Sejak sejam yang lalu Damar belum bergerak dari posisinya.
Ia menatap ke taman. Kaca mobilnya dibuka lebar-lebar sehingga ia
bisa dengan jelas melihat dua sosok yang sejak tadi tidak lepas dari
pandangannya.
Bagi orang lain. Melihat seorang ibu dan anak penjual kue itu memang
tidak menarik.
Wanita paruh baya dan seorang anak yang kira-kira berusia 10 tahun
itu berpakaian lusuh. Duduk di depan taman dengan menggelar sebuah
koran dan menaruh dua baskon berisikan dagangan mereka.
raut wajah wanita itu sendu dan terlihat lelah anaknya pun terlihat
seperti tidak begitu terurus. Kaus yang dipakainya lusuh. Seperti
telah dipakai berhari hari tanpa dicuci.
Damar sudah hapal jadwal dua orang itu. Sepuluh menit lagi. Mereka
akan beranjak dari tempatnya sekarang dan menyusuri perumahan megah
untuk menuju gubuk mereka.
Damar masih mengikutinya dari belakang. Pelan-pelan hingga tidak ada
satupun yang curiga. Hingga sampai ke sebuah rumah kecil diujung
jalan. Kedua orang itu masuk. Dan setengah jam kemudian anak kecil
itu keluar kembali. Dengan kaus yang sedikit lebih bersih dan rambut
yang masih basah, ia berlari menuju lapangan bola tak jauh dari
rumahnya.
Damar sempat melihat sebuah senyum tersungging dari bibir anak itu.
Selang kepergian anak kecil itu, seseorang seumur dirinya menyambangi
rumah itu. Dengan kemeja kotak-kotak dan jeans belel, laki-laki itu
masuk setelah melepas alas kakinya.
Hari beranjak sore dan damar belum merubah posisi mobilnya, belum
juga berniat meninggalkan tempat itu. Hingga senja berganti pekat.
seorang laki-laki paruh baya mengelap peluh saat sampai dirumah itu.
Pria itu duduk sebentar didepan rumah, baru akhirnya masuk.
Lima belas menit kemudian. Seisi rumah keluar. bersama seorang anak
kecil yang telah kembali dari kegiatan bermainnya, dengan wajah
sumringah seakan lelahnya hari ini tak mereka rasakan. Ketiga
laki-laki itu memakai sarung dan ibunya menenteng mukena.
Damar keluar dari mobil. Dan perlahan mengikuti jejak keluarga itu,
seperti rutinitasnya kemarin-kemarin.
Damar bisa melihat sayup-sayup percakapan mereka. Membuat hatinya
terasa nyeri. Tawa renyah tak pernah lepas dari bibir mereka.
Mereka memasuki sebuah mushola kecil di kampung itu. Begitu juga
dengan Damar. Ia mengikuti para laki-laki menuju tempat wudhu dan
mulai berwudhu tanpa membuat orang lain terlebih keluarga itu curiga.
sebelum sholat dimulai. Ia duduk menyender di tembok, mengambil sisi
paling kiri sambil menunggu sang imam. Ia hanya berjarak beberapa
meter dari pantauannya. Setelah imam masuk dan menyuruh makmum
merapikan shaf. Damar tersentak oleh suara itu "sini nak, masih
muat" pria paruh baya yang sejak tadi dipandanginya itu kini
menatap kearahnya dengan senyum tulus. Dengan canggung ia mendekat
dan kini berada disebelah pria itu.
Setelah menyelesaikan solat. Ia menoleh dan sedikit terkejut melihat
pria itu mengulurkan tangannya. Seperti yang biasa orang lain lakukan
ketika selesai sholat. Damar menjabat tangan itu. Satu detik.. dua
detik... tiga detik.. ia belum juga melepaskan tangan itu. Ia menarik
nafas panjang. Mencoba menahan air mata yang sudah terasa menggenang
dipelupuk matanya. Mendorong keinginan untuk mencium tangan itu atau
mengempaskannya dengan kasar. Bingung harus tersenyum atau malah
meluapkan marah pada pria itu.
Pria itu berdehem, membuat damar kembali dari lamunanya. "Eehh
maaf pak." katanya sambil melepaskan jabatannya pelan-pelan.
"Kamu bukan orang sini ya nak?"pria itu menoleh setelah
selesai berdoa. Damar menggeleng pelan. "Darimana dan mau
kemana?" Tanyanya lagi
"Saya mau pulang. Hanya sekedar mampir karena pas jamnya
sholat." Katanya berbohong. Pria itu mengangguk. Hanya kali ini
damar bisa melihat wajah itu dengan jelas. Wajah yang dihiasi guratan
kelelahan. Tanpak tidak terurus. Kulit pria itu hitam seakan ia
menghabiskan setiap harinya dibawah paparan sinar matahari.
"Bapak tinggal didaerah sini?" Tanyanya.
"Iya, tidak jauh dari sini. Diujung jalan." Selesai berdoa
pria itu menyingkir mempersilahkan orang lain yang ingin sholat.
Damar mengikuti.
"Itu anak-anak bapak?" Tanyanya lagi sambil melirik ke dua
laki-laki beda umur yang sedang mengobrol dengan warga lain.
"Iya."
"Hanya dua?" Tanyanya lagi
"Iya cuma dua." Jawabnya singkat dan seketika itu juga Damar serasa dihantam oleh batu ribuan ton. Dadanya nyeri dan sesak
oleh rasa sakit hati.
"Sebenernya anak saya ada satu lagi." Damar yang sedari
tadi menunduk langsung mengangkat wajahnya dan melihat raut wajah
pria itu berubah sendu.
"Kemana dia pak?" Tanya damar pelan.
"Dia diangkat oleh sebuah kelurga kaya. Dan sekarang mungkin dia
sudah bahagia. Tidak merasakan susah seperti adik-adiknya."
Damar tersenyum kecut. Dadanya berdentam-dentam dengan keras sampai
terasa ingin melompat dari tempatnya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang. Apa ia harus berterimakasih pada
ayah kandungnya, pria yang ada didepannya ini bahwa ia membiarkan
anaknya diasuh oleh keluarga kaya. Rumah megah, mobil mewah,
pendidikan tinggi dan uanga banyak yang bisa ia nikmati.
Atau ia harus marah karena pada kenyataannya ayahnya membiarkannya
jatuh ke tangan seorang koruptor kelas kakap dan seorang pecandu
narkoba.
Ayah dan ibu angkatnya begitu baik. Walaupun mereka jarang berada
dirumah karena sibuk, rumah megah itu kosong. Tiap pulang, ia
merasakan hawa dingin menyelimuti rumah itu. Rumah seperti tidak
berpenghuni.
Orang tuanya memang selalu mencukupinya dengan uang, bahkan lebih
dari yang ia minta tapi pada kenyataannya itu saja tidak cukup
buatnya.
Ia ingin orangtuanya ada saat itu membuka mata, mereka akan sarapan
bersama. Lalu pulangnya, ia akan disambut oleh senyum hangat ibunya
dan mereka ada bercengkrama bersama hingga makan malam. Tapi pada
kenyataannya semua itu hanya menjadi angan buatnya. Orangtuanya
terlalu sibuk bekerja untuk mengejar duniawi.
Tiga bulan yang lalu beberapa anggota polisi datang kerumah dan
menangkap ayahnya karena kasus dugaan korupsi dan sebulan kemudian
ibunya digerebek disebuah tempat tengah mengadakan pesta barang
haram. dan akhirnya ia tau bahwa ia bukan anak kandung keluarga itu.
ia diadopsi sejak berumur dua tahun lebih. Tidak lama setelah ibunya
melahirkan adiknya. Ibu angkatnya menceritakan semuanya saat Damar
berkunjung ke panti rehabilitasi tempat ibunya dirawat.
Dan sekarang ia berada dihadapan ayah kandungnya. Segudang pertanyaan
bergumul diotaknya
Apakah orangtuanya tau kalau ia menderita?
Kebahagiannya tidak seperti yang mereka kira?
Apakah mereka tau kalau selama hidupnya Damar kesepian?
Apakah mereka sadar kalau mereka memberikan Damar ke orang yang
salah?
Apa mereka tau bahwa ayah angkatnya adalah seorang koruptor dan
ibunya seorang pecandu narkoba?
Apakah mereka tau kalau Damar tidak mendapatkan kasih sayang seperti
yang mereka harapkan?
Dan pertanyaan terkahir dalam benaknya adalah
Apakah mereka tidak menyesal saat tau bahwa anaknya, darah dagingnya telah dihidupi dengan uang haram??
Apakah mereka tidak menyesal saat tau bahwa anaknya, darah dagingnya telah dihidupi dengan uang haram??