Surat ini tidak aku tujukan untuk
siapa-siapa, atau setidaknya aku tidak akan mengacungkan telunjukku didepan
wajah kalian. Kalian tau bahwa aku terlalu malu, terlalu merasa hina. Aku hanya
ingin berbagi sepenggal kisah hidupku yang sama sekali tidak akan pernah ingin dialami
orang anak-anak muda lainnya.
Sekilas,
mungkin kalian tidak akan melihat perbedaan dengan diriku. Bagi kalian Aku
mungkin hanya terlihat begitu kurus. Tapi yang lainnya, aku dan kalian tampak
sama. Aku bisa berjalan sama seperti kalian, bahkan berlari. Aku bisa berbicara
lantang, seperti kalian. Tapi ada sesuatu mematikan dalam tubuhku yang
membedakanku dengan kalian. Yaahh.. kalian yang mengetahui apa itu akan
langsung menjauhiku. Menganggapku begitu hina, menganggapku seperti sampah yang
harus kalian buang.
Kalian
tau. Aku tidak pernah ingin mengalami ini semua. Penyesalah bertubi-tubi bahkan
keinginan untuk mengakhiri hidup tidak hanya sekali-dua kali terlintas dalam
pikiranku. Tapi saat keinginan itu begitu kuat, aku tidak pernah benar-benar
menyerahkan nyawaku karena aku sadar diriku sepenuhnya milik tuhan. Hanya Dia
lah yang berhak atas diriku. Aku menyadari bahwa mungkin aku terlambat mengenal
yang namanya “TUHAN”. Aku menghabiskan waktu selama dua puluh satu tahun tanpa
mengenal tuhan dan tiga tahun terakhir menjadikan obat-obatan terlarang sebagai
tuhan.
Semua
berawal dari cinta. Yaahh.. cinta yang kata orang begitu indah, sama sekali
tidak berlaku buatku. Tapi untuk yang bilang cinta itu buta, aku bisa pastikan
seratus persen benar. Aku mengenal pria itu lewat salah satu temanku. Aku
memang tidak bisa dibilang gadis baik-baik karena aku lebih menyukai hingar
bingar dunia malam. Tapi saat itu aku masih bisa menjaga diri dan hanya
berkutat dengan rokok dan minuman keras yang tidak seberapa.
Tapi
malam itu, yaah, aku tidak akan melupakan malam itu. Malam saat aku melihat
seorang pria yang sibuk memainkan piringan hitam dan menghasilkan alunan musik
yang memenuhi ruangan. Pria yang baru kali pertama aku lihat ada di bar itu.
Namanya
Argan, pria berkulit kuning langsat itu dalam seketika berhasil menarik
perhatianku. Dan melalui seorang teman, aku berhasil selangkah lebih dekat
dengannya. Dia pria yang sangat menarik juga begitu humoris. Tapi saat aku
merasakan semakin mencintainya, aku baru mengetahui bahwa ia adalah seorang
pemakai. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri ia sedang menyuntikkan cairah
ke tubuhnya. Mungkin narkoba jenis morfin. Dan setelah itu entah untuk alasan
cinta atau sekedar keingintahuan. Aku ikut terseret kedalamnya.
Aku
mulai mengenal yang namanya, ganja, morfin, opion, heroin, kokain dan yang
lainnya. Argan juga mengenalkanku dengan seorang badar narkoba yang menjadi
langganannya. Aku yang masih berstatus mahasiswi disalah satu universitas
negeri terpaksa harus menguras keuangan orangtuaku yang memang tidak tinggal
satu kota denganku. Aku rela berbohong
hanya untuk mendapatkan uang dan membeli barang haram itu. Barang yang
membuatku kecanduan. Barang yang membuatku melupakan semuanya. Kuliah, orang
tua, adik dan kakakku.
tiga
tahun aku masih bergelut dengan Argan dan dunianya. Alkohol, obat-obatan
terlarang, Bandar narkoba. Tubuhku semakin hari terlihat semakin tidak terurus.
Dan aku tidak pernah memperhatikannya.
Dan
akhirnya hari itu, sabtu pagi dipertengahan bulan juni. Aku menemukan Argan
dalam kondisi tidak bernyawa karena overdosis. Aku melihat bagaimana tubuhnya
yang kurus tergeletak dilantai dengan wajah pucat dan mulut berbusa. Mengerikan,
tak berdaya, tak beryawa karena barang-barang itu.
Aku
hancur seketika. Bukan hanya karena kehilangan Argan, pria yang aku cintai.
Tapi juga menyadari bahwa aku bisa bernasib sama seperti Argan.
Belajar
dari pengalaman Argan. Aku bertekad untuk kembali ke kampung halaman dan
berusaha lepas dari obat-obatan. Aku memberanikan diri menghadap kedua
orangtuaku dan rekasi mereka begitu terkejut melihat keadaan ku. Mereka bilang
aku begitu kurus, pucat dan berantakan. Dan dengan keberanian penuh aku
memberitahu mereka bahwa aku kini bergantung pada barang haram itu. Dalam
hitungan detik ibuku menangis dan ayahku sempat menamparku beberapa kali
sebelum akhirnya kakak laki-lakiku menghalangi.
Keesokan
harinya, setelah kedua orangtuaku kembali tenang. Mereka mengantarku memeriksakan
diri ke dokter sebelum mengantarku ke pusat rehabilitasi. Dan saat itulah bencana
itu muncul. hasil tes darah menyatakan aku
positif HIV AIDS. Aku merasakan langit seakan runtuh di depan mataku saat itu
juga. Bagaimana mungkin? Penyakit mematikan itu kini bersarang ditubuhku yang
lemah. Penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Kedua orangtuaku
menangis begitu juga dengan kakak dan adikku. Dan saat itu yang terlintas dalam
pikiranku hanyalah KEMATIAN. Bahwa aku si ODHA. Hanya perlu menunggu kematian
menjemputku. Karena jarum suntik yang aku gunakan? Pasti. karena aku pastikan
aku belum pernah berhubungan badan bahkan dengan Argan sekalipun. Aku hanya
punya dua kata. AKU FRUSTASI
***
Rumah
bercat putih itu begitu asri. Pepohonan tumbuh subur memberi sumber kehidupan
untuk semua penghuninya. Di panti rehabilitasi itulah akhirnya aku menghabiskan
hari-hariku selanjutnya. Aku berkenalan dengan sama-sama mantan pemakai. Tapi
hanya akulah satu-satunya pengidap HIV / AIDS. Dan hari itu juga aku merasakan
yang namanya PENOLAKAN yang terasa begitu menyakitkan. Tidak ada orang yang
bersedia dekat denganku bahkan disatukan satu kamar denganku. Mereka selalu
memandangku seperti seonggok daging busuk yang memang harus mereka jauhkan. seperti
virusku bisa menular hanya dengan kita bertatapan muka ataupun bersentuhan
tangan.
Aku
menempati salah satu kamar seorang diri. Disaat kamar dihuni beberapa orang aku
hanya menempati kamar itu seorang diri. Di Pusat rehabilitas itulah aku
akhirnya menjalani hari-hari-ku kemudian. Siang-siang yang menyakitkan,
malam-malam penuh penderitaan hanya untuk lepas dari jerat barang haram itu.
Setiap
hari aku harus meminum beberapa obat dan dokter tidak ada henti-hentinya
menyuntikan cairan-cairan ke tubuhku. Terkadang pada tengah malam aku harus
merasakan menggigil yang begitu hebat, pusing juga mual. Disana aku menjalani
berbagai terapi. Dan yang paling penting. Aku harus mengkonumsi ARV setiap 12
jam sekali. Kata perawat obat itu bisa memperlambat virus mematikan itu.
Yaahh.. hanya memperlambat, tidak untuk menghilangkan virus itu. tapi aku cukup
optimis untuk tetap hidup. Bagaimanapun juga, aku masih ingin berkumpul bersama
keluarga dan orang-orang yang aku cintai.
Satu
tahun kemudian aku keluar dari rehabilitasi itu. Menghirup udara yang begitu
segar dibanding tempat rehabilitasi itu. Aku memang sudah tidak menjadi pecandu
namun aku masih membawa penyakit mematikan itu di tubuhku, kemana-mana, tentu
saja, penyakit itu menyatu dalam darahku.
Dan
seminggu kemudian aku kembali lagi ke panti rehabilitasi itu. Bukan, bukan
karena aku kembali terjerat obat-obatan haram tapi karena aku memutuskan untuk
menjadi bagian dari panti itu. Keluarga menerima kepulanganku, tentu saja. Tapi
tidak dengan orang disekitarku. Kabar bahwa aku menderita HIV AIDS sudah
menyebar luas dan tentu saja menyulitkanku untuk bersosialisasi. Pikiran mereka masih terlalu sempit. Mereka
tidak mengerti bagaimana virus-virus ini bias menular. Mereka tidak tau bahwa
aku tidak akan menularkan virus ini jika hanya berjabat tangan dengan mereka.
Iya, mereka tidak mengerti dan yang mereka lakukan hanya menjauhi ku. Mencari
aman.
Selain
dipanti rehabilitasi itu. Aku aktif memberikan penyuluhan di beberapa tempat.
Forum-forum kesehatan dan kampus-kampus. Menekan rasa malu memberitahu mereka
bahwa aku menderita penyakit menjijikan itu. Tapi aku bersumpah bahwa aku tidak
ingin ada lagi aku-aku yang lain. aku ingin memberitahu mereka bahwa pengaruh
obat-obatan itu jauh lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan dan
sebaiknya tidak mereka coba karena alasan apapun. Bahkan juga alasan klise
karena keingintahuan atau penasaran. Masih begitu banyak hal yang harus mereka
ketahui daripada penasaran akan bentuk ganja, rasa morfin, nikmatinya heroin
dan barang-barang laknat yang lainnya.
Jangan
pernah mengorbankan masa muda kalian hanya untuk penasaran pada hal-hal tidak
berguna yang bisa merusak kalian. Kalian terlalu berharga bagi orang tua,
sahabat bahkan Negara jika rusak karena barang mematikan itu. Karena barang itu
seperti memberikan lorong gelap. Kau akan melupakan segalannya. Yang kau
inginkan hanya terus-menerus berlari untuk mencari jalan keluar tapi kalian
sadar bahwa jalan itu buntu, bahkan setitik cahayapun tidak akan kalian temukan.
Kalian ada kehilangan kesadaran dan yang paling terpenting, kalian tidak akan
pernah bisa memutar waktu.