“delia…
ada firman. Ayo donk kamu temuin. Kasihan dya udah nunggu lama”. Suara lembut
yang bersahutan dengan ketukan pintu terdengar oleh delia yang masih duduk
tenang dekat jendela rumahnya. Mengirup udara sore yang begitu segar. Angin
yang bertiup membuat beberapa helai rambutnya terbang. Ia menatap kearah sebuah
mobil yeng terparkir didepan pagar rumahnya. . Untuk apa dia datang kesini lagi?
“ia nanti delia turun ma” katanya
dengan nada kesal. Dengan berat ia menggerakkan tangannya untuk menjalankan
kursi rodanya. Keluar dari kamar ini saja
terasa begitu sulit.. gerutunya dalam hati. Delia berhasil keluar dari
kamar dan langsung menatap sesosok pria tampan didepannya. Pria itu tersenyum
lembut tetapi delia lebih suka menekuk wajahnya. “biar kubantu” dengan sigap
pria itu berdiri, bersiap membantu mendorong kursi roda delia. “tidak usah,
terima kasih” delia buru-buru menolak. Membuat firman tersenyum kecil dan hanya
mengikuti delia dari belakang. Delia dan kursi rodanya sudah berada dihadapan
firman. Tetapi firman hanya menyunggingkan senyum melihat delia. “kalau kau
datang kesini hanya untuk senyum mengejek. Lebih baik kau pergi” suara lantang
delia terdengar karena merasa risih dengan tatapan firman dan senyumnya yang
seolah menertawakan ketidakberdayaannya. “bagaimana kalau kita ketaman”. Delia
mengerutkan dahi melihat ekspresi firman yang sama sekali tidak mempan dengan
kata-kata kasarnya.
“tidak mau. Kau pikir kau siapa?” katanya
ketus sambil membuang muka dari firman. Firman tertawa kecil, ada kegelian disana
membuatnya berdiri dan langsung mendorong kursi roda delia keluar rumah. Delia
membelalakan matanya dan menatap firmah penuh amarah.
“apa yang kau lakukan. Cepat
berhenti.” Seakan tak mendengar ucapan delia, firmah masih mendorong kursi roda
delia hingga ke depan mobilnya. “aku sudah meminta izin kepada ibumu. Kau
tenang saja” katanya lembut sambil menatap geli delia yang memasang wajah
cemberut.
“kalau aku tidak mau. Kau mau apa?”
delia berkata lebih lantang. Sambil menatap firman penuh kebencian.
“aku akan memaksamu.” Katanya
sambil membuka pintu mobil dan menggendong delia duduk dibangku depan. Delia
yang merasakan tangan firman menyentuh kulitnya hanya pasrah.
Bahkan
untuk memberontak dari pria ini saja aku tak mampu. Katanya dalam hati. Ada
raut kekecewaan disana, seandainya ia bisa, mungkin ia sudah menghajar siapapun
yang berani-beraninya menyentuhnya. Tapi ia tahu kalau firman adalah pria baik.
Dan ini bukan pertama kalinya firman memaksakan membawa pergi delia. Orang tua
deliapun sudah percaya dengan firman. Ia melirik kearah firman yang sudah
berada disamping dan focus pada kemudinya. Tapi ia akhirnya membuang muka
kearah jendela. Ia sebenarnya tidak sudi
naik mobil ini apalagi bersama firman.
1 tahun yang lalu.. sebuah
kecelakaan hebat membuat delia kehilangan kakinya. Kakinya memang tidak
diamputansi, tapi ia kehilangan fungsinya secara keseluruhan. Ia seperti
dihantam batu besar saat tau bahwa ia harus menghabiskan sisa hidupnya dikursi roda.
Sore itu… ia melangkah keluar dari
sebuah agensi setelah mendatangi kontrak menjadi seorang model disalah satu
majalah fashion terbesar dikotanya. Inilah cita-citanya sejak dulu. Sejak SMP
wajahnya sudah sering menghiasi majalah-majalan remaja. Dan kali ini
cita-citanya sudah berada didepan mata.
Jalan begitu sepi, ia dengan santai
menyebrang hingga akhirnya ia mendengar suara mobil menderu-deru, ia menoleh
dan mendapati sebuah mobil dari tikungan melaju kencang kearahnya. Membuatnya
terlempar Sampai akhirnya tak sadarkan
diri.
Ia membuka mata dan menyadari ia
sudah berada dirumah sakit. Ia bersyukur karena ia pikir ia tidak akan bisa
diselamatkan. Tapi ternyata semuanya tidak baik-baik saja. dokter bilang kalau
delia akan menghabiskan sisa hidupnya dikursi roda. Kedua kaki delia sudah
tidak bisa diselamatkan. Seperti disambar petir disiang bolong, delia menangis
sejadi-jadinya. Meratapi semua impian yang sudah ada didepan mata dan tak akan
pernah ia gapai. Mengutuk orang yang yang telah menabrakknya yang ternyata
melarikan diri.
Semuanya berubah semenjak kecelakaan itu.
delia menjadi pemurung. Ia hanya mengurung diri dikamarnya sambil menangis
setiap hari. Ia tidak mau menemui siapapun selain keluarganya. Ia benci melihat
tatapan belas kasihan dari orang-orang yang menjenguknya.
Dan hari itu tiba. Delia memutuskan
pergi ketaman komplek sendirian. Sudah 3 bulan ia mengurung diri dikamar dan
itu membuantnya bosan. Dengan keberaniannya ia memacu kursi rodanya keluar
rumah. Mengirup udara segar. Ia menolak ditemani siapapun termasuk ibu dan
adiknya. Seperti hari-hari kemarin. Ia ingin selalu sendiri. Dan
tatapan-tatapan orang yang ada disana benar-benar membuat delia muak. Tatapan
kasihan dan mengejek itu sangat mambuatnya tidak nyaman. Ternyata keluar dari
rumahnya juga tidak membuatnya lebih baik.
Ia menggerakkan kursi rodanya agak
keras tapi tak bergerak sedikitpun. Ia menghela nafas melihat salah satu roda kursi
rodanya tersangkut sebuah batu. Saat itulah uluran tangan lembut firman datang
membantunya. Delia terkesiap melihat seseorang mendorong kursi rodanya. “saya
bisa sendiri. Terima kasih” wajah delia menatap firman yang tersenyum. Firman
memperkenalkan diri lalu menawarkan diri mengantar delia pulang. Tapi saat itulah
rasa benci itu datang. “rumah saya tidak
jauh dari sini. Saya bisa pulang sendiri” kata delia sambil memacu kursi
rodanya menjauhi firman. Firman yang melihat lalu masuk ke mobilnya dan
menjalankan mobilnya pelan tepat dibelakang delia. Memastikan delia sampai
rumah dengan selamat .
Hari berikutnya firman datang
kerumah delia membawa sekotak coklat,
tapi delia secara terang-terangan menolak bahkan mengusir firman dari rumahnya. Tapi ternyata itu tidak
menyurutkan semangat firman. Firman bertekad membuat delia bangkit dari
keterpurukannya hingga tanpa sadar tumbuh rasa suka dalam hatinya. Hampir setiap hari ia datang kerumah delia,
membawa berbagai makanan dan bunga terkadang, tapi tidak ada satupun yang delia
terima dengan ikhlas. Semua delia terima karena terpaksa, karena paksaan ibunya
untuk menghargai pemberian orang. sudah 9 bulan dan firman masih tidak kapok
juga. Ia terus datang ke rumah delia walau hanya untuk mendengar cacian dan
makian dari delia.
Suara pintu terbuka membuat delia
kembali ke kesadarannya. Firman dengan sigap menggendong delia kembali ke kursi
rodanya. Mereka menatap kesebuah danau yang ada didepan mereka. “apa kau ingin
minum?” kata firman memecah keheningan. Delia hanya menggeleng tanpa melepas
pandangannya ke arah danau yang terhampar tenang dihadapannya.
“kau tau? Seharusnya hari ini aku sudah berada dipuncak
kesuksesan sebagai model. Menggapai semua cita-citaku. Bukan duduk dikursi roda
ini dan menjadi orang yang tidak berguna”. Kata-kata delia membuat firman
kembali menoleh ke arah delia, ada rasa sakit dihatinya. Rasa yang begitu
menyesakkan dadanya tiap ia melihat delia.
“cita-cita ku sudah ada didepan mata waktu itu. tapi dalam
hitungan menit semuanya berubah. Kenapa tuhan masih membiarkanku hidup jika aku
tidak bisa berbuat apa-apa”. Air mata menetes dari mata kanan delia. Membuat
hati firman semakin teriris. Tapi firman tidak dapat berkata apa-apa. lidahnya
kaku, semua suaranya terasa tertelan ditenggorokkan. “apakah kau pernah mengerti perasaanku?” delia
akhirnya menoleh kearah firman. Mata mereka bertemu, mata delia yang
berkaca-kaca dan mata firman yang penuh kesedihan. “lalu.. mengapa kau begitu
bodoh terus-terusan menemuiku?”. Suara delia lebih lantang kali ini. Firman
masih menatap delia dalam diam.
“aku menyayangimu delia” suara firman terdengar serak.
Delia tersenyum sinis
“kau menyayangi orang yang salah. Aku tau kau hanya kasihan padaku.
Mulai sekarang lebih baik jangan pernah temui aku lagi.”
***
Semuanya terlambat… firman terduduk disamping nisan delia. Kemarin orang tua delia
menemukan delia dalam keadaan tak sadarkan diri dengan luka dipergelangan
tangannya. Ia sengaja bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Tapi
sayangnya delia sudah tidak bisa diselamatkan.
kenapa kamu melakukan
ini delia. Kenapa kau tidak memberiku kesempatan untuk mengakui semuanya
firman menatap sebuah surat beramplop biru ditangannya.
Surat yang ditinggalkan delia sebelum mengakhiri hidupnya. Dengan tangan
gemetar ia membuka kertas itu
dear firman,
aku ingin meminta maaf
atas semua kesalahanku kepadamu
semua kata-kata
kasarku
semua keegoisanku
maaf aku harus
mengakhiri hidupku seperti ini
aku tidak sanggup
menanggung semuanya
duduk dikursi roda dan
menjadi cacat
aku harap kau
mengerti…
jauh dilubuk hatiku
aku menyayangimu
tapi jauh dilubuk
hatiku pula aku sangat membencimu
aku terbelenggu oleh dua
perasaan yang bertolak belakang
maaf aku tidak dapat
menunggumu mengakui kesalahanmu
padahal aku ingin sekali
mendengar pengakuanmu bahwa kau yang menabrakku dan menyebabkanku cacat,
sehingga aku bisa
menghapuskan kebencian itu dan sepenuhnya menyayangimu
dihari pertama kita
bertemu ditaman. Aku sudah mempunyai perasaan padamu,
tapi setelah kau
menawarkanku pulang bersama mu dan menunjukkan mobilmu
saat itu pula rasa
benci tumbuh dihatiku
saat tabrakan itu,
sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri
aku melihat jelas
mobil dan plat nomor yang merenggut kebagaiaanku,
dan itu…. mobilmu
tiap kau datang
menemuiku.. aku selalu berharap kau akan mengakui semuanya.
Tapi ternyata semuanya
sia-sia, itulah yang membuatku semakin membencimu dari hari ke hari
Kau pengecut…
Mata firman berkaca-kaca. Pandangannya mulai kabur
Maafkan aku delia,
maafkan aku.. aku terlalu menyayangimu… aku takut kau lebih membenciku kalau
kau tahu yang sebenarnya. Tapi kau seharusnya tau kalau aku pasti akan
mengakuinya..
END-