mata yang ada ditaman itu mulai
mendaratkan pandangan kearahku. Yaah, mungkin mereka menaganggap aku gila, tapi
bukankah aku sudah terbiasa. Aku kembali duduk dibangku dan membiarkan farrel
terus mengoceh sesuatu yang sama sekali tidak bisa kutangkap.
“valia….
Lo harusnya sadar kalo lo itu berbeda dari yang lain. Lo gak akan bisa jadi
sama kaya mereka.” Farrel kini duduk disampingku dan aku malah menatapnya
seperti orang bodoh. Kata-kata itu sudah ribuan kali farrel ucapakan kepadaku.
Tapi semakin ia mengucapkan itu, aku semakin ingin menjadi gadis normal. Aku
ingin seperti gadis lain sebayaku yang bisa hidup bebas tanpa harus terbebani
oleh hal diluar nalar manusia.
Taman mulai sepi saat hari beranjak
malam. Aku berjalan pulang ditemani farrel yang masih setia menjadi temanku
sampai saat ini. dan akhirnya aku tersenyum melihat Nathan mau mengikuti
saranku untuk memindahkan ibunya ke kamar lain.
Keesokan harinya, aku masuk kelas
dan langsung diberondong pertanyaan oleh indah. Ia marah karena aku tidak
mengabarinya saat tidak masuk sekolah kemarin. Aku tidak pernah punya sahabat
sebelumnya, jadi aku tidak pernah terbiasa memberikan kabar apapun kepada orang
lain. Satu-satunya sahabatku adalah farrel, dan ia selalu tau dimana aku berada
tanpa aku beritahu.
“val, menurut lo andre gimana?” aku
mengikuti arah pandang indah ke lapangan. Ke-sekelompok orang yang sedang
beradu memperebutkan bola oranye itu dengan begitu lincah. Panas yang menyengat
sama sekali tidak menghalangi langkah mereka untuk bermain.
“nggak baik.” Aku memperhatikan orang
yang dimaksud indah dengan seksama. Andre satu tingkat diatas kami. Dia adalah
salah satu kakak kelas yang paling digemari anak wanita disekolah ini. tidak
salah, karena ia punya tampang diatas rata-rata. Dia cukup pintar dan yang
menarik adalah prestasinya dibidang bola basket. Pernah membawa nama sekolah
sampai ke tingkat provinsi. Dan yang tidak bisa disembunyikan darinya adalah
kekeayan kedua orang tuanya yang selalu ia tonjolkan dihadapan semua orang. ferrari
dengan warna terang selalu lancar mengantarkannya sampai kesekolah, belum lagi
sebuah picanto dan motor gede yang terparkir di garasi rumahnya yang terletak
dikawasan elit ibukota. Tapi dari semua kelebihan fisiknya, kalau membicarakan
sikap dan sifatnya benar-benar terbalik tiga ratus enam puluh derajat. Aku bisa
tau kalau saat SMP ia mendapat cap playboy
karena suka gonta-ganti pacar.
“kenapa gitu? Kemaren dia senyum
sama gue pas kita papasan dikantin.”
“bad
boy” aku mengeluarkan salah satu
buku dari dalam tasku, bersiap memulai ujian biologi dijam pertama.
“aduh valia, lo nggak boleh nge-judge orang gitu donk. Lo kan ga tau gimana dia
sebenarnya.” Kali ini aku memandang indah penuh tanda Tanya.
“terserah deh, tapi yang jelas gue
ga suka lo berhubungan sama dia.” Aku menutup pembicaraan saat melihat raut
kesal dalam wajah indah. Tak lama bu Ami masuk dan langsung membagikan selembar
kertas jawaban bersama soal. Bu Ami hanya memberikan waktu empat puluh lima
menit untuk mengerjakan soal. Tapi buatku, itu waktu yang lama. Dalam waktu
kurang lebih sepuluh menit, aku telah sampai disoal terkahir.
“gue duluan ya.” Aku berbisik pada
indah yang masih berkutat dengan soal-soal biologi itu dan melihatnya
memandangku dengan tatapan tidak percaya.
“kamu yakin sama jawaban kamu? Waktu
masih banyak valia.” Bu Ami memberi peringatan agar aku tidak terlalu
tergesa-gesa. Tapi aku bisa yakin 100 persen kalau jawaban aku benar. Setelah
mengangguk dengan mantap aku keluar dari kelas meninggalkan semua teman sekelasku
yang masih dilanda kebingungan besar. Aku menyusuri lorong sekolah menuju
kantin dan langsung duduk disalah satu bangku disana. mengamati andre yang
masuk kekantin seorang diri dan langsung duduk tak jauh dari tempatku. Ia tersenyum
lalu entah angin apa yang membuatnya menghampiriku.
“anak kelas X ya?” tanyanya ramah,
dan tanpa aba-aba langsung duduk didepanku. Aku yang langsung merasa gugup
hanya menjawab dengan sebuah anggukan.
“andre” ia mengulurkan sebelah
tangannya, dan aku hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya menjabat
tangannya.
“bisa nggak tinggalin gue sendiri.”
Sebelum ia sempat melanjutkan obrolan, aku sudah terlebih dahulu mengusirnya.
Entahlah, aku merasa tidak suka dengannya, kini ia memicingkan matanya, dan
sekali lagi aku mengulangi kata-kataku dan membuatnya langsung tersenyum kaku
lalu pergi dari hadapanku. Aku bisa merasakan kekesalannya.
Sepulang sekolah aku dan Nathan
pergi kerumah sakit untuk mengunjungi ibunya. Ia tidak pernah menyinggung lagi
alasan aku menyuruhnya memindahkan kamar ibunya.
“kata dokter kanker nyokap gue
kanker ganas, dan minggu kemarin dia udah menjalani kemoterapi pasca operasi.”
Nathan bercerita didepan ruangan ibunya yang sedang diperiksa oleh dokter. Aku
bisa melihat betapa besar kasih sayang Nathan kepada ibunya. Walaupun begitu
jelas bahwa orangtuanya jarang memperhatikannya. Setelah dokter selesai
memeriksa keadaan ibunya. aku dan Nathan memasuki ruang perawatan itu dan
Nathan memperkenalkan aku kepada ibunya. Wanita paruh baya itu terlihat lemah
dan kulitnya terlihat menguning, tubuhnya kurus seakan digrogoti penyakitnya.
Aku mencoba tersenyum lemah saat membawa telapak tangannya ke bibirku. “mama
mau pulang.” Suara lemah itu keluar dari mulut ibunya dan langsung membuat
Nathan menggeleng. “nanti kalau mama sudah baikan ya. Sekarang mama minum dulu
ya.” Nathan mengambil sebuah gelas dari meja kecil disebelah ranjang.
Mendudukan ibunya sebentar dan menjejalkan ujung gelas ke bibir ibunya.
“sakit Nathan.” ibunya terdengar
menggeram menahan sakit. Ia memegang kepalanya tapi nyatanya itu sama sekali
tidak mengurangi sakitnya. Mungkin obat dari kemoterapi itu mulai bekerja.
“sabar ya ma, mama pasti sembuh.” Omongan Nathan sama sekali tidak direspon
oleh ibunya. Ibunya tetap mengerang kesakitan.
Aku bisa merasakan apa yang
dirasakan ibunya Nathan, aku bisa merasakan sakitnya. Aku lekas mendekat dan
menggenggam tangannya. Mencoba memenangkannya. Perlahan erangannya mulai
menghilang hingga akhirnya ia tertidur.
“val, nyokap gue nggak apa-apa kan?”
“nggak apa-apa, dia Cuma tidur.”
Aku keluar dari rumah sakit menuju sebuah
café yang terletak tak jauh dari rumah sakit itu. setelah ibu Nathan tertidur,
beberapa kerabatnya datang untung menjenguk. Itulah yang membuat Nathan berani
meninggalkan ibunya sebentar.
Udara siang itu sangat panas,
membuatku bisa menghabiskan jus jeruk dalam satu kali tenggakan. Nathan
terkekeh melihatku lalu berterimakasih atas kepedulianku kepada ibunya. Aku
tidak bisa menahan senyum dan terus memberikan motivasi bahwa ibunya pasti
sembuh walau kemungkinannya sangat kecil. Tapi aku selalu tau pada keajaiban
tuhan.
Indah…bukannya
gue udah pernah bilang ya…. Aku mengeluarkan ponsel dari tasku dan memencet
kontak indah. Cukup lama hingga akhirnya terhubung. “indah.. lo dimana?” aku
bertanya dengan nada agak tinggi dan aku bisa dengar kegugupannya menjawab
pertanyaanku. “dirumah sepupu gue val, kan gue udah bilang klo gue ada acara
keluarga.” Aku bisa mendengar keramaian disekelilingnya. Seperti suara orang
berbincang-bincang dengan jarak cukup jauh, juga suara sendok garpu yang beradu
diatas piring.
“gue Tanya sekali lagi, lo dimana
sekarang?” aku mengencangkan sedikit suaraku. Mencoba menetralkan kekecewaanku.
Dan kali ini indah menjawab lebih tegas. Dan ada kejengkelan dinadanya. “gue
dirumah sepupu gue valia, lo kenapa sih? Lo nggak percaya sama gue? Terserah lo
mau percaya apa nggak”… tuuut..tuuut. panggilan
itu terputus dan aku kembali menaruh ponselku di tas.
“indah?? Kenapa dia?” Nathan bertanya
padaku, aku yakin ia juga bisa melihat raut kekesalan dalam wajahku. Aku menggeleng
dan berusaha mengusir bayang-bayang indah dari pikiranku.
***
Keesokan harinya, aku bertemu indah
dan berusaha bersikap sebiasa mungkin. Ia hanya tersenyum kecil saat melihat
aku memasuki kelas. Setelah duduk disampingnya, aku diam, menunggunya berbicara
duluan. Menunggu kejujurannya. Tapi dia tidak berkata-kata, aku bisa merasakan
kegelisahannya. Angin yang berembus disekeliling kami seperti salju yang
menciptakan kebekuan luar biasa. Aku berdehem lalu melirik kearahnya saat ia
melontarkan pertanyaan mengenai keadaan ibu Nathan. ia juga melontarkan
penyesalannya karena tidak bisa ikut menjenguk ibu Nathan kemarin.
“ibunya wanita yang kuat. Keadaannya
terus membaik.” Aku mencoba menghilangkan ketegangan dalam nada suaraku. Atau
sebenarnya berusaha memancing kejujurannya. Aku tau kemarin ia tidak sedang ada
acara keluarga, aku tau kemarin dia berada dimana, dengan siapa. Tapi kenapa ia
harus berbohong. Apa ini yang namanya sahabat? Dulu, sahabatku hanya farrel dan
aku tau dia tidak pernah berbohong padaku. Dia selalu menceritakan semua
kebenaran yang terjadi padanya.
Aku tersenyum sinis saat melihat
andre memasuki kelas. Memperlihatkan pesona dari senyumnya kepada indah. Indah
membalas senyum andre dengan kaku.
“makasih ya kemaren udah nemenin gue
nonton. Gue seneng jalan sama lo. Oia, gimana klo nanti lo pulang bareng gue?”
Aku melihat kepalsuan dalam
kata-kata itu. sebuah ketulusan yang tidak benar-benar ada. Sebuah kepedulian
yang sebenarnya hanya omong kosong belaka. Wajah indah memucat, aku tau
sebenarnya ia juga ingin melontarkan kebahagiannya berasama andre, tapi karena
aku ada disana. aku tau ketakutan indah akhirnya terwujud. Yaah, biarpun aku
sudah mengetahui sebelumya, tapi aku bisa melihat raut wajah indah yang
akhirnya kebohongan terbongkar. Andre melirik kearahku dan indah secara
bergantian. Aku tau ia bingung melihat kita hanya saling menatap tanpa berkata
apa-apa.
Aku yang mulai merasa risih lalu berdiri
dan berjalan keluar dari kelas saat itu juga. pergi menuju taman dibelakang
sekolah. Aku merasakan dadaku sesak karena suatu perasaan. Dan saat itulah
farrel muncul.
“apa
yang terjadi?” Dia bertanya saat sudah sampai didepanku. Aku menengadahkan
kepalaku, mencoba melirik senyum farrel yang dihiasi lesung pipi.
“indah, dia bohong sama gue. Gue
udah bilang kalo andre itu bukan cowok baik. Tapi entah gimana caranya kemaren
mereka jalan bareng. Dan indah bilang sama gue klo dia kerumah sepupunya Karena
ada acara keluarga.” Aku menutup wajaku dengan kedua telapak tangan. Menyesali
perasaan yang tumbuh. Apa aku harus merasa sekecewa ini? dibohongi?? Aku seharusnya
tau bahwa ini bukan hal yang aneh. Tapi, dia sahabatku, bagaimana lagi aku
harus memberitahunya.
“lo
emang ga butuh sahabat valia, udah ada gue yang selalu ada buat lo. Lo
seharusnya nggak mengorbankan hidup lo untuk punya sahabat yang nggak ada
gunanya kaya mereka.” Farrel masih terus mengoceh hingga akhirnya aku
kembali menengadahkan kepalaku. Aku melihat sosok farrel yang selalu awet muda.
Sejak mengenalnya belasan tahun lalu, dia tidak berubah sampai saat ini.
“tapi, gue sayang sama mereka? Gue
nggak mau terjadi apa-apa sama mereka.” Aku mendengar senyum sinis dar farrel.
“lo
dulu juga begitu, begitu menghawatirkan orang yang lo sayang padahal mereka
sama sekali nggak sayang sama lo. Mereka malah mengganggap lo aneh, mereka
mengira lo gila, mereka bilang lo punya kelainan,
dan mereka bilang lo pembawa sial.”
“sttttooooooooopppppppppp.” Aku
menutup telingaku rapat-rapat sebelum farrel menyelesaikan pidato menyakitkan
itu. aku memejamkan mata dan kejadian bertahun-tahun lalu berputar dipikiranku.
“ayolah
valia, berapa kali lo mau menentang kodrat bahwa lo beda dari mereka.”
“stoop
fareel, please stop.” Aku memohon padanya untuk berhenti bicara. Saat Air
disudut mataku menetes, aku menangis. Bimbang antara membenarkan kata-kata
farrel tapi begitu berkeinginan menentang atas semua kebenarannya.
“tapi
gimanapun lo. Lo akan tetap jadi sahabat gue sampai kapanpun.” Seketika itu juga farrel menghilang entah
kemana. Dan saat aku menengadahkan kepalaku dan bersiap meninggalkan taman. Aku
melihat berpasang-pasang mata menoleh kearahku. Sorot mata mereka semua sama. Penuh
ketakutan dan semuanya terasa mengintimidasiku. Aku lekas berlari kembali
kekelas dan melihat indah tidak ada dibangkunya. beberapa anak-anak dikelas
sudah berhamburan keluar kelas karena lima menit sebelumnya bel istirahat telah
berbunyi.
Aku terduduk dibangku ku. Meratapi
semua kata-kata farrel yang hampir semuanya benar. Seharusnya aku menyadari
bahwa aku tidak bisa menyangkal itu semua. aku
berbeda dari mereka
***
“val,
gue cariin dikantin. Ternyata lo masih disini.” Nathan masuk dan langsung duduk
disampingku. Dia juga menanyakan indah yang sudah menghilang entah kemana. Tapi
aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu.
“lo kenapa val?” aku berfikir kalau
Nathan mungkin merasakan ketidakberesanku.
“nggak kenapa-kenapa.” Aku tersenyum
selebar mungkin. Membuatnya percaya dan membalas senyumku. Nathan mengajakku ke
kantin hanya untuk melihat indah yang sedang duduk disatu meja dengan andre.
Aku menatapnya dan seketika itu juga dia menunduk. Tidak membalas tatapanku
sedikitpun.
“indah kok bisa sama andre?” Nathan
membelikanku sepiring somay dan langsung kusambut dengan uluran tangan.
Lagi-lagi aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu.
“lo berantem sama indah?.” Aku mulai
asik menyantap isi piringku dan kembali mengangkat bahu. Membuat Nathan
berdecak kesal.
“ada apa sih sama lo berdua?” Nathan mulai bawel menanyai masalahku dengan
indah. Tapi sejujurnya aku lebih ingin menyuruh Nathan diam. Karena aku tidak
tau harus mulai darimana. Lagipula, aku tidak punya alasan untuk melarang indah
berhubungan dengan andre hanya karena aku tau niat busuknya yang tidak bisa
kujadikan bukti karena hanya sekedar ucapanku.
“nggak ada apa-apa. Kemarin, dia
bilang dia gak bisa jenguk nyokap lo karena ada acara keluarga. Tapi sebenarnya
dia jalan sama andre.” Gelas Nathan melayang, ia tidak jadi meminumnya dan
malah menggantunggannya diudara. Matanya membulat mencoba mencari keyakinan
pada ucapanku.
“gue ga suka dia berhubungan sama
andre karena andre ga sebaik yang dia kira.” Nathan menaikkan alisnya. Lalu
sekilas melirik indah yang duduk tak jauh dari tempat kita duduk.
“udah.. indah kan udah gede. Lagian,
mereka berdua kan belum tentu jadian. Sebenarnya, gue juga nggak terlalu suka
sama andre.” Nathan kini berhasil menengguk minumannya dan aku hanya mengangguk
pelan. Walau sebenarnya aku tau kalau suatu saat hal itu pasti terjadi.