buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Thursday 13 August 2015

Senja di sebuah Taman

 Sejak sejam yang lalu Damar belum bergerak dari posisinya.
Ia menatap ke taman. Kaca mobilnya dibuka lebar-lebar sehingga ia bisa dengan jelas melihat dua sosok yang sejak tadi tidak lepas dari pandangannya.
Bagi orang lain. Melihat seorang ibu dan anak penjual kue itu memang tidak menarik.
Wanita paruh baya dan seorang anak yang kira-kira berusia 10 tahun itu berpakaian lusuh. Duduk di depan taman dengan menggelar sebuah koran dan menaruh dua baskon berisikan dagangan mereka.
raut wajah wanita itu sendu dan terlihat lelah anaknya pun terlihat seperti tidak begitu terurus. Kaus yang dipakainya lusuh. Seperti telah dipakai berhari hari tanpa dicuci.
Damar sudah hapal jadwal dua orang itu. Sepuluh menit lagi. Mereka akan beranjak dari tempatnya sekarang dan menyusuri perumahan megah untuk menuju gubuk mereka.
Damar masih mengikutinya dari belakang. Pelan-pelan hingga tidak ada satupun yang curiga. Hingga sampai ke sebuah rumah kecil diujung jalan. Kedua orang itu masuk. Dan setengah jam kemudian anak kecil itu keluar kembali. Dengan kaus yang sedikit lebih bersih dan rambut yang masih basah, ia berlari menuju lapangan bola tak jauh dari rumahnya.
Damar sempat melihat sebuah senyum tersungging dari bibir anak itu. Selang kepergian anak kecil itu, seseorang seumur dirinya menyambangi rumah itu. Dengan kemeja kotak-kotak dan jeans belel, laki-laki itu masuk setelah melepas alas kakinya.
Hari beranjak sore dan damar belum merubah posisi mobilnya, belum juga berniat meninggalkan tempat itu. Hingga senja berganti pekat. seorang laki-laki paruh baya mengelap peluh saat sampai dirumah itu. Pria itu duduk sebentar didepan rumah, baru akhirnya masuk.
Lima belas menit kemudian. Seisi rumah keluar. bersama seorang anak kecil yang telah kembali dari kegiatan bermainnya, dengan wajah sumringah seakan lelahnya hari ini tak mereka rasakan. Ketiga laki-laki itu memakai sarung dan ibunya menenteng mukena.
Damar keluar dari mobil. Dan perlahan mengikuti jejak keluarga itu, seperti rutinitasnya kemarin-kemarin.
Damar bisa melihat sayup-sayup percakapan mereka. Membuat hatinya terasa nyeri. Tawa renyah tak pernah lepas dari bibir mereka.
Mereka memasuki sebuah mushola kecil di kampung itu. Begitu juga dengan Damar. Ia mengikuti para laki-laki menuju tempat wudhu dan mulai berwudhu tanpa membuat orang lain terlebih keluarga itu curiga.
sebelum sholat dimulai. Ia duduk menyender di tembok, mengambil sisi paling kiri sambil menunggu sang imam. Ia hanya berjarak beberapa meter dari pantauannya. Setelah imam masuk dan menyuruh makmum merapikan shaf. Damar tersentak oleh suara itu "sini nak, masih muat" pria paruh baya yang sejak tadi dipandanginya itu kini menatap kearahnya dengan senyum tulus. Dengan canggung ia mendekat dan kini berada disebelah pria itu.
Setelah menyelesaikan solat. Ia menoleh dan sedikit terkejut melihat pria itu mengulurkan tangannya. Seperti yang biasa orang lain lakukan ketika selesai sholat. Damar menjabat tangan itu. Satu detik.. dua detik... tiga detik.. ia belum juga melepaskan tangan itu. Ia menarik nafas panjang. Mencoba menahan air mata yang sudah terasa menggenang dipelupuk matanya. Mendorong keinginan untuk mencium tangan itu atau mengempaskannya dengan kasar. Bingung harus tersenyum atau malah meluapkan marah pada pria itu.
Pria itu berdehem, membuat damar kembali dari lamunanya. "Eehh maaf pak." katanya sambil melepaskan jabatannya pelan-pelan.
"Kamu bukan orang sini ya nak?"pria itu menoleh setelah selesai berdoa. Damar menggeleng pelan. "Darimana dan mau kemana?" Tanyanya lagi
"Saya mau pulang. Hanya sekedar mampir karena pas jamnya sholat." Katanya berbohong. Pria itu mengangguk. Hanya kali ini damar bisa melihat wajah itu dengan jelas. Wajah yang dihiasi guratan kelelahan. Tanpak tidak terurus. Kulit pria itu hitam seakan ia menghabiskan setiap harinya dibawah paparan sinar matahari.
"Bapak tinggal didaerah sini?" Tanyanya.
"Iya, tidak jauh dari sini. Diujung jalan." Selesai berdoa pria itu menyingkir mempersilahkan orang lain yang ingin sholat. Damar mengikuti.
"Itu anak-anak bapak?" Tanyanya lagi sambil melirik ke dua laki-laki beda umur yang sedang mengobrol dengan warga lain.
"Iya."
"Hanya dua?" Tanyanya lagi
"Iya cuma dua." Jawabnya singkat dan seketika itu juga Damar serasa dihantam oleh batu ribuan ton. Dadanya nyeri dan sesak oleh rasa sakit hati.
"Sebenernya anak saya ada satu lagi." Damar yang sedari tadi menunduk langsung mengangkat wajahnya dan melihat raut wajah pria itu berubah sendu.
"Kemana dia pak?" Tanya damar pelan.
"Dia diangkat oleh sebuah kelurga kaya. Dan sekarang mungkin dia sudah bahagia. Tidak merasakan susah seperti adik-adiknya."
Damar tersenyum kecut. Dadanya berdentam-dentam dengan keras sampai terasa ingin melompat dari tempatnya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang. Apa ia harus berterimakasih pada ayah kandungnya, pria yang ada didepannya ini bahwa ia membiarkan anaknya diasuh oleh keluarga kaya. Rumah megah, mobil mewah, pendidikan tinggi dan uanga banyak yang bisa ia nikmati.
Atau ia harus marah karena pada kenyataannya ayahnya membiarkannya jatuh ke tangan seorang koruptor kelas kakap dan seorang pecandu narkoba.
Ayah dan ibu angkatnya begitu baik. Walaupun mereka jarang berada dirumah karena sibuk, rumah megah itu kosong. Tiap pulang, ia merasakan hawa dingin menyelimuti rumah itu. Rumah seperti tidak berpenghuni.
Orang tuanya memang selalu mencukupinya dengan uang, bahkan lebih dari yang ia minta tapi pada kenyataannya itu saja tidak cukup buatnya.
Ia ingin orangtuanya ada saat itu membuka mata, mereka akan sarapan bersama. Lalu pulangnya, ia akan disambut oleh senyum hangat ibunya dan mereka ada bercengkrama bersama hingga makan malam. Tapi pada kenyataannya semua itu hanya menjadi angan buatnya. Orangtuanya terlalu sibuk bekerja untuk mengejar duniawi.
Tiga bulan yang lalu beberapa anggota polisi datang kerumah dan menangkap ayahnya karena kasus dugaan korupsi dan sebulan kemudian ibunya digerebek disebuah tempat tengah mengadakan pesta barang haram. dan akhirnya ia tau bahwa ia bukan anak kandung keluarga itu. ia diadopsi sejak berumur dua tahun lebih. Tidak lama setelah ibunya melahirkan adiknya. Ibu angkatnya menceritakan semuanya saat Damar berkunjung ke panti rehabilitasi tempat ibunya dirawat.
Dan sekarang ia berada dihadapan ayah kandungnya. Segudang pertanyaan bergumul diotaknya
Apakah orangtuanya tau kalau ia menderita?
Kebahagiannya tidak seperti yang mereka kira?
Apakah mereka tau kalau selama hidupnya Damar kesepian?
Apakah mereka sadar kalau mereka memberikan Damar ke orang yang salah?
Apa mereka tau bahwa ayah angkatnya adalah seorang koruptor dan ibunya seorang pecandu narkoba?
Apakah mereka tau kalau Damar tidak mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka harapkan?
Dan pertanyaan terkahir dalam benaknya adalah

Apakah mereka tidak menyesal saat tau bahwa anaknya, darah dagingnya telah dihidupi dengan uang haram??