Lima tahun
yang lalu, aku hanya gadis biasa. Gadis berseragam abu-abu dengan lesung pipi
dan rambut terurai sebahu. Aku bisa dibilang cukup poluler disekolah. Dengan
reputasi sebagai anak berprestasi dan wajah diatas rata-rata. bukan hal sulit
untukku mencari yang namannya pacar. Bukan hanya satu-dua orang yang berniat
menjalin hubungan serius denganku. Tapi aku terus saja kekeuh menolak mereka.
Bukan karena mereka tidak cukup baik, tapi karena aku masih menunggu seseorang.
“kamu itu
cantik, pintar. Buat apa mengorbankan masa mudamu untuk menunggu seseorang yang
tidak jelas.” Lolita tidak pernah bosan menyerukan kata-kata itu kepadaku
ataupun “semakin hari aku semakin sadar betapa bodohnya dirimu. Kau bahkan
menolak para laki-laki baik hanya untuk menunggu seseorang yang sedang
bersenang-senang dengan gadis lain.” Aku hanya bisa tersenyum kecut. Menyadari
semua kata-kata Lolita ada benarnya.
disudut
kantin. Tempat favoritku saat jam istirahat. Aku biasa menghabiskan jam
istirahatku disini. Bahkan jika makanan dan minumanku sudah habis. Aku akan
tetap berada disana sampai bel masuk berbunyi. Sampai bunyi bel itu membuat dia
dan gadisnya pergi. Tidak ada yang bisa aku lakukan disini selain menatapnya.
Melihat senyumnya, memperhatikan gerak bibirnya, melihatnya tertawa bersama
gadis itu, aku bahkan senang saat gadis itu bisa membuat laki-lakiku menaikkan
garis bibirnya. Sedangkan aku sendiri tidak yakin bisa membuatnya tersenyum.
Apa aku bisa melakukan sesuatu yang gadis itu lakukan untuk laki-lakiku.
Lolita
benar, aku bodoh, aku mencintai seseorang yang sudah mempunyai kekasih. Raihan,
pria yang sukses membuatku merasakan yang namanya love at the first sight. Dan bodohnya aku bahkan masih tersihir
sampai detik ini. Aku tidak peduli ia bersama pacarnya ataupun siapa. Yang terpenting
aku bisa melihatnya tertawa. Agak munafik memang, aku ingin ada di posisi
pacarnya. Bersamanya setiap hari, menghabiskan banyak waktu dengannya, berbagi
tawa dan canda ataupun berbagi setiap masalah.
Tetapi aku
yakin. Tiap kebodohan yang aku lakukan untuknya. Tiap aku tanpa henti
menatapnya. Aku akan bilang pada diriku sendiri bahwa “aku sedang menunggu
jodohku, aku sedang menunggu calon suamiku.” Iyaa.. laki-laki tampan yang
sedang bersama gadis itu lah jodohku. Lucu memang, tapi entah kenapa kata-kata
itu bagai sebuah mantra buatku. Mantra mahadahsyat yang membuatku tidak
berhenti bersikap bodoh.
Dua tahun
kemudian aku dipertemukan kembali dengannya disebuah kampus yang sama. Dengan statusnya
yang baru. SINGLE. Yaah dia seorang SINGLE. Dan aku tidak tau apa yang lebih
membahagian selain ini. Kami mengambil jurusan yang sama membuat kami semakin
akrab. Aku senang saat ia bilang. “kamu lucu, kenapa dulu kita jarang ngobrol
yaa walau kita satu kelas.” Tentu saja, ia sudah terlalu sibuk dengan gadisnya.
Dunianya hanya untuk gadisnya. Mana mungkin ia membuang-buang waktu untuk
mengobrol dengan yang lain.
Mungkin ia
sibuk menutup rapat kehidupannya hanya untuk gadisnya. Bahkan menolak seseorang
yang mungkin lebih baik dari gadisnya. Tapi bukankah itu bagus. Ia tidak mudah
tergoda. lalu kenapa akhirnya mereka putus? Sayangnya aku tidak ingin membuang
waktuku untuk memikirkna hal itu. Aku hanya ingin dekat dengannya. Itu saja.
Lolita
hampir tidak percaya saat aku menceritakan kedekatanku dengan raihan. “jadi
sekarang udah nggak cinta bertepuk sebelah tangan niih?” katanya menggodaku. Aku
hanya bisa tersenyum sambil mengankat bahu karena pada kenyataannya status
hubunganku dengannya masih belum jelas.
Tok..tok..tok..
Suara itu
terdengar. Aku tersadar dari lamunanku dan menyuruh orang diluar masuk. Ibuku tersenyum
dari balik pintu. Dengan kebaya stelan berwarna krem ia menghampiriku. “ayo
sayang, semuanya sudah siap.” Aku mengangguk dan meninggalkan meja rias. Berjalan
pelan karena kabaya yang kupakai terasa membelit tubuh rampingku.
Dan disanalah…
aku melihat calon suamiku terduduk didepan penghulu. Pria itu dia.. Raihan..
pria yang selama ini aku tunggu-tunggu. Pria yang namanya selalu kuteriaki
dalam hati sambil berkata “kamu jodohku… kamu calon suamiku.”
Ia menoleh.
Dengan stelan hitam yang tampak elegan dan kopiah di atas kepalanya. Senyum itu
masih sama. Senyum yang lima tahun lalu kulihat. Senyum yang berhasil
membodohiku.