buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Saturday 8 November 2014

Hanya Aku dan Marcell


    Mataku menyalang tajam menatap suamiku yang terduduk disamping ranjang rumah sakit. Wajahnya letih dengan garis-garis kelelahan yang sama sekali tidak tersamarkan bahkan saat ia mengulas senyumnya.

     “Maafkan aku.” Aku berbisik Pelan pada Marcell. Pria sempurna yang sudah 4 tahun menemani hidupku. “Tidak apa-apa. Yang penting kau baik-baik saja.” ia meringis mengelus perutku yang beberapa jam lalu besar dan Sekarang sudah kembali ke ukuran semula. Aku tahu ia berbohong. Dia Tidak baik-baik saja, ia kecewa, aku bisa melihat dari sirat matanya. Aku merasakan hati kecilku teriris, tapi buru-buru aku enyahkan, bukankah aku seharusnya senang? Bahagia? Semuanya akan kembali seperti semula. Hanya aku dan suamiku, Marcell. Tanpa anak, tanpa pengganggu dan tanpa orang lain.

    Orang mungkin akan mengganggapku gila karena aku sama sekali tidak ingin memiliki anak. Aku terlalu mencintai Marcell. Aku tidak ingin ada orang lain dalam keluarga kecilku, aku tidak ingin marcell membagi cintanya, hatinya, perhatiannya dan semuanya pada yang lain. Aku membutuhkan semua itu seutuhnya seakan itu ada sumber kehidupanku.

   Empat tahun lalu, Marcell Melamarku setelah 2 tahun kami berpacaran. Dan rasanya melebihi kata “BAHAGIA”.  aku tidak perlu lagi berjauhan dengannya, kami akan tinggal satu atap, satu rumah dan kami akan selalu bersama. Aku tidak perlu takut lagi kala ia pulang malam dari kantornya karena sekarang aku yang  akan menyambutnya dengan senyum. Tiap mentari menyemburatkan cahayanya, ialah orang pertama yang akan aku lihat, wajah tampannya yang acak-acakan dan aku sangat menyukainya. Aku membuatkan sarapan kesukaannya. Roti isi telur dadar dan kopi hitam lalu membuatkan bekal untuk makan siangnya, aku tidak mau ia makan diluar dan terlibat sosialisasi yang terlalu berlebihan. Siangnya, aku akan mencuci bajunya. Mencium aroma maskulin yang menempel di kemejanya. Wangi yang sangat aku sukai. Setelahnya, aku akan menunggu jam menunjukkan pukul 12 siang, karena aku akan selalu menelponnya. Mengingatkannya agar tidak telat makan dan menemani makan siangnya melalui telepon. Lalu, aku akan memasak, membuat makanan kesukaannya. Begitu seterusnya. Rutinitas yang menurut orang mungkin membosankan. Tapi aku tidak, aku selalu menikmati detik-detik melayaninya, menit-menit memanjakannya, berjam-jam bersamannya, dan selamanya akan seperti itu.

    Awal pernikahan kami, aku mengutarakan keinginanku untuk menunda memiliki anak, Dan melihat umurku yang masih terbilang muda, Marcell mengiyakannya dan akhirnya setuju aku meminum Pil KB untuk menunda kehamilan. Tapi itu hanya berjalan tiga tahun. Rupanya Marcell mulai mengingnkan tawa dan tangis bayi diantara kita. Aku melihat begitu besar keinginannya untuk memiliki anak. Dan dengan terpaksa aku bilang tidak akan mengkonsumsi Pil KB lagi. Berbulan-bulan sejak itu sebenarnya aku masih meminum rutin Pil itu tanpa sepengetahannya. Apapun asal aku tidak hamil. Diapun tidak menaruh curiga sedikitpun.

   Pertengahan bulan maret aku menaruh curiga karena aku tak kunjung datang bulan. Aku sempat khawatir karena takut kalau aku hamil. Jawaban langsung kudapatkan saat aku melakukan test menggunakan test pack dan semua ketakutanku menyeruak. Positif , Bagaimana mungkin? Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan aku melihat Marcell tersenyum. “aku pulang lebih cepat. Kau sudah lebih baik? Atau kita butuh ke dokter?” Tiga hari kemarin memang aku sempat mengalami sakit. Perutku mual aku selalu memuntahkan semua makanan yang aku makan. Dan sekarang aku tersadar, aku bukan sakit tapi aku hamil. aku yang kaget justru menjatuhkan alat periksa kehamilan itu, dan berharap Marcell tidak menyadarinya.“tidak, aku sudah lebih baik.” Aku tersenyum kaku saat melihat Marcell mendekat dan dalam hitungan detik justru kaki-nyalah yang menginjak benda panjang itu. Ia yang menyadari lantas mengambil benda itu dan tersenyum lebar seakan tidak percaya dengan apa yang ada dihadapannya. “kamu hamil?” aku diam, tidak tau harus memperlihat wajah seperti apa. Aku mematung lalu merasakan tubuhku dipeluk erat olehnya. “oohh terima kasih tuhan.” Ia melepas pelukannya dan aku melihat binar kebahagiaan yang terpancar dari sorot matanya. “kita harus memastikan secepatnya ke dokter.”

     Aku tidak tau bagaimana aku bisa hamil, mungkin aku pernah lupa mengkonsumsi Pil KB itu atau entahlah. Yang jelas, sekarang aku hamil. Aku akan mempunyai seorang anak. Akan ada yang mengambil sebagian perhatian Marcell, Cinta Marcell, dan Kasih sayang Marcell. Tidak..Tidak Boleh. Ini tidak boleh terjadi. Kasih sayang Marcell Hanya untukku. Tidak ada yang lain.

     Selama kehamilanku, aku merasa Marcell Tidak berubah. Ia masih menjadi sosok yang hangat. Perhatiannya bahkan menjadi dua kali lipat. Ia jarang pulang malam, Ia rajin memijat kakiku yang terasa pegal, Membuatkanku teh hijau saat aku merasa perutku bermasalah, mengingatkanku agar tidak lupa meminum susu hamil, dan setiap malam ia selalu mengusap-usap perutku hingga aku terlelap tidur. Tapi aku sadar, semua itu bukan untukku. Itu semua untuk bayi ini, bayi yang tengah ku kandung, darah dagingnya yang sama sekali tidak aku harapkan.

     Selama hamil aku sama sekali tidak mengurangi kegiatanku. Aku melakukan semua pekerjaan dirumah seperti biasa sekeras apapun Marcell melarangku. Tapi aku tidak peduli, tanpa sepengetahuannyapun aku kerap meminum-minuman bersoda dan berakohol. Berharap itu akan mempengaruhi janin yang sedang ku kandung dan yang pasti, aku sering mengkosumsi Nanas muda. Buah yang kata orang ampuh untuk masalah menggugurkan kandungan.

    Kehamilanku menginjak 5 bulan dan aku semakin cemas. Kandunganku baik-baik saja dan terkesan semakin kuat. Ia seakan memang ditakdirkan untuk terlahir diantara aku dan Marcell. Aahh tolonglah aku tuhan. Aku tidak sanggup menerima anak ini. Aku tidak menginginkannya, aku sama sekali tidak mengharapkannya. Tiap malam aku selalu diburu ketakutan. Dan kata-kata ABORSI  Pernah terlintas dipikiranku. Tapi sekali lagi, apa aku tega. Bukan..bukan pada calon bayiku. Tapi pada Marcell. Apa aku tega Melenyapkan kebahagiaan Marcell. Apa jika aku kehilangan bayiku senyuman itu akan tetap ada? Lagipula aborsi terlalu beresiko.

    Usia kandunganku menginjak 7 bulan dan sepertinya aku tidak punya pilihan selain membiarkan anak ini lahir kedunia. Mengambil alih duniaku dan Marcell. Apa aku siap kehilangan Marcell? Apa aku siap membagi cinta dan kasih sayang Marcell untuk anak ini?

     Sore itu. Aku tengah bersantai menunggu kepulangan Marcell. Aku duduk di sofa kamarku. Kehamilan ini benar-benar membuatku lemah. Membuat gerak-gerikku terbatas. Suara bel pintu membuyarkan perhatianku dari televisi didepanku. Bel itu terus berbunyi karena aku masih harus melewati ruang tamu untuk sampai dipintu utama.

    Karena orang diluar terus menerus membunyikan bel yang memekakan telinga. Aku berusaha mempercepat langkah kakiku. Tapi karena ketidak hati-hatianku. Aku terpeleset dan jatuh tersungkur. Aku sempat berteriak sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

      Dan beberapa Jam yang lalu. Aku tersadar diruangan serba putih dengan bau menyengat yang sangat khas. Marcell yang mengetahui aku sudah siuman langsung menghampiri “aku dimana?” tanyaku dengan suara lirih. “kau dirumah sakit sayang. Kau terpeleset di ruang tamu dan kita kehilangan calon bayi kita.” Wajahnya pucat, sendu, dan terlihat acak-acakan, frustasi dan lelah. Tak kudapati lagi Marcell yang selalu terlihat sempurna dengan senyum manisnya. Tapi… aku keguguran… itu artinya aku tidak melahirkan anak Marcell, Tidak akan ada yang hadir diantara aku dan Marcell, aku tidak harus berbagi cinta dan Kasih sayang Marcell. Hanya aku dan Marcell.



     Mungkin kalian akan berfikir aku gila, Psykopat, punya kelainan jiwa atau apapun. tapi aku mencintainya. Begitu besar. Aku terobsesi padanya. aku tidak menginginkan orang lain selain Marcell, hanya Marcell. Dan sekarang kau tau bagaimana rasanya? Rasanya seperti kau terbang bersama kekasihmu, lega luar biasa tanpa takut akan angin kencang ataupun hujan.  Sekali lagi Hanya aku dan Marcell

Thursday 6 November 2014

Gadis Nila

BAB ENAM

Entah sudah berapa air mata yang jatuh karena menceritakan masa laluku. Nathan tersenyum tipis lalu memelukku. Mengelus pundakku dengan sebelah tangannya.

“gue bakal tetep jadi sahabat lo apapun yang terjadi.” Aku melepas pelukannya dan menatap matanya dalam-dalam. Mencoba mencari kebenaran dalam kata-katanya. “lo bisa percaya sama gue.” Aku merasakan tangan Nathan mengelus pipiku. Meyakinkanku bahwa omongannya benar-benar bisa dipercaya. Aku merasakan kelegaan luar biasa, setidaknya aku masih mempunyai Nathan yang akan selalu ada disampingku. Dan apapun yang terjadi besok, aku harus siap.

Tiga hari setelahnya semuanya baik-baik saja. Tapi tidak untuk hari selanjutnya. Aku datang kesekolah seperti biasa. Tapi keanehan muncul saat aku menjejakkan kaki digerbang sekolah. beberapa anak yang melihatku terlihat menjauh dan berbisik, membiacarakan sesuatu yang sama sekali tidak aku megerti. Aku tau mereka membicarakanku. Aku melihat nathan dari kejauhan, berjalan kearahku. Aku bisa melihat kerisihannya melihat orang-orang lain.

“kenapa sih tan?” aku mengikuti Nathan menuju taman belakang sekolah. ia lalu mengeluarkan smartphone dari saku celananya. Lalu memutar sebuah video yang dikirim melalui kontak blackberry messenger. Dan yang ada di video itu adalah aku. Aku yang sedang berada ditaman ini dan sedang berbicara sendiri, bukan,  aku yakin aku sedang berbicara dengan farrel. Tapi siapa orang iseng yang tega melakukan hal ini. aku merasa kehancuran ada didepan mataku kali ini. mereka akan menganggap aku aneh, aku gila. Sama seperti kejadian beberapa tahun lalu.

“ini semua nggak akan seburuk yang lo kira. Semuanya akan baik-baik aja.” Dia meremas tanganku. aku bisa melihat bayangan wajahku yang mencoba tersenyum dari bola mata gelapnya.

“tegakkan kepala lo val. Tunjukin sama mereka klo gosip murahan itu sama sekali nggak berpengaruh sama lo.” Nathan mengucapkan kata-kata itu saat aku kembali berjalan menuju kelas. Melewati koridor yang masih diisi oleh anak-anak yang asik bergosip. Aku tersenyum menyadari katanya seperti mantra buatku. Aku mengangkat wajahku dan menatap mereka yang membicarakanku. Sebagian dari mereka memilih menunduk saat aku menatapnya, tapi sebagian lagi memilih tersenyum sinis.

“kalo ada apa-apa bilang gue aja. Ntar gue kesini lagi pas jam istirahat.” Aku tersenyum saat Nathan mengantarku sampai depan kelasku, walau aku tidak yakin dengan apa yang akan terjadi didalam kelasku beberapa menit kemudian.

“makasih yaa.. gue bakal baik-baik aja.” Sekali lagi aku tersenyum dan masuk kedalam kelas. Menatap satu persatu teman sekelasku yang menatapku dengan sarkastis. Tanpa memperdulikan mereka, aku duduk dibangku ku. Dan hanya memikirkan apa yang mereka pikirkan tentangku.

Gue inget beberapa waktu lalu waktu sha-sha jatoh, gue dengar dia bilang hati-hati sama sha-sha. Gue pikir itu salah satu bukti kalo dia emang pembawa sial.

Oia, betul, sama kaya kejadian dikantin pas papan jatoh dari atap. Gue sebenarnya ragu kalo itu kebetulan.

Semua yang dia omongin selalu jadi kenyataan. Pantes aja ga ada orang yang mau deket sama dia.

Beruntunglah  si indah udah ga temenan sama dia, tapi, anak kelas sebelah tuh.. siapa namanya.. ohh,, Nathan.. kok dia masih mau ya temenan sama dia.
­­­­­­­­­Dia belum kena batunya aja.
           
Aku menahan emosiku yang sudah berada diubun-ubun. Tidakkah mereka tau kalau aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan saat ini. aku menarik nafas panjang, mencoba menengkan diri walau sebenarnya aku ingin sekali menyumpal mulut mereka satu-persatu. Mengajarkan pada mereka tentang menghargai orang dan tidak dengan asal menghakimi seseorang. Sepanjang pelajaran aku masih bisa mendengar desas-desus gosip yang berembus di tiap sela-sela kelas mengenai diriku.

***

“Lo terlihat lebih dewasa menghadapi mereka semua..” farrel mengikuti masuk kedalam kamar. Seakan tidak bosan mengomentari hidupku. Aku melempar tas ku ke meja belajar dan langsung menjatuhkan diri di ranjang. Menghela nafas panjang karena merasakan panas diluar yang sudah menempel dikulitku. “Nathan menguatkan gue, lo tau kan. Sebelumnya gue tidak pernah berfikir sahabat bisa menjadi sosok yang bisa menguatkan kita seperti ini. dulu gue kuat karena gue punya lo, dan sekarang gue punya Nathan juga. gue nggak peduli apa yang mereka pikirkan.”

Farrel terlihat mengangguk seraya membenarkan kata-kataku. Selama beberapa menit aku hanya menatap langit kamarku dalam diam saat suara ibuku memenuhi gendang telingaku. Menyuruhku untuk makan. Aku keluar tanpa mengganti seragamku, hanya sepatu dan tas yang sudah kutanggalkan dari tubuhku, dan dasi yang hanya kukendorkan ikatannya.

Aku melihat adikku Egi sudah ada dimeja makan. Menunduk saat aku memasuki ruangan. Aku duduk ditempat biasa dan mulai menyendokan nasi ke piringku. Biasanya aku lebih suka makan sendiri, dikamar atau menunggu sampai adikku selesai makan dan enyah dari meja makan. Tapi entah kenapa hari ini aku ingin berada disini. Melihat senyum ibuku dan melihat tatapan dingin adik tiriku.

“sepertinya pindah kesini benar-benar merubah hidup kamu ya.” ibuku melihatku dengan senyum dan aku membalas. Mungkin masalah disekolahku diluar jangkauan ibuku dan sejujurnya aku sangat mensyukuri itu. rumah kami sekarang dikelilingi tembok tinggi dan bisa bilang lebih terisolasi oleh yang lain. Selama tinggal disini aku bahkan tidak begitu mengenal tetanggaku. Tapi aku tau bahwa tetangga disamping kananku adalah sebuah keluarga besar dengan lima orang anak. Dua anak laki-laki tertua dan sisanya adalah anak perempuan. Aku pernah melihat salah satu dari mereka beberapa waktu lalu saat aku hendak berangkat kesekolah.

Dua diantaranya kembar dengan perbedaan sikap dan sifat yang begitu mencolok. Biarpun mereka tidak bisa dikenali secara fisik tapi dari aura yang dikeluarkan mereka semua orang akan bisa membedakan mereka. salah satu dari mereka bersikap sangat feminin. Umurnya mungkin sama denganku karena aku melihatnya juga berseragam SMA. Rambutnya tergarai rapi dengan pita berwarna biru yang menghiasi segaris kepalanya. Ditangannya ada gelang-gelang warna-warni khas wanita. Dan dari kejauhan aku bisa melihat kembarannya bersikap sebaliknya. Rambutnya di ikat acak-acakan dengan ransel dan sepatu lusuh. Tidak mencerminkan seorang gadis pelajar. Tapi aku mengagumi kekompakan keluarga mereka. mereka akan makan kalau semua penghuni rumahnya sudah berkumpul dimeja makan. Ayah mereka tegas dan ibu mereka lembut.

Sedangkan penghuni sebelah rumahnya yang lain. Aahh, aku benar-benar membenci wanita itu. aku dan ibuku pernah sekali membawakan kue sebagai perkenalan tetangga baru. wajahnya bulat, rambutnya keriting dan dicat berwarna merah keunguan, tubuhnya jangkung, aku mengira tubuhnya hanya tulang berbalut kulit. Wanita itu punya seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Wanita itu kasar, selalu membatasi anaknya. Memperlakukan anaknya seperti tahanannya. Mengatur semuanya atas kebaikan anaknya walau sebenarnya itu omong kosong belaka.

***

Hari ini tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Anak-anak lain belum berhenti menatapku dengan tatapan aneh. Tapi toh aku tidak peduli lagi. Aku masuk ke kelas, melihat indah yang sudah terduduk dikursinya. Sepertinya kecelakaan itu kini sudah tidak meninggalkan bekas diwajahnya, dan kakinya biarpun sudah tidak dibebat oleh perban, tapi aku bisa melihat bahwa kaki indah belum seratus persen pulih.

Aku duduk dikursiku, dua meja didepanku membuat jarak antara aku dan indah. selama beberapa menit  aku hanya menatapnya, merindukan suara gadis itu, teriakannya, tawanya, kecerewetannya. Sosok tampan diambang pintu mengalihkan perhatianku. Nathan berdiri disana, tersenyum pada indah lalu melirikku. Ia sempat menananyakan kabar indah yang dijawabnya dengan dingin lalu beralih ke- mejaku.

Nathan akhirnya mengajakku ke kantin. Keluar dari kondisi dimana aku sedang meratapi persahabatanku dengan indah.

Aku melewati lorong-lorong sekolah hanya untuk mendapat tatapan-tatapan ketakutan dari yang lainnya. Mereka semua dengan spontan menghindar sejauh mungkin dari ku. Membagi jalan untukku dan Nathan.

            “oohh come on valia. Nggak usah anggap mereka penting.” Nathan melotot menatapku dan menyuruhku menyunggingkan senyum. Aku menurut. aku duduk dipojok ruangan sedangkan Nathan membeli minuman. Disana, aku melihat andre sedang duduk bergerombol tak jauh dari tempat dudukku. Dia menatapku, tatapan sinis, bukan tatapan ketakutan seperti beberapa hari yang lalu. Ia mendengus lalu berbalik. Kembali mengobrol dengan teman-temannya.

            Nathan duduk didepanku membawa dua buah minuman botol dan menyodorkan salah satunya kepadaku. Aku mengumamkan terima kasih sambil membuka tutup botol itu.

Gue Cuma butuh tiga hari lagi sampe akhirnya lo semua percaya
kalo gue bisa dapetin cewek manapun yang gue mau. Jadi sebaiknya lo siap kehilangan handphone lo masing-masing.

            Aku meletakkan botol itu dengan kasar, mencengkeram botol itu hingga hampir berubah bentuk. Menahan geram sambil menatap kerumunan orang yang sibuk tertawa tak jauh dari tempatku duduk.

            “lo kenapa val?” dahi Nathan berkerut melihat ekspresiku.

Mereka semua cewek murahan, sampah. Gue gak peduli apa yang terjadi,
Mereka nangis, jerit-jeritan, ngamuk sama gue, gue gak peduli. Toh kita masih pacaran.
Gue bebas putus sama mereka sesuka hati gue.

            Dan kali ini aku benar-benar sudah kehabisan kesabaran. Aku meremukkan botol plastik itu dan berjalan menuju andre. “dasar cowok brengsek.” Aku menarik tangannya hingga berdiri dan menamparnya. Cukup keras karena kepalanya sampai terdorong ke belakang.

            “kalo lo pikir gue gak tau akal bulus lo, lo salah. Gue tau rencana busuk lo ndre. Dan sekarang gue akan kasih lo pelajaran karena lo udah mempermainkan sahabat gue.” Aku kembali meninju wajahnya beberapa kali sampai lengan Nathan akhirnya mengapitku. “val, lo kenapa sih. Tenang donk.” Nathan masih berusaha menjauhkanku dari andre hingga akhirnya aku benar-benar berada cukup jauh.

            “gue janji lo gak akan lepas dari gue kalo lo sampe nyakitin indah.” aku tersengal dan berusaha mengatur nafasku yang terengah-engah karena menahan marah. disana, aku bisa melihat andre menatapku dengan tatapan marah sekaligus ketakutan. Sudut bibirnya berdarah dan pelipisnya membiru.

            “dasar cewek pembawa sial. Gue gak takut sama ancaman lo. Gue bakal laporin lo ke guru BP.” Katanya sambil berlalu meninggalkan aku dan kerumunan anak-anak yang ada dikantin.

           Aku kembali duduk dan masih menjadi tontonan. “lo kenapa sih val?” Nathan menyodorkanku segelas air putih yang langsung aku habiskan dengan sekali tenggak.

            “indah itu Cuma bahan taruhannya andre.” Aku melihat Nathan yang terkejut mendengar kata-kataku. “tapi lo liat sendiri kan gimana indah. dia nggak mau dengar kata-kata gue. Dia lebih percaya sama cowok brengsek itu dibanding sama gue.” Aku menutup wajahku dengan talapak tangan. “kita coba bilang lagi ke indah ya.” Kata Nathan pelan. Aku menengadahkan kepalaku, menatap Nathan yang mencoba tersenyum

***

          “valia, lo dipanggil guru BP.” Salah seorang temanku masuk dan berteriak, seakan tidak ingin mendekat kearahku. Aku berdiri dan meninggalkan kelas. Aku sempat melirik indah yang wajahnya sedingin es. Indah mungkin memang tidak ada di tempat saat aku memukul andre. Tapi aku tau pasti kalau dia sudah mendengar insiden itu.

            Aku berdiri diruang BP yang setengah terbuka. Melihat andre yang wajahnya sudah lebam terduduk didalam. Disebuah sofa empuk berwarna hitam. Setelah menarik nafas panjang, aku masuk dan langsung mendapat tatapan tajam dari andre dan bu mia.

            Aku duduk di sebrang andre. Bias kemarahan masih terus terpancar dari matanya. Bu mia duduk di samping kami, di kursi yang mengarah langsung ke pintu.

            “saya dengar kamu memukuli andre sampai seperti ini.” bu mia melirik andre yang menampakkan wajah kesakitan. “iya.” Jawabku cepat.
            “kenapa valia?”
            “karena dia mempermainkan sahabat saya.saya…”
            “BOHONG BU.” Andre langsung menyela bahkan sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.
            Hampir tiga puluh menit kami beradu mulut. Bu mia sesekali menggebrak meja hanya untuk membuat kami kembali kekesadaran dan berhenti berbicara. Dan pada kenyataannya andre adalah orang yang pandai membela diri. ia mengemukkakan semua pendapatnya, bahwa aku tidak berhak ikut campur dalam hidupnya. Aku tidak berhak menghakiminya dan aku tidak berhak bertindak seperti itu.

            Dan akhirnya bu mia mengeluarkan surat skors selama tiga hari untuk ku. Akhir yang sudah aku duga sebelumnya. Andre tersenyum penuh kemenangan. Ia keluar terlebih dahulu, sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu ia sempat menoleh dan sekali lagi tersenyum yang membuatku benar-benar muak.

            Aku mengambil surat itu dari tangan bu mia. Lalu kembali ke kelas. Melihat keriuhan kelas yang mendadak senyap saat aku datang. Sedang tidak ada guru yang mengajar dan mereka semua berhenti bercanda saat aku masuk. Mereka berfikir aku seperti apa sih?
            Aku tidak perlu menunggu sampai bel pulang Karena semakin lama aku berada dikelas. Aku semakin muak menerima tatapan-tatapan menjengkelkan itu. aku meraih tas ku dan berjalan cepat keluar kelas. Sebelumnya aku sudah mengirim sms kepada Nathan bahwa aku akan menunggunya ditaman belakang sekolah.

            Aku lupa terakhir aku bertemu farrel, kini aku melihatnya yang tiba-tiba muncul di sebelahku. “di skors lagi?”  tanyanya. Aku hanya mengangguk dan mencoba tersenyum selebar mungkin. toh, ini bukan yang pertama kali buatku.

            “apa yang akan diperbuat pak tua itu kalau tau lo di skors lagi?” aku menoleh dan melihat seringainya. “entahlah, gue udah gede dan gue sama sekali gak peduli sama bokap gue.”

            “Jadi gadis bodoh itu belum mau percaya sama lo?” aku mengangkat bahu dengan acuh dan berkata “gue akan ngomong sekali lagi sama dia. Kalaupun dia nggak percaya sama gue, terserah.” Aku melihat farrel terseyum dan menjulurkan lidahnya, membuatku tertawa.

            Kami masih berada disana saat hari semakin siang. Suasa disana sepi karena jam sekolah belum berakhir. Aku masih terus tertawa saat farrel terus menerus mencoba menghiburku dengan tingkah konyolnya.

            “valia.” Suara itu membuatku dengan spontan menoleh, aku melihat Nathan berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Aku langsung diam dan menatap sejenak kearah farrel. Tapi pria itu malah terbahak melihat perubahan ekspresiku.

            “lo ngomong sama siapa?” Nathan mendekat dan berdiri didepanku, sedangkan farrel sudah menghilang entah kemana. “sama temen gue.” Kataku singkat. nathan duduk disampingku. Aku akhirnya kembali menceritakan farrel. Bahwa farrel masih terus menemaniku sampai saat ini. raut wajah Nathan tidak terbaca, ia hanya mengangguk pelan. “jadi, video yang kemarin itu. lo lagi ngobrol sama dia.” Aku mengangguk setuju. Aku melirik jam tanganku. Mempertanyakan Nathan yang sudah menggendong tasnya kesini padahal sekarang belum memasuki jam pulang.

            “lo kenapa disini? bukan belum jam pulang ya?” dia terlihat mengangkat bahu dengan acuh. “gue pikir lo butuh temen saat ini.”

            Lima menit kemudian kami berdua beranjak. Aku mulai bisa berkata jujur dengan Nathan tentang apa yang bisa aku lihat dan aku ketahui. Aku menceritakan semua makhluk astral yang terlihat olehku juga watak-watak semua orang yang terjangkau olehku. Aku melihat perubahan dalam raut wajah Nathan saat aku dan dia berhasil mendudukan diri disalah satu tempat makan pinggir jalan. Nathan memesan makan sedangkan aku masih terus mengoceh. Memberitahukan apa yang ku tau tentang orang yang duduk tak jauh dari tempat kami. Sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta penuh kepalsuan. Aku bisa tau mereka berdua sebenarnya sudah lama merasa bosan sehingga mereka mempunyai pacar lain. Nathan melotot seakan tidak percaya. “masalah kaya gitu aja lo tau?” aku mengangguk dan wajah Nathan berubah ekspresinya. “jangan-jangan lo juga tau detil hidup gue lagi.” Aku menatap wajah Nathan dengan geli seakan Nathan baru saja tertangkap basah melakukan kesalahan. “yaiyalah, sebelum gue kenal sama keluarga lo, gue tau seluk beluk keluarga lo.”

            “ya tuhan… untung lo sahabat gue sendiri. Kalo nggak mungkin gue udah malu banget.” Wajahnya merona merah karena malu.

            “kenapa malu?” tanyaku, bersamaan dengan datangnya seorang pelayan yang mengantarkan pasanan kami. Aku langsung menyeruput minumanku dan mulai memegang sendok dan garpu. “ya… lo pasti tau kalo keluarga gue berantakan kan?” Nathan mulai menggerakkan sendok ke mulutnya. “tapi gue berterimakasih karena keluarga gue membaik Karena lo.”  Ia mengerlingkan sebelah matanya. Kami makan dalam diam. Suasana tempat makan yang tadinya sepi mulai ramai manjelang makan siang. “gue suruh indah kesini ya. Kita peringatin dia sekali lagi.” Aku mendengar nada ragu dalam bicaranya. Aku hanya mengangguk sementara dia sibuk dengan ponselnya.

            aku mengamati sekitarku. Suara lonceng selalu terdengar setiap kali pintu terbuka. Pintu kaca itu, sebagai satu-satunya penghubung dengan kaca berwarna gelap seperti menelan dan memuntahkan orang yang keluar masuk. Kaca jendelanya sangat kontras dengan pintu itu. berwarna putih nyaris tanpa noda. Beberapa pelayan sibuk hilir mudik membawakan pesanan para pelanggan. Menyiapkan makan mereka walau mereka sendiri belum makan. Seragam mereka berwarna biru muda, dalam pandanganku seperti seragam para supir taxi. Hanya sebuah topi dan celemek yang tampak trendi yang membedakan.

            “dia bilang lima menit lagi dia sampe. Kebetulan dia baru pulang dari sekolah, jadi pasti lewat sini.” Kata-kata Nathan menggunggah ku dari lamunan. Aku tersenyum kecut  dan menyesap minumanku yang ternyata sudah habis. Hanya menyisakan es yang sudah mencair dan tidak berasa. Aku memutuskan untuk memesan minuman lagi sedangkan Nathan lebih suka mengaduk-adukan minumannya yang masih tersisa seperempat. Menimbulkan bunyi-bunyi es batu yang membentur dinding gelas.

            Entah ini sudah lebih dari lima menit atau memang lima menit terasa begitu lama. Aku sudah menghabiskan minumanku hampir setengah dan indah sama sekali menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Aku melirik nathan yang memperhatikan jam tangannya. Aku bertanya dan ia bilang bahwa kita sudah hampir sepuluh menit menunggu. “mungkin macet.” Katanya mencoba memberikan alasan.

lonceng kembali berbunyi dan saat itulah penantianku berhenti. Indah masuk dan mengedarkan pandangan kesekeliling. Nathan yang sedari tadi tidak melepaskan pandangan dari pintu masuk langsung melambaikan tangannya. Mencoba menarik perhatian indah yang masih sibuk mencari keberadaan kami. Indah mendekat, duduk disamping Nathan dengan canggung. Nathan menawarinya minum tapi ia menolak dan berdalih bahwa ia tidak bisa lama-lama. Aku bisa merasakan kegelisahan dalam diri indah. Seperti mendapati bahwa ia berada ditempat yang salah.

“gue sama valia Cuma mau ngomong masalah lo sama andre.” Nathan mulai membuka suara dan yang langsung disambut oleh tatapan sarkastik oleh indah. Aku sendiri masih diam, menunggu reaksinya lebih lanjut. “kenapa lagi sih tan, kenapa lagi sama andre. Gue sayang sama dia dan gue harap lo ga ganggu hubungan gue sama andre.” Nada suara indah masih pelan tapi aku bisa mendengar nada geram dalam kata-katanya. Nathan terlihat menjilat bibir bawahnya. Seakan mencari-cari dari mana ia harus mulai bicara. “tapi ndah, andre itu nggak sebaik yang lo kira. Dia nggak bener-bener serius sama lo.” Seorang anak yang berlari melewati mejaku sedikit mengalihkan perhatianku. Aku kembali mentap indah yang kebingungan. “apa ada bukti? Kata-kata kalian itu nggak berdasar tau.” Kali ini kata-katanya ikut menudingku. Aku masih diam dan ia melirikku dengan tatapan jijik. Seperti tatapan kepada seorang wanita yang hendak merebut pacarnya sendiri.

“lo akan tau ntar. Tapi please kali ini dengerin kata-kata kita.” Dengan segala cara Nathan mencoba meyakinkan indah, tapi ia tetep menyembunyikan identitasku sebagai seorang indigo. Aku melarang Nathan menceritakan bahwa aku adalah seorang indigo kepada siapapun dan dalam keadaan mendesak sekalipun.

Aku melihat raut wajah indah menegang seakan secara mentah-mentah menolak kata-kata Nathan. Ia kembali menguarkan pendapatnya. Mengenai kata-kata Nathan yang tidak berdasar, kita tidak punya bukti dan alasan yang jelas. Ia bilang ia menyayangi andre dan apapun yang aku dan Nathan bilang tidak akan merubah perasaannya pada andre.

Sura lonceng menandakan indah sudah keluar dari resto itu. aku mendesah pelan, Nathan langsung menenggak habis sisa air di gelasnya. Seakan tidak percya bahwa indah begitu sulit diberitahu, indah lebih egois dari yang dikirannya. Selama beberapa detik kami hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“ayo pulang tan, bentar lagi ujan.” Aku mulai menenteng tasku dan bersiap beranjak saat Nathan malah sibuk melihat keadaan diluar yang masih begitu cerah. Tidak ada tanda-tanda mau hujan. Tapi setelah sekali lagi aku menegurnya, ia seakan tersadar bahwa aku adalah seorang indigo yang bisa mengetahui sesuatu diluar jangkauan orang lain.

Kami keluar dari tempat itu setelah memberikan sejumlah uang ke kasir. Aku masih diam saat nathan membuntutiku masuk ke komplek perumahanku. Langkahku lebih cepat dari biasannya, seakan ingin segera sampai dirumah. “val, lo nggak apa-apa? pelan-pelan donk jalannya.” Keluhnya. Aku berbalik “lo ngapain ngikutin gue. Pulang ajalah. Gue nggak apa-apa.” kataku dengan nada agak kencang. Tidak bisa menyembunyikan kekesalanku. “lo nggak baik-baik aja. Gue tau lo kesel karena indah keras kepala. Iya kan?”

Aku medengus mendengar kata-katanya. “gue udah nggak peduli lagi sama indah ataupun andre dan yang lainnya. Mereka semua nggak tau diri. Bertindak sesuka hati mereka, mengejar apa yang menurut mereka baik padahal itu kesalahan besar dan mereka akan berdecak marah Karena seseorang mencoba memperingatkannya.”

Aku merasakan pandanganku kabur dan setetes air mata meluncur mulus dipipiku. Aku mengertakan gigi, mencoba menahan air mata yang akan jatuh lagi. Nathan mendekat dan mengusap bahuku. “val, ada gue disini. gue gak akan ninggalin lo karena hal apapun. Gue nggak kaya mereka. Jadi gue pengen lo gak sedih lagi ya.” Aku merasakan ibu jari Nathan mengusap air mataku. Aku mendongkak dan melihat dia tersenyum. Menaikkan garis bibirnya. Memaksaku melakukan hal yang sama.



Wednesday 5 November 2014

Menyayangimu... Menyakitkan



     Aku tidak pernah tau kalau mencintai harus menyakitkan seperti ini. Mengumpat dibalik tembok kantin hanya untuk melihatnya diam-diam, lebih lama, lebih seksama, karena nyatanya melihatnya didalam kelas-pun terasa kurang. Mencoba tersenyum kaku saat berpapasan dengannya. Aku bahkan harus ekstra hati-hati kalau ingin meliriknya di kelas. Takut kalau ada orang yang tahu. Akan panjang urusannya kalau sampai ada yang tahu kalau aku menyukainya.

     Fellyno, laki-laki dengan tinggi kurang lebih 170cm, berat badan 54 (itu yang terakhir aku tau), rumahnya tidak jauh dari sekolah, kulitnya sawo matang dengan kacamata membingkai mata indahnya. Awalnya aku tidak pernah menyangka akan menyukainya. Tapi kejadian saat MOS merubah segalanya. Saat aku mendapat hukuman dari kakak osis karena telat. Fellyno yang kebetulan juga telat sama-sama disuruh membersikan Perpustakaan sekolah. Disaat itulah aku mulai menyukainya. Dia ramah, bahkan padaku yang saat itu baru dikenalnya. Dia lucu, beberapa kali ia membuatku tertawa karena leluconnya. Dan dalam pandanganku, akan sangat beruntung siapapun yang menjadi pacarnya.

     Saat MOS selesai tuhan memberikan kado terindah dengan menempatkan laki-laki itu sekelas denganku. Hal itulah yang membuatku semakin tidak karuan. Semakian aku melihatnya, semakin aku ingin memilikinya. Tapi pada kenyataannya ia tidak pernah melihatku. Hubungan kami hanya sebatas teman biasa. Mungkin ia lebih menyukai Alisa, gadis manis dengan dua lesung pipi, atau mungkin Cika, gadis feminim yang selalu berhasil menarik semua perhatian anak-anak dikelas, atau mungkin Eva, gadis paling pintar dikelas, mungkin bisa juga Mutia, gadis pendiam yang mungkin memancing rasa penasarannya. Aaaahhh mereka semua tidak ada yang pantas mendampingi Fellyno-ku. Mereka semua terlalu biasa. 

     Tapi kenapa mereka bisa seberuntung itu. Merasakan dekat dengan laki-laki itu dan kenapa ia bisa sebegitu perhatian pada wanita-wanita itu, kenapa tidak denganku? Ia akan dengan sabar mengajari gadis-gadis dikelas yang tidak mengerti apa yang dijelaskan guru. Ia akan dengan senang hati membantu mereka. Lalu aku? Hanya bisa melihat kedekatan mereka dengan rasa cemburu yang hampir membakar hatiku.

     Ia akan bertutur lembut kepada gadis-gadis sedangkan denganku ia akan berbicara keras dan lantang, tidakkah ia bisa lembut saat berbicara denganku? Tidakkah ia bisa menatap mataku saat seperti ia menatap gadis-gadis itu, tidakkah ia bisa tersenyum lembut seperti senyum yang selalu ia tunjukkan kepada gadis-gadis lain? Kenapa ia tidak bisa sedekat itu denganku. Aahh bodoh, tentu saja sulit, memangnya aku ini siapa??

     “woooyyy bambaaaaang, ngapain lo disini? Ngeliatin fellyno lagi, homo lu yee.” Suara ferry, salah satu temanku membuyarkan perhatianku. Aku tersentak gugup lalu menatap wajahnya dengan sarkastik. 

Gadis Nila

BAB LIMA

Aku lahir di salah satu desa di yogyakarta. Kata ibuku, saat itu hujan sangat deras dan tepat pukul 00.05 menit aku lahir. Awal keanehan yang terjadi adalah ibuku sama sekali tidak merasakan sakit sedikitpun saat melahirkanku. Aku lahir tanpa ayah. Aku tidak tau apakah ayahku meninggal atau mereka bercerai sebelum aku lahir. yang jelas, ibuku selalu mengunci mulutnya rapat-rapat saat aku menanyakan keberadaan ayah kandungku.

Katanya aku tumbuh seperti bayi biasa, tapi saat aku berumur satu tahun aku sudah mulai lancar bicara, bahkan aku mengusai bahasa inggris dengan sangat fasih. Pada umur dua tahun aku sudah bisa menulis dengan baik juga berhitung diluar kemampuan anak seusiaku. “ya tuhan.. bagaimana bisa.” Itulah kata yang diucapkan ibuku saat melihat keanehanku. Ibuku yang saat itu bekerja sebagai guru private benar-benar merasa tidak menyangka aku bisa melakukan hal-hal itu. pada umur tiga tahun aku sudah bisa mengoperasikan perangkat komputer dengan segala macam kesulitannya.  

Pada umur empat tahun pengetahuan-pengetahuanku benar-benar  luar biasa, aku mengerti tentang sejarah, astronomi, biologi dan yang lainnya. Dan pada umur itulah aku bertemu farrel. Saat itu aku sedang menggambar diruang tamu rumahku.  Ibuku sedang mengajar disalah satu ruangan dirumahku.

Seseorang yang berada diluar pagar rumahku menarik perhatianku. Aku keluar dan menemuinya. Dia mengaku bernama farrel dan akhirnya aku mengajaknya bermain diruang tamu. Kami menggambar bersama dan bernyanyi bersama. Dan saat itu aku merasa kalau farrel adalah sahabat yang baik biarpun dia jauh lebih dewasa dariku. Sejujurnya aku tidak begitu menyukai anak-anak seusiaku. Aku lebih suka bermain dengan farrel karena usianya jauh lebih tua dariku. Tapi yang membuatku heran adalah ibuku dan yang lain tidak bisa melihat farrel. “itu Cuma imajinasi kamu aja sayang.” Begitu katanya.

Saat umurku lima tahun aku mengenal ayah tiriku. Dia adalah pegawai swasta yang tak lain adalah teman lama ibuku. Pada awalnya aku tidak begitu menyukainya. Entahlah, aku merasa dia sama sekali tidak menyukaiku.

Saat aku masuk taman kanak-anak. Aku menjadi yang paling pintar diantara yang lain. Aku membuat kagum guru-guru disana. “anak ibu lebih pintar dari anak seusianya.” Katanya pada ibuku saat pertemuan orangtua murid.

Aku ingat saat sedang bermain sore hari, aku melihat sesosok tubuh yang besar dan berbulu berdiri dibawah pohon beringin, wajahnya hitam dengan kepala yang bertanduk. Aku menjerit ketakutan dipelukan ibuku. Mengajaknya untuk segera pergi darisana. Aku ingat bahwa itu bukanlah kali pertama aku melihat makhluk menakutkan seperti itu. waktu kecil aku suka menangis semalaman karena melihat makhluk-makhluk yang menyeramkan disekitar rumahku.

Saat aku berada di sekolah dasar, aku masih bersahabat dengan farrel. Dia sering menemaniku kesekolah. Tapi teman-temanku yang lain bilang bahwa aku gila. Mereka bilang aku berbicara sendiri, aku memberitahu mereka bahwa ada farrel disampingku, tapi mereka semua tidak melihat dan terus saja menjauhiku karena menganggap aku gila.

Dan saat aku menceritakan itu semua. lagi-lagi ibuku bilang bahwa itu hanyalah imajinasiku. Tak lama setelah pernikahan ibuku, ibuku mengandung anak dari ayah tiriku. Dan suatu saat aku bilang padanya bahwa farrel ada disampingnya, dia malah bilang bahwa aku benar-benar gila.

Disekolah aku dijauhi, aku dikucilkan karena yang lain menganggapku aneh. Aku sempat bersikeras tidak mau sekolah, selain karena sikap teman-temanku, aku merasa bahwa aku sudah cukup pintar tanpa harus sekolah. nilai-nilaiku selalu sempurna dan itu membuat guru-guruku heran. Tapi ibuku bilang bahwa sekolah itu penting.

Ada seorang anak yang bilang bahwa aku menakutinya karena bilang bahwa disebelahnya ada sesosok wanita berambut panjang dengan wajah hancur dan darah dimana-mana. Aku berusaha menjelaskan bahwa makhluk itu benar-benar ada. Tapi mereka semua sama sekali tidak percaya.

***

Saat aku kelas empat SD, aku mengalami kecelakaan. Aku ditabrak lari oleh sebuah mobil saat aku pulang sekolah. sebelum tidak sadarkan diri, aku sempat melihat puluhan sosok berjubah putih mengelilingiku.

Aku terbangun dan melihat tubuhku sendiri terbaring lemah diranjang sebuah rumah sakit. Dan saat itulah ibuku dan ayahku berlari kearahku, tapi bukan untuk memelukku, tapi mengguncang-guncangkan tubuhku lalu menangis melihat alat pendeteksi detak jantung yang menunjukkan garis lurus. Tak lama kemudian dokter datang dan langsung memeriksa tubuhku. aku berusaha berteriak pada ibuku tapi ia sama sekali tidak mendengar. Apa aku sudah meninggal?? Itulah yang ada dipiranku saat itu. aku akhirnya keluar dari kamar itu dan melihat orang-orang berjubah putih dan hitam berkeliaran. Aku mencoba melihat wajah mereka tapi tidak berhasil karena mereka semua menunduk. Dan tempat itu, sama sekali bukan rumah sakit. Sebuah taman dengan berbagai bunga indah. yang paling mengejutkan adalah, aku bertemu desi. Salah satu temanku yang beberapa hari lalu meninggal karena sakit keras. Aku memanggilnya tapi ia sama sekali tidak mengenaliku. Aku mulai menangis, aku berteriak memanggil-manggil ibuku. Aku mau pulang, aku tidak suka berada disini. Aku terus menangis entah berapa lama, hingga akhirnya salah satu sosok berjubah putih itu mendekat. Tapi aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya karena wajahnya bersinar dan menyilaukan. Ia lalu menunjuk ke ujung, yang baru kusadari adalah sebuah lorong menuju kegelapan. Aku bilang padanya kalau aku takut, tapi ia menyakinkan kalau tidak ada yang perlu ditakutkan. Akhirnya aku mendekati lorong gelap itu hingga kira-kira jarakku satu meter, aku tertarik kedalam lorong itu. tubuhku terasa diputar 360 derajat hingga akhirnya aku meraskan ruhku kembali dihempaskan kedalam tubuhku.

Aku menggerak-gerakkan mataku dan mendengar suara orang mengaji disekelilingku. Saat aku benar-benar membuka mata dan menyingkirkan kain yang menyelimuti seluruh tubuhku. semua orang kaget bukan kepalang, sebagian dari mereka berteriak ketakutan dan berlari, tapi beberapa orang lainnya menatapku heran termasuk ibu dan ayah tiriku.

Setelah meyakinkan ibuku bahwa ini benar-benar aku dan aku masih bernafas, ia memelukku dengan erat sambil menangis. Setelah keadaan kembali tenang, ibuku bilang bahwa aku mengalami mati suri. Aku sudah didiagnosa dokter meninggal saat dirumah sakit.

Aku pikir kehidupanku akan normal saat mengalami mati suri itu. tapi ternyata tidak. Baik indra penglihatan dan indra pendengaran juga kinerja otakku meningkat seratus kali lipat. Jika biasanya aku bisa melihat makhluk-makluk halus disekitarku, kini aku bisa melihat makhluk halus ditempat lain. Aku tau kalau dirumah teman-temanku ada penghuni yang dapat kulihat walau aku belum pernah datang kerumah mereka. Aku bisa mendengar perbincangan orang yang jauh tidak terlihat olehku. Dan yang paling membuatku lebih frustasi adalah, aku bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada seseorang juga kematiannya.

***

Pada suatu hari aku berteriak keras pada tetanggaku untuk berhati-hati karena mereka akan jatuh. Tidak lama kemudian aku mendengar kabar kalau mereka mengalami patah tulang karena jatuh dari sepeda motonya.

Lalu sewaktu aku dibawa kepasar oleh ibuku untuk membeli susu untuk adik tiriku. Aku berteriak kepada seseorang untuk berhenti merokok karena aku tau paru-parunya sudah rusak karena kebiasaannya merokok.  Aku bilang pada seorang pedagang daging untuk berhenti membohongi pembeli dengan tidak menjual daging yang tidak sehat. Juga kepada penjual buah untuk tidak berlaku curang dengan mengurangi timbangan. Dan yang mengejutkanku adalah aku bisa menyembuhkan suatu penyakit, ini terjadi saat adik tiriku menangis semalaman tanpa henti.. badannya panas tinggi . dan entah atas dorongan apa, aku mendekatkan diri dan menaruh sebelah tanganku ke keningnya, dan adikku perlahan tertidur dan panas badannya menurun. Aku menjadi sorotan orang-orang karena kejadian itu. aku suka memberitahukan berita-berita buruk yang akan terjadi pada mereka begitu juga kematian yang akan terjadi. Dan itu malah membuat mereka takut kepadaku, mereka mengira bahwa aku adalah anak pembawa sial. Mereka melarang anak-anak mereka bermain denganku. Aku makin dikucilkan dilingkunganku.

Aku hanya bermain dengan farrel. Dan akhirnya aku mengerti bahwa farrel adalah makhluk astral dimana hanya aku yang mempunyai kemampuan lebih yang bisa melihatnya. Sedangkan yang lain tidak.

Saat beranjak SMP aku sama sekali tidak berubah, aku terus memberitahu mereka kejadian-kejadian yang akan terjadi, itu semakin membuat mereka menjauhiku. Aku semakin malas pergi kesekolah. Aku lebih suka bolos dan bermain bersama farrel. Hingga akhirnya orangtuaku mendapat panggilan dari sekolah. mereka bilang bahwa aku suka membolos dan berlaku aneh disekolah, mereka bilang aku sering berbicara sendiri dan menakut-nakuti temanku, dan itu menyulut kemarahan ayah tiriku. Sepulang dari sekolah ayahku memukuliku, sedangkan ibuku tak kuasa menahan perlakuan ayahku. Ibuku hanya menangis bersama bayinya. Aku terus meronta memanggil nama ibuku dan farrel.

Hubungan aku dan ayahku semakin merenggang, ayahku lebih suka mengajak bermain adik tiriku yang saat itu menginjak usia dua tahun. Nama keluargakupun makin menjadi buah bibir dimasyarakat. Hingga puncaknya amarah ayahku adalah saat ia bertengkar dengan ibuku. Ayahku mengira bahwa aku gila, aku mempunyai kelainan jiwa. Dan ia bermaksud memasukkanku kerumah sakit jiwa. Tapi tentu saja ibuku tidak sama sekali tidak setuju. Ibuku menganggapku normal seperti lain walau aku tau hatinya menyangkal. Aku sempat dikurung dikamar beberapa hari. Dan setiap itu aku selalu meronta dan berteriak-teriak, memaki ayahku sambil melempar semua benda-benda dikamarku. Ayahku hanya membuka pintu saat mengantarkan makanan dan minuman. Dia benar-benar tidak membiarkanku keluar dari kamar. Hanya farrel yang menemaniku. Hanya dia yang mau mendengar cerita dan keluh kesahku.

Hingga pada suatu saat pintu kamar itu terbuka, tapi bukan ayahku yang masuk. Tetapi dua orang laki-laki berseragam yang langsung membawaku keluar, menyuruhku masuk kesebuah mobil rumah sakit jiwa. Aku tak henti-hentinya berteriak dan memberitahu mereka bahwa aku tidak gila.  Dari kaca mobil itu, aku bisa melihat mobil orangtuaku mengikuti dari belakang.

Aku ingin menangis rasanya. Kenapa ini terjadi padaku. Kenapa harus seperti ini. tidak butuh waktu lama karena aku langsung sampai di rumah sakit jiwa. Mereka memegang kedua tanganku dengan sangat erat, menyakinkan bahwa aku tidak akan bisa lari kemana-mana. Aku menangis melihat ibuku dari kejauhan. Aku merindukan ibuku, dan aku sangat membenci ayah tiriku. Aku dipaksa masuk disebuah kamar dan mereka menguncinya dari luar.

Aku menangis dipojok kamar, sekeras apapun farrel menenangkanku. Tak lama seseorang kembali masuk kekamarku dan mengajakku keluar. kali ini ia tidak langsung menarik tanganku melainkan meminta dengan baik-baik. Setelah menatapnya sebentar aku mengikutinya kesebuah ruang dimana kedua orang tuaku berkumpul. Mereka mengenalkanku dengan seorang wanita muda yang mengaku sebagai psikolog anak. “valia nggak gila bu, valia nggak mau tinggal disini.” Aku berusaha menjelaskan kepada kedua orang tuaku. Tapi wanita muda itu malah menyuruh mereka keluar dan meninggalkanku dengan wanita muda itu.

Wanita itu mengaku bernama yasmin. Lalu dia menanyakan banyak hal kepadaku dan aku menjawab semua yang aku ketahui. Perlahan aku menyukainya karena ia tidak menganggap aku sok pintar seperti yang lain. Diapun percaya saat aku bilang ada penghuni diruangan ini. dia percaya semua yang aku bilang.

“saya menduga anak anda adalah seorang indigo, tapi saya meminta izin untuk melakukan beberapa tes lagi terhadap anak anda. Saya bisa menjamin bahwa anak anda tidak gila dan disini bukanlah tempat yang tepat untuknya. “ begitu katanya pada orangtuaku

Setelah itu aku dibawa kesebuah tempat dimana dia bilang aku akan dibaca auranya. Sejujurnya aku tidak begitu peduli. Apapun asal aku bisa kembali kepada ibuku. Aku hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh bu yasmin dan temannya.

“dugaan saya benar, valia adalah anak indigo. Itu kenapa ia mempunyai kemampuan unik daripada anak lain. Dan dia sama sekali tidak gila.” Aku melihat mata kedua orangtuaku membulat.

“maksudnya?”
“anak indigo adalah anak yang mempunyai warna aura nila atau ungu, sama seperti warna aura valia. Dikatakan anak indigo karena mempunyai indera keenam, IQnya diatas rata-rata, dan bijaksana. Dengan kata lain, anak indigo adalah anak yang mempunyai kekuatan supranatural atau diatas rata-rata, mampu melihat fenomena ganjil, dan dapat meramal peristiwa yang akan terjadi.” Dan saat itulah aku tau menyadari bahwa aku adalah anak indigo. Aku mempunyai kelebihan daripada yang lain tapi aku tidak gila.

“adakah cara menyembuhkannyanya?” bu yasmin lekas menggeleng.
“itu bukan sebuah penyakit dan tidak bisa disembuhkan. Tapi valia harus mendapat lingkungan dan penanganan yang baik.”

Ayah tiriku melirik kearahku dengan mata coklatnya yang bening. Mungkin sama sekali tidak menyangka dengan semua ini.

“apa yang harus kami lakukakan?”
“perlakukan dia seperti biasa, dia berhak mendapat perlakuan yang sama dengan anak sebayanya.”
***

Sejak kejadian itu, aku kembali kerumahku dan menjalani hidupku seperti biasa. Tapi nyatanya cap indigo tak juga bisa merubah pemikiran orang-orang disekelilingku. Mereka tetap menganggap aku aneh, aku gila atu aku punya kelainan jiwa. Tapi aku sama sekali tidak peduli. Aku berusaha hidup normal dilingkunganku, aku tidak memperdulikan tatapan warga sekelilingku yang selalu menatapku dengan tatapan mencemooh ataupun yang lainnya. Akupun bersikeras tidak mengumbar kelebihanku kepada orang lain.


Sampai akhirnya ayahku mengajak kami sekeluarga pindah ke jakarta. Aku senang karena akhirnya aku akan punya dunia baru, jauh dari tatapan sinis orang-orang disekelilingku. Aku akan lahir kembali menjadi orang baru, setidaknya aku akan berusaha kelihatan normal seperti yang lain. Aku tidak akan mengulangi semua kesalahanku. Aku ingin merasakan hidup seperti anak-anak seusiaku, aku ingin mempunyai teman baik, aku ingin berjalan-jalan bersama mereka. Aku ingin kehidupan yang lebih baik.