buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Friday 31 October 2014

Gadis Nila

BAB DUA

            Aku masuk kerumah dan langsung merasakan hawa dingin menyelimuti. Yaah… aku juga salah satu anak yang tidak betah dirumah. karena aku tidak pernah merasakan kenyamanan dirumah ini. hanya ibuku yang membuat aku ingin pulang. Ayahku adalah ayah tiri yang menikahi ibuku saat aku berumur 5 tahun dan aku benar-benar membencinya. Dia adalah pria berumur 45 tahun dan bekerja sebagai salah satu kepala bagian keuangan disalah satu perusahaan furniture dijakarta. Ekonomi keluarga kami memang baik, tapi aku sama sekali tidak menyukainya. Hubunganku dengannya hanya sebatas anak dan ayah tiri. Aku tidak dekat dengannya dan tidak pernah berusaha mendekatkan diri dengannya.

            Ibuku sendiri adalah ibu rumah tangga yang terbaik menurutku. Dia ibuku, tapi dia bisa menjadi ayahku, bisa menjadi kakakku bahkan bisa menjadi adikku. Aku sebenarnya hanya butuh ibuku karena ibuku bisa menjadi siapa saja yang aku butuhkan. Dan satu yang tidak terlupakan adalah adik tiriku. Sama seperti ayahku, aku tidak terlalu menyukai laki-laki berusia 9 tahun itu. alasannya sama… karena ia lebih mirip ayah tiriku daripada ibuku.

            Aku mencium tangan ibuku dan mencium pipinya saat menemuinya duduk diruang tamu.
“kenapa baru pulang? ibu telpon hp kamu sibuk terus.” Ibuku langsung berjalan menuju dapur dan kembali dengan segelas teh hangat yang langsung aku terima dengan senyum seraya mengucapkan terima kasih. “maaf bu, tadi temen valia ada yang mau traktir gitu. Tapi valia malah keasikan nongkrongnya.”

            Farrel… itu kamu…. Aku setengah berlari menuju kamarku dan tersenyum melihat sosok laki-laki terduduk diranjangku.

            “kok lo bisa ada disini?” aku langsung menghampirinya dan duduk disampingnya. Farrel adalah sahabatku sejak kecil, sahabat yang selalu ada disaat aku membutuhkannya, satu-satunya sahabat yang mengerti aku. Laki-laki itu berkulit putih dengan lesung pipi dan rambut hitam lebat.

            “iya, gue kangen sama lo.” Katanya sambil tersenyum. “gimana sekolah dan hidup baru lo?” tanyanya. Dan aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu. “gue masih menyesuaikan diri.”

            Malam ini aku tidur lewat dari tengah malam karena terlalu asik mengobrol dengan farrel. Kami melakukan hal yang dulu sering kami lakukan bersama. Kami bercerita dan bernyanyi bersama. Hingga aku terlelap entah jam berapa.

            Aku terbangun saat jam menunjuk pukul 05.30. aku masih bisa meraskan hawa dingin diluar. Tapi beruntung kali ini tidak ada yang menampakkan diri diranjangku seperti kemarin dan farrel… dia juga sudah tidak terlihat dikamarku. Aku keluar dari kamar hanya untuk melihat keluargaku berkumpul dimeja makan. Dan adik tiriku…Egi… aku melihatnya menatapku dengan tatapan penuh ketakutan. Tapi aku sama sekali tidak peduli padanya. Aku tidak peduli bahwa dia pernah berkata pada ibuku kalau aku gila, aku aneh dan dia takut padaku. Aku tidak pernah bertegur sapa dengannya walau kami tinggal satu atap dan sekali lagi aku tidak pernah peduli dengannya dan apa yang dia katakan.

            Aku bertemu kembali dengan farrel saat turun dari bis menuju sekolahku. Itulah yang akhirnya membuatku tidak jadi sekolah dan lebih memilih berjalan-jalan bersama farrel. Bolos sekolah bukan hal pertama yang aku lakukan. Karena dulu, aku memang tidak suka dengan yang namanya sekolah. aku merasa tidak butuh sekolah karena aku merasa aku lebih pintar dari guru-guru yang mengajarku. Aku bisa tahu apa yang tidak mereka tahu dan sebenarnya aku tidak butuh belajar. Sekolah hanya sebuah formalitas untukku.

            Aku dan farrel berjalan mengelilingi kota hari ini. kami bersenang-senang tanpa memperdulikan orang yang memandangku dengan tatapan aneh sampai tatapan ketakutan. Aku pergi ke toko buku, pergi ke taman hiburan, dan taman kota. Yang jelas aku senang hari ini. tidak ada yang membatasiku dan aku benar-benar merasa bebas. Aku mendengar ponselku berbunyi dan mengeluarkannya dari tas. Ada lima pesan masuk dan tiga belas panggilan tak terjawab dari Nathan. aku membuka pesan itu satu persatu.

Pesan pertama
“val, gue bener-bener minta maaf soal kemaren”
Sender: jo_nathan

Pesan kedua
“val, kata indah lo gak masuk? Kenapa?”
Sender: jo_nathan
Pesan ketiga
“val… apa lo sakit? Kenapa ga masuk?”
Sender: jo_nathan
­­­­
Pesan keempat
“val, please bales sms gue atau angkat telpon gue.”
Sender: jo_nathan
Pesan terakhir
“val… gue ada dirumah sakit, nemenin nyokap gue.
Jadi mungkin nanti malem gue bakal kerumah lo, kalo lo nggak juga bales sms gue.”
Sender: jo_nathan

            Melihat pesan terakhir aku langsung bergegas menuju rumah sakit. farrel ada disebelahku dan aku menceritakan kejadian tadi malam. Aku memang kesal malam itu. tapi aku sudah melupakan semuanya. Aku tidak bisa melarang orang lain berfikir aneh tentang diriku karena memang aku berbeda dari mereka. Tapi aku hanya tidak menyangka, kalau Nathan bisa berkata seperti itu.

            Aku masuk ke gedung itu dan menyadari bahwa farrel sudah tidak berada didekatku. Aku memejamkan mata sebentar lalu berjalan menuju lift. Satu-satunya yang aku benci saat berada dirumah sakit adalah para penghuni tak lazim yang selalu terlihat olehku. Mereka tersebar dimana-mana. Di tiap sudut, berkeliaran dengan bebas dan aku melihat mereka dengan jelas. Aku keluar dari lift dilantai tiga dan langsung menuju koridor sebelah kanan, tidak butuh waktu lama karena akhirnya aku melihat Nathan duduk didepan pintu kamar 408.

            Aku bisa melihat keterkejutan Nathan melihatku yang berjalan mendekat. “valia… darimana lo tau gue dirumah sakit ini.” ia langsung berdiri dan berjalan mendekatiku. Aku bisa melihat kecemasan dan penyesalan dimatanya.

            “gimana keadaan nyokap lo?” aku bertanya dan sebenarnya lebih ingin mengalihkan perhatiannya. Dia berjalan kearah pintu dan aku mengekorinya dari belakang. Dari jendela yang terpasang dipintu putih itu, aku bisa melihat ibunya terbaring lemah tidak berdaya.

Kanker otak… aku bergumam setelah melihat penyakit yang bersarang ditubuh ibunya Nathan.

“darimana lo tau?” Nathan memegang bahuku membuatku menoleh. “apanya?” aku berlagak polos menanggapi kata-katanya.

“kanker otak. Lo tau kalo nyokap gue kena kanker otak?. Darimana lo bisa tau?”saat itu juga aku terkekeh, membuat keningnya berkerut. “Nathan… gimana gue gak tau. Lantai ini kan emang khusus untuk pasien kanker.” Aku melihat air mukanya berubah lemas dan ia memdudukan diri dikursi tak jauh dari sana. Dan yang membuat aku menyesal adalah aku tidak bisa membaca pikirannya sama sekali.

Nathan tiba-tiba mengeluarkan sebuah Koran dan memberikannya padaku. Aku sudah tau apa maksudnya. Kecelakan bis kemarin masuk dalam halaman depan Koran Jakarta itu.

“gue bodoh banget ya, tadinya gue pikir lo berbeda. Lo tau kalau papan dikantin mau jatuh, lo tau kalau bis itu bakal kecelakaan, lo tau kalau nyokap gue sakit.” Nathan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dan aku merasakan nyeri dihatiku. Aku tidak tau harus berbicara apa.

“gue Cuma punya feeling tan, dan mungkin feeling gue kebetulan aja bener.” Aku lagi-lagi berusaha meyakinkannya dan mengusap pundaknya dengan lembut. Aku kembali berdiri karena melihat farrel berdiri didepan pintu. Aku ikut melongok kearah kamar ibu Nathan dan terkejut melihat sesosok wanita menatap kami dipojok ruangan. Dengan spontan aku memasuki ruangan itu.

Jangan ganggu dia..  aku mencoba berbicara dengannya, wanita bertubuh kurus dengan wajah pucat pasi dan rambut berwarna emas itu dulu adalah pasien di kamar ini.

Aku tidak suka dia tidur ranjangku… aku mau dia pergi…  aku bisa melihat dan mendengar farrel berusaha berbicara lagi dengan wanita itu. tapi wanita itu berkeras bahwa ia tidak suka ada orang dikamar ini. ia merasa bahwa ini adalah rumahnya.

“percuma val, mending lo suruh temen lo mindahin ibunya kekamar lain. Aura disini bener-benar gak  enak. Lagipula dia meninggal bukan karena kanker, tapi karena dibunuh.”

Aku menelan ludah lalu berbalik dan melihat Nathan tengah menatapku dengan pandangan menyelidik. Aku seperti tersangka yang tertangkap basah olehnya.

            “kenapa val?” aku mendekat dan menggandeng tangannya keluar dari kamar itu.
            “mending lo pindahin nyokap lo dari kamar ini. gue ngerasa kamar ini gak cocok buat nyokap lo?” aku langsung berniat meninggalkannya saat itu juga tapi ia menggenggam tanganku. menahanku agar tidak beranjak selangkah lagi.

            “kasih gue alasan logis?” aku menatap matanya dan menyentuh pipinya dengan tangan kananku. “ga semuanya perlu alasan jonathan.” Aku melepaskan diri dari Nathan dan mulai beranjak pergi. Menyusuri tiap koridor rumah sakit bersama farrel, sahabatku. aku hanya berharap kalau Nathan mau mendengarku untuk memindahkan ibunya ke kamar lain.

            “apa lo ga bisa baca pikiran dia? Dia itu ada rasa sama lo.” Aku menatap farrel dengan tatapan tidak percaya. Beberapa detik kemudian aku menggeleng dengan cepat.

            “gue gak mau ngerusak hubungan gue sama Nathan.” aku melihat farrel tertawa. Dan kini dia berdiri didepanku, membelakangiku.

            “lo ngetawain gue?” aku berbicara cukup keras dan menyadari beberapa pasang mata yang ada ditaman itu mulai mendaratkan pandangan kearahku. Yaah, mungkin mereka menaganggap aku gila, tapi bukankah aku sudah terbiasa. Aku kembali duduk dibangku dan membiarkan farrel terus mengoceh sesuatu yang sama sekali tidak bisa kutangkap.

            “valia…. Lo harusnya sadar kalo lo itu berbeda dari yang lain. Lo gak akan bisa jadi sama kaya mereka.” Farrel kini duduk disampingku dan aku malah menatapnya seperti orang bodoh. Kata-kata itu sudah ribuan kali farrel ucapakan kepadaku. Tapi semakin ia mengucapkan itu, aku semakin ingin menjadi gadis normal. Aku ingin seperti gadis lain sebayaku yang bisa hidup bebas tanpa harus terbebani oleh hal diluar nalar manusia.

            Taman mulai sepi saat hari beranjak malam. Aku berjalan pulang ditemani farrel yang masih setia menjadi temanku sampai saat ini. dan akhirnya aku tersenyum melihat Nathan mau mengikuti saranku untuk memindahkan ibunya ke kamar lain.

            Keesokan harinya, aku masuk kelas dan langsung diberondong pertanyaan oleh indah. Ia marah karena aku tidak mengabarinya saat tidak masuk sekolah kemarin. Aku tidak pernah punya sahabat sebelumnya, jadi aku tidak pernah terbiasa memberikan kabar apapun kepada orang lain. Satu-satunya sahabatku adalah farrel, dan ia selalu tau dimana aku berada tanpa aku beritahu.

            “val, menurut lo andre gimana?” aku mengikuti arah pandang indah ke lapangan. Ke-sekelompok orang yang sedang beradu memperebutkan bola oranye itu dengan begitu lincah. Panas yang menyengat sama sekali tidak menghalangi langkah mereka untuk bermain.

            “nggak baik.” Aku memperhatikan orang yang dimaksud indah dengan seksama. Andre satu tingkat diatas kami. Dia adalah salah satu kakak kelas yang paling digemari anak wanita disekolah ini. tidak salah, karena ia punya tampang diatas rata-rata. Dia cukup pintar dan yang menarik adalah prestasinya dibidang bola basket. Pernah membawa nama sekolah sampai ke tingkat provinsi. Dan yang tidak bisa disembunyikan darinya adalah kekeayan kedua orang tuanya yang selalu ia tonjolkan dihadapan semua orang. ferrari dengan warna terang selalu lancar mengantarkannya sampai kesekolah, belum lagi sebuah picanto dan motor gede yang terparkir di garasi rumahnya yang terletak dikawasan elit ibukota. Tapi dari semua kelebihan fisiknya, kalau membicarakan sikap dan sifatnya benar-benar terbalik tiga ratus enam puluh derajat. Aku bisa tau kalau saat SMP ia mendapat cap playboy  karena suka gonta-ganti pacar.

            “kenapa gitu? Kemaren dia senyum sama gue pas kita papasan dikantin.”
            “bad boy”  aku mengeluarkan salah satu buku dari dalam tasku, bersiap memulai ujian biologi dijam pertama.

            “aduh valia, lo nggak boleh nge-judge  orang gitu donk. Lo kan ga tau gimana dia sebenarnya.” Kali ini aku memandang indah penuh tanda Tanya.

            “terserah deh, tapi yang jelas gue ga suka lo berhubungan sama dia.” Aku menutup pembicaraan saat melihat raut kesal dalam wajah indah. Tak lama bu Ami masuk dan langsung membagikan selembar kertas jawaban bersama soal. Bu Ami hanya memberikan waktu empat puluh lima menit untuk mengerjakan soal. Tapi buatku, itu waktu yang lama. Dalam waktu kurang lebih sepuluh menit, aku telah sampai disoal terkahir.

            “gue duluan ya.” Aku berbisik pada indah yang masih berkutat dengan soal-soal biologi itu dan melihatnya memandangku dengan tatapan tidak percaya.

            “kamu yakin sama jawaban kamu? Waktu masih banyak valia.” Bu Ami memberi peringatan agar aku tidak terlalu tergesa-gesa. Tapi aku bisa yakin 100 persen kalau jawaban aku benar. Setelah mengangguk dengan mantap aku keluar dari kelas meninggalkan semua teman sekelasku yang masih dilanda kebingungan besar. Aku menyusuri lorong sekolah menuju kantin dan langsung duduk disalah satu bangku disana. mengamati andre yang masuk kekantin seorang diri dan langsung duduk tak jauh dari tempatku. Ia tersenyum lalu entah angin apa yang membuatnya menghampiriku.

            “anak kelas X ya?” tanyanya ramah, dan tanpa aba-aba langsung duduk didepanku. Aku yang langsung merasa gugup hanya menjawab dengan sebuah anggukan.

            “andre” ia mengulurkan sebelah tangannya, dan aku hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya menjabat tangannya.

            “bisa nggak tinggalin gue sendiri.” Sebelum ia sempat melanjutkan obrolan, aku sudah terlebih dahulu mengusirnya. Entahlah, aku merasa tidak suka dengannya, kini ia memicingkan matanya, dan sekali lagi aku mengulangi kata-kataku dan membuatnya langsung tersenyum kaku lalu pergi dari hadapanku. Aku bisa merasakan kekesalannya.

            Sepulang sekolah aku dan Nathan pergi kerumah sakit untuk mengunjungi ibunya. Ia tidak pernah menyinggung lagi alasan aku menyuruhnya memindahkan kamar ibunya.

            “kata dokter kanker nyokap gue kanker ganas, dan minggu kemarin dia udah menjalani kemoterapi pasca operasi.” Nathan bercerita didepan ruangan ibunya yang sedang diperiksa oleh dokter. Aku bisa melihat betapa besar kasih sayang Nathan kepada ibunya. Walaupun begitu jelas bahwa orangtuanya jarang memperhatikannya. Setelah dokter selesai memeriksa keadaan ibunya. aku dan Nathan memasuki ruang perawatan itu dan Nathan memperkenalkan aku kepada ibunya. Wanita paruh baya itu terlihat lemah dan kulitnya terlihat menguning, tubuhnya kurus seakan digrogoti penyakitnya. Aku mencoba tersenyum lemah saat membawa telapak tangannya ke bibirku. “mama mau pulang.” Suara lemah itu keluar dari mulut ibunya dan langsung membuat Nathan menggeleng. “nanti kalau mama sudah baikan ya. Sekarang mama minum dulu ya.” Nathan mengambil sebuah gelas dari meja kecil disebelah ranjang. Mendudukan ibunya sebentar dan menjejalkan ujung gelas ke bibir ibunya.

            “sakit Nathan.” ibunya terdengar menggeram menahan sakit. Ia memegang kepalanya tapi nyatanya itu sama sekali tidak mengurangi sakitnya. Mungkin obat dari kemoterapi itu mulai bekerja. “sabar ya ma, mama pasti sembuh.” Omongan Nathan sama sekali tidak direspon oleh ibunya. Ibunya tetap mengerang kesakitan.

            Aku bisa merasakan apa yang dirasakan ibunya Nathan, aku bisa merasakan sakitnya. Aku lekas mendekat dan menggenggam tangannya. Mencoba memenangkannya. Perlahan erangannya mulai menghilang hingga akhirnya ia tertidur.
            “val, nyokap gue nggak apa-apa kan?”
            “nggak apa-apa, dia Cuma tidur.”

            Aku keluar dari rumah sakit menuju sebuah café yang terletak tak jauh dari rumah sakit itu. setelah ibu Nathan tertidur, beberapa kerabatnya datang untung menjenguk. Itulah yang membuat Nathan berani meninggalkan ibunya sebentar.

            Udara siang itu sangat panas, membuatku bisa menghabiskan jus jeruk dalam satu kali tenggakan. Nathan terkekeh melihatku lalu berterimakasih atas kepedulianku kepada ibunya. Aku tidak bisa menahan senyum dan terus memberikan motivasi bahwa ibunya pasti sembuh walau kemungkinannya sangat kecil. Tapi aku selalu tau pada keajaiban tuhan.

            Indah…bukannya gue udah pernah bilang ya…. Aku mengeluarkan ponsel dari tasku dan memencet kontak indah. Cukup lama hingga akhirnya terhubung. “indah.. lo dimana?” aku bertanya dengan nada agak tinggi dan aku bisa dengar kegugupannya menjawab pertanyaanku. “dirumah sepupu gue val, kan gue udah bilang klo gue ada acara keluarga.” Aku bisa mendengar keramaian disekelilingnya. Seperti suara orang berbincang-bincang dengan jarak cukup jauh, juga suara sendok garpu yang beradu diatas piring.

            “gue Tanya sekali lagi, lo dimana sekarang?” aku mengencangkan sedikit suaraku. Mencoba menetralkan kekecewaanku. Dan kali ini indah menjawab lebih tegas. Dan ada kejengkelan dinadanya. “gue dirumah sepupu gue valia, lo kenapa sih? Lo nggak percaya sama gue? Terserah lo mau percaya apa nggak”… tuuut..tuuut. panggilan itu terputus dan aku kembali menaruh ponselku di tas.
            “indah?? Kenapa dia?” Nathan bertanya padaku, aku yakin ia juga bisa melihat raut kekesalan dalam wajahku. Aku menggeleng dan berusaha mengusir bayang-bayang indah dari pikiranku.   

***

            Keesokan harinya, aku bertemu indah dan berusaha bersikap sebiasa mungkin. Ia hanya tersenyum kecil saat melihat aku memasuki kelas. Setelah duduk disampingnya, aku diam, menunggunya berbicara duluan. Menunggu kejujurannya. Tapi dia tidak berkata-kata, aku bisa merasakan kegelisahannya. Angin yang berembus disekeliling kami seperti salju yang menciptakan kebekuan luar biasa. Aku berdehem lalu melirik kearahnya saat ia melontarkan pertanyaan mengenai keadaan ibu Nathan. ia juga melontarkan penyesalannya karena tidak bisa ikut menjenguk ibu Nathan kemarin.

            “ibunya wanita yang kuat. Keadaannya terus membaik.” Aku mencoba menghilangkan ketegangan dalam nada suaraku. Atau sebenarnya berusaha memancing kejujurannya. Aku tau kemarin ia tidak sedang ada acara keluarga, aku tau kemarin dia berada dimana, dengan siapa. Tapi kenapa ia harus berbohong. Apa ini yang namanya sahabat? Dulu, sahabatku hanya farrel dan aku tau dia tidak pernah berbohong padaku. Dia selalu menceritakan semua kebenaran yang terjadi padanya.

            Aku tersenyum sinis saat melihat andre memasuki kelas. Memperlihatkan pesona dari senyumnya kepada indah. Indah membalas senyum andre dengan kaku.

            “makasih ya kemaren udah nemenin gue nonton. Gue seneng jalan sama lo. Oia, gimana klo nanti lo pulang bareng gue?”

            Aku melihat kepalsuan dalam kata-kata itu. sebuah ketulusan yang tidak benar-benar ada. Sebuah kepedulian yang sebenarnya hanya omong kosong belaka. Wajah indah memucat, aku tau sebenarnya ia juga ingin melontarkan kebahagiannya berasama andre, tapi karena aku ada disana. aku tau ketakutan indah akhirnya terwujud. Yaah, biarpun aku sudah mengetahui sebelumya, tapi aku bisa melihat raut wajah indah yang akhirnya kebohongan terbongkar. Andre melirik kearahku dan indah secara bergantian. Aku tau ia bingung melihat kita hanya saling menatap tanpa berkata apa-apa.

            Aku yang mulai merasa risih lalu berdiri dan berjalan keluar dari kelas saat itu juga. pergi menuju taman dibelakang sekolah. Aku merasakan dadaku sesak karena suatu perasaan. Dan saat itulah farrel muncul.

            “apa yang terjadi?” Dia bertanya saat sudah sampai didepanku. Aku menengadahkan kepalaku, mencoba melirik senyum farrel yang dihiasi lesung pipi.

            “indah, dia bohong sama gue. Gue udah bilang kalo andre itu bukan cowok baik. Tapi entah gimana caranya kemaren mereka jalan bareng. Dan indah bilang sama gue klo dia kerumah sepupunya Karena ada acara keluarga.” Aku menutup wajaku dengan kedua telapak tangan. Menyesali perasaan yang tumbuh. Apa aku harus merasa sekecewa ini? dibohongi?? Aku seharusnya tau bahwa ini bukan hal yang aneh. Tapi, dia sahabatku, bagaimana lagi aku harus memberitahunya.

            “lo emang ga butuh sahabat valia, udah ada gue yang selalu ada buat lo. Lo seharusnya nggak mengorbankan hidup lo untuk punya sahabat yang nggak ada gunanya kaya mereka.” Farrel masih terus mengoceh hingga akhirnya aku kembali menengadahkan kepalaku. Aku melihat sosok farrel yang selalu awet muda. Sejak mengenalnya belasan tahun lalu, dia tidak berubah sampai saat ini.

            “tapi, gue sayang sama mereka? Gue nggak mau terjadi apa-apa sama mereka.” Aku mendengar senyum sinis dar farrel.

            “lo dulu juga begitu, begitu menghawatirkan orang yang lo sayang padahal mereka sama sekali nggak sayang sama lo. Mereka malah mengganggap lo aneh, mereka mengira lo gila, mereka bilang lo  punya kelainan, dan mereka bilang lo pembawa sial.”

        “sttttooooooooopppppppppp.” Aku menutup telingaku rapat-rapat sebelum farrel menyelesaikan pidato menyakitkan itu. aku memejamkan mata dan kejadian bertahun-tahun lalu berputar dipikiranku.

            “ayolah valia, berapa kali lo mau menentang kodrat bahwa lo beda dari mereka.”
         “stoop fareel, please stop.” Aku memohon padanya untuk berhenti bicara. Saat Air disudut mataku menetes, aku menangis. Bimbang antara membenarkan kata-kata farrel tapi begitu berkeinginan menentang atas semua kebenarannya.

            “tapi gimanapun lo. Lo akan tetap jadi sahabat gue sampai kapanpun.”  Seketika itu juga farrel menghilang entah kemana. Dan saat aku menengadahkan kepalaku dan bersiap meninggalkan taman. Aku melihat berpasang-pasang mata menoleh kearahku. Sorot mata mereka semua sama. Penuh ketakutan dan semuanya terasa mengintimidasiku. Aku lekas berlari kembali kekelas dan melihat indah tidak ada dibangkunya. beberapa anak-anak dikelas sudah berhamburan keluar kelas karena lima menit sebelumnya bel istirahat telah berbunyi.

            Aku terduduk dibangku ku. Meratapi semua kata-kata farrel yang hampir semuanya benar. Seharusnya aku menyadari bahwa aku tidak bisa menyangkal itu semua. aku berbeda dari mereka

***

“val, gue cariin dikantin. Ternyata lo masih disini.” Nathan masuk dan langsung duduk disampingku. Dia juga menanyakan indah yang sudah menghilang entah kemana. Tapi aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu.

            “lo kenapa val?” aku berfikir kalau Nathan mungkin merasakan ketidakberesanku.
          “nggak kenapa-kenapa.” Aku tersenyum selebar mungkin. Membuatnya percaya dan membalas senyumku. Nathan mengajakku ke kantin hanya untuk melihat indah yang sedang duduk disatu meja dengan andre. Aku menatapnya dan seketika itu juga dia menunduk. Tidak membalas tatapanku sedikitpun.

            “indah kok bisa sama andre?” Nathan membelikanku sepiring somay dan langsung kusambut dengan uluran tangan. Lagi-lagi aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu.

            “lo berantem sama indah?.” Aku mulai asik menyantap isi piringku dan kembali mengangkat bahu. Membuat Nathan berdecak kesal.

            “ada apa sih sama lo berdua?”  Nathan mulai bawel menanyai masalahku dengan indah. Tapi sejujurnya aku lebih ingin menyuruh Nathan diam. Karena aku tidak tau harus mulai darimana. Lagipula, aku tidak punya alasan untuk melarang indah berhubungan dengan andre hanya karena aku tau niat busuknya yang tidak bisa kujadikan bukti karena hanya sekedar ucapanku.

            “nggak ada apa-apa. Kemarin, dia bilang dia gak bisa jenguk nyokap lo karena ada acara keluarga. Tapi sebenarnya dia jalan sama andre.” Gelas Nathan melayang, ia tidak jadi meminumnya dan malah menggantunggannya diudara. Matanya membulat mencoba mencari keyakinan pada ucapanku.

            “gue ga suka dia berhubungan sama andre karena andre ga sebaik yang dia kira.” Nathan menaikkan alisnya. Lalu sekilas melirik indah yang duduk tak jauh dari tempat kita duduk.


            “udah.. indah kan udah gede. Lagian, mereka berdua kan belum tentu jadian. Sebenarnya, gue juga nggak terlalu suka sama andre.” Nathan kini berhasil menengguk minumannya dan aku hanya mengangguk pelan. Walau sebenarnya aku tau kalau suatu saat hal itu pasti terjadi. 

Thursday 30 October 2014

Gadis Nila

BAB SATU

       “aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.” Aku berteriak melihat sesosok tubuh terbungkus kain putih yang penuh dengan bercak darah diranjangku. Disamping tempatku memejamkan mata malam ini. Aku yang kaget sontak berlari menuju kamar mandi dan menutup pintu itu rapat-rapat. Percuma sebenarnya, karena aku masih bisa merasakan keberadaannya dengan begitu jelas. Tak lama sebuah ketukan pintu terdengar jelas saat aku mulai menyalakan kran dan mulai membasuh tubuhku dibawah shower. “kamu kenapa valia?” mendengar suara ibu, aku langsung mematikan kran dan mulai menyahut bahwa aku baik-baik saja.
       Setengah jam kemudian aku keluar dari kamarku dan menarik nafas panjang-panjang. Sosok menakutkan itu sudah tidak terlihat lagi diranjangku tapi kau masih bisa merasakan keberadaan  mereka disekitarku.

       "kamu kenapa sayang?” ibuku bertanya saat aku sampai dimeja makan. Aku mencoba tersenyum dan melihat ayahku sudah ada disana.
     “kamu masih digangguin? Apa kita perlu pindah rumah lagi?” ibuku terlihat cemas sedangkan aku hanya tersenyum kecut.
    “nggak bu, mau kita pindah dimanapun valia selalu bisa merasakan keberadaan mereka.”

        Aku menyantap sarapan pagiku dengan tenang. melirik adikku yang duduk disamping ayahku dan beberapa kali melirikku dengan dingin. setelah selesai aku berpamitan dengan kedua orang tuaku dan mulai berjalan ke depan komplek untuk mencari bus yang sudah dua minggu ini mengantarkanku ke sekolah. sekolahku sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah baruku. Oia, aku dan keluargaku adalah Pindahan dari Yogyakarta. Aku lahir dan dibesarkan dikota keraton itu. tapi karena satu dan lain hal aku dan keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta tepat saat aku masuk SMA. Sebenarnya aku menolak meninggalkan kota kelahiranku itu tapi sudah terlalu banyak pengalaman buruk disana sehingga aku menuruti ajakan kedua orangtuaku.
            
      Aku masuk ke gerbang hitam itu dan melambaikan tangan kepada indah, teman baruku sekaligus sahabatku. Dia tersenyum dan berhenti sedangkan aku mulai berlari-lari kecil menghampirinya.
        “udah ngerjain tugas IPA belum lo? Nyontek donk gue?” tanyanya setengah merayu.
        “belum, lagian bu Novi ga masuk kok. Jadi tenang aja.”
        “tau dari mana lo?” tanyanya dengan wajah tidak percaya.
     “hhmmm… kemarin gue denger dia agak ga enak badan gitu.” Dia berhenti dan menatapku dengan pandangan aneh.

      “awas sha, ati-ati jatoh.” Aku meneriaki sha-sha, salah satu temanku yang berlari menuju kelas mendahului langkahku dan indah cukup kencang. Membuat beberapa pasang mata menoleh kearahku.

        “lebay banget lo val, kaya sha-sha anak kecil aja.” Indah menyorakiku tapi langsung diam saat kami berada diambang pintu. Aku hanya menampakkan wajah tanpa ekspresi melihat sha-sha terduduk dilantai dikelilingin beberapa anak-anak lain. Sepatunya sudah terlepas dari kakinya dan ia terlihat mengoleskan salep ke pergelangan kakinya.

         “lo ga apa-apa sha?” tanyaku.
      “bener kata lo val, gue harusnya hati-hati.” Ia meringis menahan perih dan indah langsung menggandeng tangannku ke tempat duduk kami.

      “kok lo tau kalau sha-sha bakal jatoh?” tatapan indah kali ini dingin. Aku menarik nafas panjang. “kebetulan. Lagian gue tau kalau sepatu sha-sha itu baru dan alasnya itu licin. Soalnya gue juga punya sepatu macam gitu juga.”  Kali ini indah mengunci mulut rapat-rapat dan lebih memilih memperhatikan bu fania yang sudah muncul ke permukaan kelas. Tapi buatku, bukan bu fania yang menarik perhatianku. Melainkan sesosok wanita dengan gaun putih dan rambut panjang sebahu yang ikut masuk dan bergerak dibelakang bu fania. Aku menarik nafas panjang dan mencoba untuk tenang. wanita itu menatapku dengan wajah tidak karuhan. Wajahnya hancur dengan darah segar yang menghiasi wajahnya. Wanita itu kini bergerak kearahku, benar-benar membuatku gemetar. Aku lekas menunduk dan mencoba menghiraukannya.

         “lo kenapa val?” indah yang mungkin merasakan keanehanku langsung bertanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban tercepat.

      Aku mendengar suara desahan pelan dan bau-bau aneh disekelilingku. Untuk beberapa saat aku hanya bisa menunduk, sama sekali enggan mengangkat kepalaku. Aroma kemenyan masih terus menguar memenuhi sela-sela hidungku.

    Beberapa menit kemudian, setelah memastikan keadaan kembali normal. Aku mengangkat wajahku dan melihat sosok itu keluar dari ruangan.

***

       “bener kata lo val, bu novi ga masuk. Kok bisa kebetulan gitu ya. Untung gue ga repo-repot ngerjain tugas.” Indah tertawa saat kami sampai dikantin dan duduk disalah satu meja kosong disana. “eehh, si Nathan kemana?” indah mengedarkan pandangannya mencari jonathan, atau yang akrab kami panggil Nathan. Dia adalah cowok berkulit kuning langsat dengan senyum yang menurutku cukup mempesona. Tingginya kurang lebih 173cm dengan bobot kurang lebih 54kg. sampai saat ini hanya Nathan dan indah yang mau jadi sahabatku. Hhmm… aku memang termasuk siswi kurang gaul… atau mungkin sedikit anti sosial. Aku tidak terlalu suka dengan keramaian dan lebih suka menyendiri. Tapi semenjak aku mengenal indah dan Nathan, aku cukup nyambung mengobrol dengan mereka berdua. Mereka tidak menganggapku berbeda dengan yang lain walau pada kenyataannya aku berbeda.

        “waah.. panjang umur tuh anak.” Indah melambaikan tangan kearah Nathan yang kulihat sedang berjalan kearah kami.
      “NATHAN STOP.” Aku berteriak sekeras mungkin dan berhasil membuat Nathan berhenti melangkah, bukan hanya Nathan tapi semua anak-anak dikantin kini menatapku dengan pandangan aneh. Aku ikut terdiam hingga beberapa detik kemudian sebuah papan slogan berukuran 30x35 meter yang tergantung dilangit-langit kantin terjatuh dan menimbulkan bunyi berdebam cukup keras. Aku menarik nafas lega lalu tersenyum kearah Nathan seraya mengisyaratkannya akan kembali berjalan. “kok lo bisa tau kalo tu papan mau jatuh?” Nathan masih menatapku dengan tatapan tidak percaya saat duduk didepanku. Tidak hanya Nathan tapi indah dan semua penghuni kantin masih menatapku dengan tatapan aneh.

         “gue Cuma lebih teliti aja dari lo semua. Gue udah liat kalau tali gantungannya itu udah mau putus. Masuk akal kan?” aku mencoba meyakinkan kedua temanku, dan akhirnya kembali menyantap makananku setelah melihat bahu mereka melemas.

         “thanks banget kalo gitu, gue ga tau apa jadinya kalo lo gak kasih warning  ke gue tadi.” Nathan langsung menyeruput jus jeruk yang sudah aku pesankan untuknya. Ini bukan hal pertama yang terjadi denganku. Tapi satu-satunya yang aku inginkan adalah aku ingin semua yang ada disekelilingku tidak berfikir yang aneh-aneh tentangku. Betapa aku ingin mereka melihat hal ini sebagai suatu hal yang wajar. Dan betapa aku berusaha mengeluarkan alasan-alasan logis untuk menjelaskan kepada meraka kalau ini adalah hal biasa. Dan aku hanya gadis biasa.

         “sebagai tanda terima kasih. Gimana kalau nanti sepulang sekolah lo gue traktir mie ayam depan sekolah.” kata Nathan yang langsung disambut rajukan indah karena minta ditraktir juga.
          “iya deh, lo juga.”
         Tapi aku langsung kekeuh menolak. Aku memang selalu menolak jika diajak makan ditempat itu. padahal tempat itu selalu ramai. Bukan karena tidak ingin mengantri tetapi aku selalu melihat sesosok anak kecil berkepala plontos atau mungkin akrab orang kenal dengan nama tuyul terduduk diatas gerobak tukan mie ayam itu. mungkin itulah yang membuat mie ayam itu selalu ramai diburu para penikmatnya. Dan untuk kali ini aku tidak tau harus memberikan alasan seperti apa. Mau bilang kalau aku tidak suka mie ayam. Mustahil karena pada kenyataannya aku tidak pernah menolak diajak makan mie ayam ditempat lain.  

         “gue gak suka aja makan disana.” kataku saat mereka mulai menanyakan kenapa aku tidak mau makan disana. “tempatnya ga steril.” Lanjutku yang langsung diprotes dengan aksi mengerutkan kening dari kedua sahabatku.

         “pokoknya gue gak mau.” Kataku lagi saat tidak mendapati tanggapan dari mereka. Aku melihat senyum dari Nathan dan ajakan makan ditempat lain dan aku menyetujuinya begitu juga dengan indah.

         Setelah bel pulang berbunyi aku dan kedua sahabatku langsung melesat menuju mall yang jaraknya tidak jauh dari sekolah kami. Di halte, Aku memejamkan mata merasakan sesuatu berputar dalam otak kecilku. “kita tunggu bis selanjutnya aja.” Kataku saat melihat sebuah bis yang seharusnya aku taiki muncul diujung jalan.

         “apa?” Tanya Nathan spontan.
     “kita jangan naik bis itu. Kita naik bis selanjutnya aja.” Kataku memperjelas. Membuat indah membantah karena bis itu tidak padat seperti biasa dan kita bisa dipastikan mendapat tempat duduk di bis itu. tapi aku membentak dan membuat mereka akhirnya diam.

       Semoga tuhan menjaga kalian. Kali ini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak mungkin menyuruh supir bis itu menghentikan kegiatannya. Aku bisa di kira gila. Tapi seharusnya aku tidak begitu  khawatir karena bukan hal pertama dalam hidupku. Bertahun-tahun lalu aku sering di kira orang gila sampai orang yang menderita kelainan. Karena aku berbeda dengan mereka. Aku unik, aku spesial, aku istimewa. Itulah yang selalu aku katakan pada diriku sendiri kala mereka menganggapku berbeda.
            
        Aku sampai disalah satu mall dijakarta dan langsung menuju toko buku. Salah satu tempat favoritku. Aku mustahil melewatkan tempat ini saat berada di mall. Baik seorang diri, bersama keluarga, ataupun saat bersama Nathan dan indah. Aku bergerak ke rak buku yang memajang buku-buku tentang politik. Sedangkan Nathan dan indah berpencar entah kemana.

       Aku mengambil salah satu buku yang bercerita tentang teori konspirasi. Buku itu masih tersegel rapi dan aku hanya menatap buku itu baik-baik. Tidak lama seorang petugas toko buku itu menghampiriku dan mulai menawarkan buku yang sedang kupegang. Sebenarnya aku ingin sekali menyumpal mulutnya pakai apapun yang bisa kugunakan. Tapi akhirnya aku menunggu sampai ia berhenti berbicara.

         “makasih mbak. Tapi saya udah tau kok ini buku isinya apa aja.” Dengan penuh rasa hormat, aku kembali menaruh buku itu ditempatnya dan kembali berjalan, mencoba mencari keberadaan dua sahabatku. Aku menemukan indah berada dirak yang memajang novel-novel keluaran terbaru. Melirik satu persatu lalu membaca sinopsisnya dan kemudian memasukkannya ke tas untuk dibawa ke kasir.

    “ngapain lo beli buku banyak-banyak?” tanyaku sambil melirik ke arah tas belanjaannya. Membuatnya ikut mengarahkan pandangannya ke sesuatu yang tergantung ditangan kanannnya.

        “buat dibaca lah.” Jawabnya enteng. Aku lantas mendekat dan memperhatikan buku-buku yang terpajang disana.

         “buku murahan, ga berguna, ga ada manfaatnya. Gue bingung kenapa banyak orang yang mau buang-buang duit buat buku kaya gini?” aku menyerocos panjang lebar mengenai pendapatku tentang buku-buku itu tanpa memperhatikan indah yang menatapku dengan sarkastik.

     “lo ngomong apaan sih?” aku kini menatap wajah indah yang seratus persen kebingungan. Aku yang seakan tersadar langsung menggeleng. Menguatkan rasa itu agar buru-buru pergi. “gak apa-apa. Ayo cari Nathan.” Aku manarik tangan indah menyusul Nathan yang rupannya sudah berdiri tegak bak security dipintu masuk.

         Aku dan kedua sahabatku melanjutkan perjalanan menuju salah satu restoran. Dan sesuai kesepakatan awal kalau Nathan yang akan mentraktir. Biarpun aku baru mengenal Nathan. Tapi aku bisa lihat kalau Nathan berasal dari ekonomi kelas atas. Bukan karena barang-barang yang dipakainya selalu mewah atau ber-merk. Nathan bersikap seperti anak-anak biasa, tidak ada yang mencolok dari dirinya. Tapi hanya dengan menatap matanya, aku bisa tahu kalau ayahnya bekerja sebagai pengacara dan ibunya adalah seorang notaris yang begitu aktif bekerja. Ia salah satu tipe anak yang kurang kasih sayang, setidaknya itu yang bisa aku simpulkan darinya. Mengingat kedua orangtuanya selalu berangkat sebelum ia terbangun dan pulang setelah ia tertidur lelap.

         Berbeda dengan Nathan indah adalah tipe anak manja yang memang berlimpah kasih sayang. walau orang tuanya tidak sekaya orang tua Nathan tapi tetap bisa diperhitungkan sebagai keluarga menengah ke atas. Ayahnya bekerja sebagai manager disebuah perusahaan asing dijakarta, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga yang setiap harinya disibukkan dengan kegiatan shopping dan arisan bersama ibu-ibu satu komplek dengannya. yang sama dari mereka berdua adalah sama-sama terlahir sebagai anak tunggal. Walaupun aku tahu kalau sebenarnya Nathan sangat ingin memiliki adik. Ia berfikir kalau ia memiliki adik, rumahnya tidak akan sepi, akan ada orang yang diajaknya bermain, yang membuat rumahnya tidak seperti rumah kosong.

         aku dan Nathan masih berada di restoran itu saat indah pamit untuk pulang. Yaahh.. seperti yang kubilang. Indah adalah tipe anak manja yang semua tindak-tanduknya selalu diperhatikan ibunya.

         “lo ngga mau pulang tan?” tanyaku pada Nathan saat aku benar-benar merasa bosan. Bayangkan saja. Aku dan Nathan hanya duduk disana dan berbicara ngalor-ngidul tanpa tujuan yang jelas. Walau aku akui obrolan kami cukup menarik dan aku berusaha untuk tidak merasa boring Mungkin untuk anak sebayaku ini mungkin yang di namakan “nongkrong”. Tapi buatku, ini benar-benar hal yang sia-sia. Kita harusnya bisa melakukan hal lain yang lebih berguna dibanding duduk-duduk tidak jelas seperti ini.

         “bentar lagi ya val. Ntar lo gue anterin sampe rumah deh.” Katanya dengan wajah memelas. Dan saat itu juga aku bisa merasakan kesepiannya. Ia sendiri, ia kesepian, ia butuh seseorang. Akhirnya aku berusaha menahan diri dan mengikuti kemauannya. Kami kembali terlibat obrolan asik. ia menceritakan minatnya terhadap basket, hobinya bermain gitar, cita-citanya yang ingin menjadi seorang pemain musik.

         “tapi bokap lo ga suka lo main musik?” tanyaku disela-sela curhatannya.
         “iya, kok lo tau?” Nathan agak kaget dengan pertanyaanku karena ia memang tidak menyinggung sama sekali soal keluarganya.

         “nebak aja. Hidup lo kaya cerita sinetron.” Aku tertawa kecil mencoba menetralisir keadaan. Dan aku melihat Nathan mengangguk sambil menyeruput minumannya. “tapi mending kita pulang yuk… nyokap lo udah sampai dirumah tuh.” Aku lekas membereskan barang-barangku dan bersiap-siap pergi, tidak memperhatikan raut wajah Nathan yang berubah bingung.

         “ga mungkin nyokap gue jam segini balik. Jangan sok tau deh lo.” Aku menoleh dan melihat wajah Nathan berubah. Ia sepertinya jadi sensitif kalau menyangkut keluarganya.

         “lo harus percaya sama gue karena kayanya nyokap lo sakit deh.” Aku berdiri dan memaksanya ikut berdiri hingga akhirnya ia memberontak. “gue ga mau pulang.” Aku menatap matanya dengan tajam aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan Nathan.

         “tapi lo harus balik sekarang karena nyokap lo sakit.” Aku berusaha berbicara pelan agar tidak menarik perhatian orang-orang disekitarku. “jangan kaya dukun deh.” Aku mendengar nada suaranya meninggi “apa lo bilang? Dukun?” saat itu juga amarah bergemuruh dihatiku. Aku benci kata-kata itu ataupun sejenisnya. Dukun, peramal, paranormal. aku lekas berlari menjauhi Nathan Dan masih sempat mendengar dia memanggil namaku berkali-kali hingga kahirnya suara itu hilang. Aku berlari keluar dan mencari taxi. Aku ingin menangis dan menyesal. Seandainya aku tidak sok tahu dan terus berusaha menjadi anak biasa.  Tapi dia sahabatku, aku tidak mungkin tidak peduli padanya. Suara handphone membuat sedikit perhatianku teralihkan. Ada nama Nathan dilayar touchscreen itu. setelah membiarkan panggilan itu mati dengan sendirinya, sebuah pesan singkat menyusul masuk ke ponselku.

“val, maafin gue klo gue nyinggung lo.”
Sender : jo_nathan


           Aku hanya memperhatikan pesan itu tanpa berniat membalasnya. Tak berselang lama, panggilan itu muncul lagi tapi aku malah mematikannya.