BAB ENAM
Entah sudah berapa air mata yang jatuh karena menceritakan masa
laluku. Nathan tersenyum tipis lalu memelukku. Mengelus pundakku dengan sebelah
tangannya.
“gue bakal tetep jadi sahabat lo apapun yang terjadi.” Aku melepas
pelukannya dan menatap matanya dalam-dalam. Mencoba mencari kebenaran dalam
kata-katanya. “lo bisa percaya sama gue.” Aku merasakan tangan Nathan mengelus
pipiku. Meyakinkanku bahwa omongannya benar-benar bisa dipercaya. Aku merasakan
kelegaan luar biasa, setidaknya aku masih mempunyai Nathan yang akan selalu ada
disampingku. Dan apapun yang terjadi besok, aku harus siap.
Tiga hari setelahnya semuanya baik-baik saja. Tapi tidak untuk
hari selanjutnya. Aku datang kesekolah seperti biasa. Tapi keanehan muncul saat
aku menjejakkan kaki digerbang sekolah. beberapa anak yang melihatku terlihat
menjauh dan berbisik, membiacarakan sesuatu yang sama sekali tidak aku megerti.
Aku tau mereka membicarakanku. Aku melihat nathan dari kejauhan, berjalan
kearahku. Aku bisa melihat kerisihannya melihat orang-orang lain.
“kenapa sih tan?” aku mengikuti Nathan menuju taman belakang
sekolah. ia lalu mengeluarkan smartphone dari saku celananya. Lalu memutar
sebuah video yang dikirim melalui kontak blackberry messenger. Dan yang ada di
video itu adalah aku. Aku yang sedang berada ditaman ini dan sedang berbicara
sendiri, bukan, aku yakin aku sedang
berbicara dengan farrel. Tapi siapa orang iseng yang tega melakukan hal ini. aku
merasa kehancuran ada didepan mataku kali ini. mereka akan menganggap aku aneh,
aku gila. Sama seperti kejadian beberapa tahun lalu.
“ini semua nggak akan seburuk yang lo kira. Semuanya akan baik-baik
aja.” Dia meremas tanganku. aku bisa melihat bayangan wajahku yang mencoba
tersenyum dari bola mata gelapnya.
“tegakkan kepala lo val. Tunjukin sama mereka klo gosip murahan
itu sama sekali nggak berpengaruh sama lo.” Nathan mengucapkan kata-kata itu
saat aku kembali berjalan menuju kelas. Melewati koridor yang masih diisi oleh
anak-anak yang asik bergosip. Aku tersenyum menyadari katanya seperti mantra
buatku. Aku mengangkat wajahku dan menatap mereka yang membicarakanku. Sebagian
dari mereka memilih menunduk saat aku menatapnya, tapi sebagian lagi memilih
tersenyum sinis.
“kalo ada apa-apa bilang gue aja. Ntar gue kesini lagi pas jam
istirahat.” Aku tersenyum saat Nathan mengantarku sampai depan kelasku, walau
aku tidak yakin dengan apa yang akan terjadi didalam kelasku beberapa menit
kemudian.
“makasih yaa.. gue bakal baik-baik aja.” Sekali lagi aku tersenyum
dan masuk kedalam kelas. Menatap satu persatu teman sekelasku yang menatapku
dengan sarkastis. Tanpa memperdulikan mereka, aku duduk dibangku ku. Dan hanya
memikirkan apa yang mereka pikirkan tentangku.
Gue inget beberapa waktu lalu waktu sha-sha jatoh, gue dengar dia
bilang hati-hati sama sha-sha. Gue pikir itu salah satu bukti kalo dia emang
pembawa sial.
Oia, betul, sama kaya kejadian dikantin pas papan jatoh dari atap.
Gue sebenarnya ragu kalo itu kebetulan.
Semua yang dia omongin selalu jadi kenyataan. Pantes aja ga ada
orang yang mau deket sama dia.
Beruntunglah si indah udah
ga temenan sama dia, tapi, anak kelas sebelah tuh.. siapa namanya.. ohh,,
Nathan.. kok dia masih mau ya temenan sama dia.
Dia belum kena batunya aja.
Aku menahan emosiku yang sudah berada diubun-ubun. Tidakkah mereka
tau kalau aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan saat ini. aku menarik
nafas panjang, mencoba menengkan diri walau sebenarnya aku ingin sekali
menyumpal mulut mereka satu-persatu. Mengajarkan pada mereka tentang menghargai
orang dan tidak dengan asal menghakimi seseorang. Sepanjang pelajaran aku masih
bisa mendengar desas-desus gosip yang berembus di tiap sela-sela kelas mengenai
diriku.
***
“Lo terlihat lebih
dewasa menghadapi mereka semua..” farrel
mengikuti masuk kedalam kamar. Seakan tidak bosan mengomentari hidupku. Aku
melempar tas ku ke meja belajar dan langsung menjatuhkan diri di ranjang.
Menghela nafas panjang karena merasakan panas diluar yang sudah menempel
dikulitku. “Nathan menguatkan gue, lo tau kan. Sebelumnya gue tidak pernah
berfikir sahabat bisa menjadi sosok yang bisa menguatkan kita seperti ini. dulu
gue kuat karena gue punya lo, dan sekarang gue punya Nathan juga. gue nggak
peduli apa yang mereka pikirkan.”
Farrel terlihat mengangguk seraya membenarkan kata-kataku. Selama
beberapa menit aku hanya menatap langit kamarku dalam diam saat suara ibuku
memenuhi gendang telingaku. Menyuruhku untuk makan. Aku keluar tanpa mengganti
seragamku, hanya sepatu dan tas yang sudah kutanggalkan dari tubuhku, dan dasi
yang hanya kukendorkan ikatannya.
Aku melihat adikku Egi sudah ada dimeja makan. Menunduk saat aku
memasuki ruangan. Aku duduk ditempat biasa dan mulai menyendokan nasi ke
piringku. Biasanya aku lebih suka makan sendiri, dikamar atau menunggu sampai
adikku selesai makan dan enyah dari meja makan. Tapi entah kenapa hari ini aku
ingin berada disini. Melihat senyum ibuku dan melihat tatapan dingin adik
tiriku.
“sepertinya pindah kesini benar-benar merubah hidup kamu ya.” ibuku
melihatku dengan senyum dan aku membalas. Mungkin masalah disekolahku diluar
jangkauan ibuku dan sejujurnya aku sangat mensyukuri itu. rumah kami sekarang
dikelilingi tembok tinggi dan bisa bilang lebih terisolasi oleh yang lain.
Selama tinggal disini aku bahkan tidak begitu mengenal tetanggaku. Tapi aku tau
bahwa tetangga disamping kananku adalah sebuah keluarga besar dengan lima orang
anak. Dua anak laki-laki tertua dan sisanya adalah anak perempuan. Aku pernah
melihat salah satu dari mereka beberapa waktu lalu saat aku hendak berangkat
kesekolah.
Dua diantaranya kembar dengan perbedaan sikap dan sifat yang
begitu mencolok. Biarpun mereka tidak bisa dikenali secara fisik tapi dari aura
yang dikeluarkan mereka semua orang akan bisa membedakan mereka. salah satu
dari mereka bersikap sangat feminin. Umurnya mungkin sama denganku karena aku
melihatnya juga berseragam SMA. Rambutnya tergarai rapi dengan pita berwarna
biru yang menghiasi segaris kepalanya. Ditangannya ada gelang-gelang
warna-warni khas wanita. Dan dari kejauhan aku bisa melihat kembarannya
bersikap sebaliknya. Rambutnya di ikat acak-acakan dengan ransel dan sepatu lusuh.
Tidak mencerminkan seorang gadis pelajar. Tapi aku mengagumi kekompakan
keluarga mereka. mereka akan makan kalau semua penghuni rumahnya sudah
berkumpul dimeja makan. Ayah mereka tegas dan ibu mereka lembut.
Sedangkan penghuni sebelah rumahnya yang lain. Aahh, aku benar-benar
membenci wanita itu. aku dan ibuku pernah sekali membawakan kue sebagai
perkenalan tetangga baru. wajahnya bulat, rambutnya keriting dan dicat berwarna
merah keunguan, tubuhnya jangkung, aku mengira tubuhnya hanya tulang berbalut
kulit. Wanita itu punya seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Wanita itu
kasar, selalu membatasi anaknya. Memperlakukan anaknya seperti tahanannya.
Mengatur semuanya atas kebaikan anaknya walau sebenarnya itu omong kosong
belaka.
***
Hari ini tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Anak-anak lain
belum berhenti menatapku dengan tatapan aneh. Tapi toh aku tidak peduli lagi.
Aku masuk ke kelas, melihat indah yang sudah terduduk dikursinya. Sepertinya
kecelakaan itu kini sudah tidak meninggalkan bekas diwajahnya, dan kakinya
biarpun sudah tidak dibebat oleh perban, tapi aku bisa melihat bahwa kaki indah
belum seratus persen pulih.
Aku duduk dikursiku, dua meja didepanku membuat jarak antara aku
dan indah. selama beberapa menit aku
hanya menatapnya, merindukan suara gadis itu, teriakannya, tawanya,
kecerewetannya. Sosok tampan diambang pintu mengalihkan perhatianku. Nathan
berdiri disana, tersenyum pada indah lalu melirikku. Ia sempat menananyakan
kabar indah yang dijawabnya dengan dingin lalu beralih ke- mejaku.
Nathan akhirnya mengajakku ke kantin. Keluar dari kondisi dimana
aku sedang meratapi persahabatanku dengan indah.
Aku melewati lorong-lorong sekolah hanya untuk mendapat
tatapan-tatapan ketakutan dari yang lainnya. Mereka semua dengan spontan menghindar
sejauh mungkin dari ku. Membagi jalan untukku dan Nathan.
“oohh come on valia. Nggak usah anggap mereka
penting.” Nathan melotot menatapku dan menyuruhku menyunggingkan senyum. Aku
menurut. aku duduk dipojok ruangan sedangkan Nathan membeli minuman. Disana,
aku melihat andre sedang duduk bergerombol tak jauh dari tempat dudukku. Dia
menatapku, tatapan sinis, bukan tatapan ketakutan seperti beberapa hari yang
lalu. Ia mendengus lalu berbalik. Kembali mengobrol dengan teman-temannya.
Nathan duduk
didepanku membawa dua buah minuman botol dan menyodorkan salah satunya
kepadaku. Aku mengumamkan terima kasih sambil membuka tutup botol itu.
Gue Cuma butuh tiga hari
lagi sampe akhirnya lo semua percaya
kalo gue bisa dapetin
cewek manapun yang gue mau. Jadi sebaiknya lo siap kehilangan handphone lo
masing-masing.
Aku meletakkan
botol itu dengan kasar, mencengkeram botol itu hingga hampir berubah bentuk.
Menahan geram sambil menatap kerumunan orang yang sibuk tertawa tak jauh dari
tempatku duduk.
“lo kenapa val?”
dahi Nathan berkerut melihat ekspresiku.
Mereka
semua cewek murahan, sampah. Gue gak peduli apa yang terjadi,
Mereka
nangis, jerit-jeritan, ngamuk sama gue, gue gak peduli. Toh kita masih pacaran.
Gue
bebas putus sama mereka sesuka hati gue.
Dan kali ini aku
benar-benar sudah kehabisan kesabaran. Aku meremukkan botol plastik itu dan
berjalan menuju andre. “dasar cowok brengsek.” Aku menarik tangannya hingga
berdiri dan menamparnya. Cukup keras karena kepalanya sampai terdorong ke belakang.
“kalo lo pikir
gue gak tau akal bulus lo, lo salah. Gue tau rencana busuk lo ndre. Dan
sekarang gue akan kasih lo pelajaran karena lo udah mempermainkan sahabat gue.”
Aku kembali meninju wajahnya beberapa kali sampai lengan Nathan akhirnya mengapitku.
“val, lo kenapa sih. Tenang donk.” Nathan masih berusaha menjauhkanku dari
andre hingga akhirnya aku benar-benar berada cukup jauh.
“gue janji lo gak
akan lepas dari gue kalo lo sampe nyakitin indah.” aku tersengal dan berusaha
mengatur nafasku yang terengah-engah karena menahan marah. disana, aku bisa
melihat andre menatapku dengan tatapan marah sekaligus ketakutan. Sudut
bibirnya berdarah dan pelipisnya membiru.
“dasar cewek
pembawa sial. Gue gak takut sama ancaman lo. Gue bakal laporin lo ke guru BP.”
Katanya sambil berlalu meninggalkan aku dan kerumunan anak-anak yang ada
dikantin.
Aku kembali duduk
dan masih menjadi tontonan. “lo kenapa sih val?” Nathan menyodorkanku segelas
air putih yang langsung aku habiskan dengan sekali tenggak.
“indah itu Cuma
bahan taruhannya andre.” Aku melihat Nathan yang terkejut mendengar
kata-kataku. “tapi lo liat sendiri kan gimana indah. dia nggak mau dengar
kata-kata gue. Dia lebih percaya sama cowok brengsek itu dibanding sama gue.”
Aku menutup wajahku dengan talapak tangan. “kita coba bilang lagi ke indah ya.”
Kata Nathan pelan. Aku menengadahkan kepalaku, menatap Nathan yang mencoba
tersenyum
***
“valia,
lo dipanggil guru BP.” Salah seorang temanku masuk dan berteriak, seakan tidak
ingin mendekat kearahku. Aku berdiri dan meninggalkan kelas. Aku sempat melirik
indah yang wajahnya sedingin es. Indah mungkin memang tidak ada di tempat saat
aku memukul andre. Tapi aku tau pasti kalau dia sudah mendengar insiden itu.
Aku berdiri
diruang BP yang setengah terbuka. Melihat andre yang wajahnya sudah lebam
terduduk didalam. Disebuah sofa empuk berwarna hitam. Setelah menarik nafas
panjang, aku masuk dan langsung mendapat tatapan tajam dari andre dan bu mia.
Aku duduk di
sebrang andre. Bias kemarahan masih terus terpancar dari matanya. Bu mia duduk
di samping kami, di kursi yang mengarah langsung ke pintu.
“saya dengar kamu
memukuli andre sampai seperti ini.” bu mia melirik andre yang menampakkan wajah
kesakitan. “iya.” Jawabku cepat.
“kenapa valia?”
“karena dia
mempermainkan sahabat saya.saya…”
“BOHONG BU.”
Andre langsung menyela bahkan sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.
Hampir tiga puluh
menit kami beradu mulut. Bu mia sesekali menggebrak meja hanya untuk membuat
kami kembali kekesadaran dan berhenti berbicara. Dan pada kenyataannya andre
adalah orang yang pandai membela diri. ia mengemukkakan semua pendapatnya,
bahwa aku tidak berhak ikut campur dalam hidupnya. Aku tidak berhak
menghakiminya dan aku tidak berhak bertindak seperti itu.
Dan akhirnya bu mia
mengeluarkan surat skors selama tiga hari untuk ku. Akhir yang sudah aku duga
sebelumnya. Andre tersenyum penuh kemenangan. Ia keluar terlebih dahulu,
sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu ia sempat menoleh dan sekali
lagi tersenyum yang membuatku benar-benar muak.
Aku mengambil
surat itu dari tangan bu mia. Lalu kembali ke kelas. Melihat keriuhan kelas
yang mendadak senyap saat aku datang. Sedang tidak ada guru yang mengajar dan
mereka semua berhenti bercanda saat aku masuk. Mereka berfikir aku seperti apa
sih?
Aku tidak perlu
menunggu sampai bel pulang Karena semakin lama aku berada dikelas. Aku semakin
muak menerima tatapan-tatapan menjengkelkan itu. aku meraih tas ku dan berjalan
cepat keluar kelas. Sebelumnya aku sudah mengirim sms kepada Nathan bahwa aku
akan menunggunya ditaman belakang sekolah.
Aku lupa terakhir
aku bertemu farrel, kini aku melihatnya yang tiba-tiba muncul di sebelahku. “di skors lagi?” tanyanya. Aku hanya mengangguk dan mencoba
tersenyum selebar mungkin. toh, ini bukan yang pertama kali buatku.
“apa yang akan diperbuat pak tua itu kalau
tau lo di skors lagi?” aku menoleh dan melihat seringainya. “entahlah, gue
udah gede dan gue sama sekali gak peduli sama bokap gue.”
“Jadi gadis bodoh itu belum mau percaya sama
lo?” aku mengangkat bahu dengan acuh dan berkata “gue akan ngomong sekali
lagi sama dia. Kalaupun dia nggak percaya sama gue, terserah.” Aku melihat
farrel terseyum dan menjulurkan lidahnya, membuatku tertawa.
Kami masih berada
disana saat hari semakin siang. Suasa disana sepi karena jam sekolah belum
berakhir. Aku masih terus tertawa saat farrel terus menerus mencoba menghiburku
dengan tingkah konyolnya.
“valia.” Suara
itu membuatku dengan spontan menoleh, aku melihat Nathan berdiri tak jauh dari
tempatku duduk. Aku langsung diam dan menatap sejenak kearah farrel. Tapi pria
itu malah terbahak melihat perubahan ekspresiku.
“lo ngomong sama
siapa?” Nathan mendekat dan berdiri didepanku, sedangkan farrel sudah
menghilang entah kemana. “sama temen gue.” Kataku singkat. nathan duduk
disampingku. Aku akhirnya kembali menceritakan farrel. Bahwa farrel masih terus
menemaniku sampai saat ini. raut wajah Nathan tidak terbaca, ia hanya
mengangguk pelan. “jadi, video yang kemarin itu. lo lagi ngobrol sama dia.” Aku
mengangguk setuju. Aku melirik jam tanganku. Mempertanyakan Nathan yang sudah
menggendong tasnya kesini padahal sekarang belum memasuki jam pulang.
“lo kenapa
disini? bukan belum jam pulang ya?” dia terlihat mengangkat bahu dengan acuh.
“gue pikir lo butuh temen saat ini.”
Lima menit
kemudian kami berdua beranjak. Aku mulai bisa berkata jujur dengan Nathan
tentang apa yang bisa aku lihat dan aku ketahui. Aku menceritakan semua makhluk
astral yang terlihat olehku juga watak-watak semua orang yang terjangkau
olehku. Aku melihat perubahan dalam raut wajah Nathan saat aku dan dia berhasil
mendudukan diri disalah satu tempat makan pinggir jalan. Nathan memesan makan
sedangkan aku masih terus mengoceh. Memberitahukan apa yang ku tau tentang
orang yang duduk tak jauh dari tempat kami. Sepasang muda-mudi yang dimabuk
cinta penuh kepalsuan. Aku bisa tau mereka berdua sebenarnya sudah lama merasa
bosan sehingga mereka mempunyai pacar lain. Nathan melotot seakan tidak
percaya. “masalah kaya gitu aja lo tau?” aku mengangguk dan wajah Nathan
berubah ekspresinya. “jangan-jangan lo juga tau detil hidup gue lagi.” Aku
menatap wajah Nathan dengan geli seakan Nathan baru saja tertangkap basah
melakukan kesalahan. “yaiyalah, sebelum gue kenal sama keluarga lo, gue tau
seluk beluk keluarga lo.”
“ya tuhan… untung
lo sahabat gue sendiri. Kalo nggak mungkin gue udah malu banget.” Wajahnya
merona merah karena malu.
“kenapa malu?” tanyaku,
bersamaan dengan datangnya seorang pelayan yang mengantarkan pasanan kami. Aku
langsung menyeruput minumanku dan mulai memegang sendok dan garpu. “ya… lo
pasti tau kalo keluarga gue berantakan kan?” Nathan mulai menggerakkan sendok
ke mulutnya. “tapi gue berterimakasih karena keluarga gue membaik Karena
lo.” Ia mengerlingkan sebelah matanya.
Kami makan dalam diam. Suasana tempat makan yang tadinya sepi mulai ramai
manjelang makan siang. “gue suruh indah kesini ya. Kita peringatin dia sekali
lagi.” Aku mendengar nada ragu dalam bicaranya. Aku hanya mengangguk sementara
dia sibuk dengan ponselnya.
aku mengamati
sekitarku. Suara lonceng selalu terdengar setiap kali pintu terbuka. Pintu kaca
itu, sebagai satu-satunya penghubung dengan kaca berwarna gelap seperti menelan
dan memuntahkan orang yang keluar masuk. Kaca jendelanya sangat kontras dengan
pintu itu. berwarna putih nyaris tanpa noda. Beberapa pelayan sibuk hilir mudik
membawakan pesanan para pelanggan. Menyiapkan makan mereka walau mereka sendiri
belum makan. Seragam mereka berwarna biru muda, dalam pandanganku seperti
seragam para supir taxi. Hanya sebuah topi dan celemek yang tampak trendi yang
membedakan.
“dia bilang lima
menit lagi dia sampe. Kebetulan dia baru pulang dari sekolah, jadi pasti lewat
sini.” Kata-kata Nathan menggunggah ku dari lamunan. Aku tersenyum kecut dan menyesap minumanku yang ternyata sudah
habis. Hanya menyisakan es yang sudah mencair dan tidak berasa. Aku memutuskan
untuk memesan minuman lagi sedangkan Nathan lebih suka mengaduk-adukan
minumannya yang masih tersisa seperempat. Menimbulkan bunyi-bunyi es batu yang
membentur dinding gelas.
Entah ini sudah
lebih dari lima menit atau memang lima menit terasa begitu lama. Aku sudah
menghabiskan minumanku hampir setengah dan indah sama sekali menunjukkan
tanda-tanda kedatangannya. Aku melirik nathan yang memperhatikan jam tangannya.
Aku bertanya dan ia bilang bahwa kita sudah hampir sepuluh menit menunggu.
“mungkin macet.” Katanya mencoba memberikan alasan.
lonceng kembali berbunyi dan saat itulah penantianku berhenti.
Indah masuk dan mengedarkan pandangan kesekeliling. Nathan yang sedari tadi
tidak melepaskan pandangan dari pintu masuk langsung melambaikan tangannya.
Mencoba menarik perhatian indah yang masih sibuk mencari keberadaan kami. Indah
mendekat, duduk disamping Nathan dengan canggung. Nathan menawarinya minum tapi
ia menolak dan berdalih bahwa ia tidak bisa lama-lama. Aku bisa merasakan
kegelisahan dalam diri indah. Seperti mendapati bahwa ia berada ditempat yang
salah.
“gue sama valia Cuma mau ngomong masalah lo sama andre.” Nathan
mulai membuka suara dan yang langsung disambut oleh tatapan sarkastik oleh
indah. Aku sendiri masih diam, menunggu reaksinya lebih lanjut. “kenapa lagi
sih tan, kenapa lagi sama andre. Gue sayang sama dia dan gue harap lo ga ganggu
hubungan gue sama andre.” Nada suara indah masih pelan tapi aku bisa mendengar
nada geram dalam kata-katanya. Nathan terlihat menjilat bibir bawahnya. Seakan
mencari-cari dari mana ia harus mulai bicara. “tapi ndah, andre itu nggak
sebaik yang lo kira. Dia nggak bener-bener serius sama lo.” Seorang anak yang
berlari melewati mejaku sedikit mengalihkan perhatianku. Aku kembali mentap
indah yang kebingungan. “apa ada bukti? Kata-kata kalian itu nggak berdasar
tau.” Kali ini kata-katanya ikut menudingku. Aku masih diam dan ia melirikku
dengan tatapan jijik. Seperti tatapan kepada seorang wanita yang hendak merebut
pacarnya sendiri.
“lo akan tau ntar. Tapi please kali ini dengerin kata-kata kita.”
Dengan segala cara Nathan mencoba meyakinkan indah, tapi ia tetep
menyembunyikan identitasku sebagai seorang indigo. Aku melarang Nathan
menceritakan bahwa aku adalah seorang indigo kepada siapapun dan dalam keadaan
mendesak sekalipun.
Aku melihat raut wajah indah menegang seakan secara mentah-mentah
menolak kata-kata Nathan. Ia kembali menguarkan pendapatnya. Mengenai kata-kata
Nathan yang tidak berdasar, kita tidak punya bukti dan alasan yang jelas. Ia
bilang ia menyayangi andre dan apapun yang aku dan Nathan bilang tidak akan
merubah perasaannya pada andre.
Sura lonceng menandakan indah sudah keluar dari resto itu. aku
mendesah pelan, Nathan langsung menenggak habis sisa air di gelasnya. Seakan
tidak percya bahwa indah begitu sulit diberitahu, indah lebih egois dari yang
dikirannya. Selama beberapa detik kami hanya diam. Sibuk dengan pikiran
masing-masing.
“ayo pulang tan, bentar lagi ujan.” Aku mulai menenteng tasku dan
bersiap beranjak saat Nathan malah sibuk melihat keadaan diluar yang masih
begitu cerah. Tidak ada tanda-tanda mau hujan. Tapi setelah sekali lagi aku
menegurnya, ia seakan tersadar bahwa aku adalah seorang indigo yang bisa
mengetahui sesuatu diluar jangkauan orang lain.
Kami keluar dari tempat itu setelah memberikan sejumlah uang ke
kasir. Aku masih diam saat nathan membuntutiku masuk ke komplek perumahanku.
Langkahku lebih cepat dari biasannya, seakan ingin segera sampai dirumah. “val,
lo nggak apa-apa? pelan-pelan donk jalannya.” Keluhnya. Aku berbalik “lo
ngapain ngikutin gue. Pulang ajalah. Gue nggak apa-apa.” kataku dengan nada
agak kencang. Tidak bisa menyembunyikan kekesalanku. “lo nggak baik-baik aja.
Gue tau lo kesel karena indah keras kepala. Iya kan?”
Aku medengus mendengar kata-katanya. “gue udah nggak peduli lagi
sama indah ataupun andre dan yang lainnya. Mereka semua nggak tau diri.
Bertindak sesuka hati mereka, mengejar apa yang menurut mereka baik padahal itu
kesalahan besar dan mereka akan berdecak marah Karena seseorang mencoba
memperingatkannya.”
Aku merasakan pandanganku kabur dan setetes air mata meluncur
mulus dipipiku. Aku mengertakan gigi, mencoba menahan air mata yang akan jatuh
lagi. Nathan mendekat dan mengusap bahuku. “val, ada gue disini. gue gak akan
ninggalin lo karena hal apapun. Gue nggak kaya mereka. Jadi gue pengen lo gak
sedih lagi ya.” Aku merasakan ibu jari Nathan mengusap air mataku. Aku
mendongkak dan melihat dia tersenyum. Menaikkan garis bibirnya. Memaksaku
melakukan hal yang sama.