buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Thursday 29 January 2015

Love is Worth The Wait


     Lima tahun yang lalu, aku hanya gadis biasa. Gadis berseragam abu-abu dengan lesung pipi dan rambut terurai sebahu. Aku bisa dibilang cukup poluler disekolah. Dengan reputasi sebagai anak berprestasi dan wajah diatas rata-rata. bukan hal sulit untukku mencari yang namannya pacar.   Bukan hanya satu-dua orang yang berniat menjalin hubungan serius denganku. Tapi aku terus saja kekeuh menolak mereka. Bukan karena mereka tidak cukup baik, tapi karena aku masih menunggu seseorang.

     “kamu itu cantik, pintar. Buat apa mengorbankan masa mudamu untuk menunggu seseorang yang tidak jelas.” Lolita tidak pernah bosan menyerukan kata-kata itu kepadaku ataupun “semakin hari aku semakin sadar betapa bodohnya dirimu. Kau bahkan menolak para laki-laki baik hanya untuk menunggu seseorang yang sedang bersenang-senang dengan gadis lain.” Aku hanya bisa tersenyum kecut. Menyadari semua kata-kata Lolita ada benarnya.

     disudut kantin. Tempat favoritku saat jam istirahat. Aku biasa menghabiskan jam istirahatku disini. Bahkan jika makanan dan minumanku sudah habis. Aku akan tetap berada disana sampai bel masuk berbunyi. Sampai bunyi bel itu membuat dia dan gadisnya pergi. Tidak ada yang bisa aku lakukan disini selain menatapnya. Melihat senyumnya, memperhatikan gerak bibirnya, melihatnya tertawa bersama gadis itu, aku bahkan senang saat gadis itu bisa membuat laki-lakiku menaikkan garis bibirnya. Sedangkan aku sendiri tidak yakin bisa membuatnya tersenyum. Apa aku bisa melakukan sesuatu yang gadis itu lakukan untuk laki-lakiku.

     Lolita benar, aku bodoh, aku mencintai seseorang yang sudah mempunyai kekasih. Raihan, pria yang sukses membuatku merasakan yang namanya love at the first sight. Dan bodohnya aku bahkan masih tersihir sampai detik ini. Aku tidak peduli ia bersama pacarnya ataupun siapa. Yang terpenting aku bisa melihatnya tertawa. Agak munafik memang, aku ingin ada di posisi pacarnya. Bersamanya setiap hari, menghabiskan banyak waktu dengannya, berbagi tawa dan canda ataupun berbagi setiap masalah.

     Tetapi aku yakin. Tiap kebodohan yang aku lakukan untuknya. Tiap aku tanpa henti menatapnya. Aku akan bilang pada diriku sendiri bahwa “aku sedang menunggu jodohku, aku sedang menunggu calon suamiku.” Iyaa.. laki-laki tampan yang sedang bersama gadis itu lah jodohku. Lucu memang, tapi entah kenapa kata-kata itu bagai sebuah mantra buatku. Mantra mahadahsyat yang membuatku tidak berhenti bersikap bodoh.

     Dua tahun kemudian aku dipertemukan kembali dengannya disebuah kampus yang sama. Dengan statusnya yang baru. SINGLE. Yaah dia seorang SINGLE. Dan aku tidak tau apa yang lebih membahagian selain ini. Kami mengambil jurusan yang sama membuat kami semakin akrab. Aku senang saat ia bilang. “kamu lucu, kenapa dulu kita jarang ngobrol yaa walau kita satu kelas.” Tentu saja, ia sudah terlalu sibuk dengan gadisnya. Dunianya hanya untuk gadisnya. Mana mungkin ia membuang-buang waktu untuk mengobrol dengan yang lain.

     Mungkin ia sibuk menutup rapat kehidupannya hanya untuk gadisnya. Bahkan menolak seseorang yang mungkin lebih baik dari gadisnya. Tapi bukankah itu bagus. Ia tidak mudah tergoda. lalu kenapa akhirnya mereka putus? Sayangnya aku tidak ingin membuang waktuku untuk memikirkna hal itu. Aku hanya ingin dekat dengannya. Itu saja.
Lolita hampir tidak percaya saat aku menceritakan kedekatanku dengan raihan. “jadi sekarang udah nggak cinta bertepuk sebelah tangan niih?” katanya menggodaku. Aku hanya bisa tersenyum sambil mengankat bahu karena pada kenyataannya status hubunganku dengannya masih belum jelas.

          Tok..tok..tok..

     Suara itu terdengar. Aku tersadar dari lamunanku dan menyuruh orang diluar masuk. Ibuku tersenyum dari balik pintu. Dengan kebaya stelan berwarna krem ia menghampiriku. “ayo sayang, semuanya sudah siap.” Aku mengangguk dan meninggalkan meja rias. Berjalan pelan karena kabaya yang kupakai terasa membelit tubuh rampingku.

     Dan disanalah… aku melihat calon suamiku terduduk didepan penghulu. Pria itu dia.. Raihan.. pria yang selama ini aku tunggu-tunggu. Pria yang namanya selalu kuteriaki dalam hati sambil berkata “kamu jodohku… kamu calon suamiku.”


      Ia menoleh. Dengan stelan hitam yang tampak elegan dan kopiah di atas kepalanya. Senyum itu masih sama. Senyum yang lima tahun lalu kulihat. Senyum yang berhasil membodohiku.