Sebelumnya,
aku tidak pernah berfikir untuk menulis surat ini. aku bukan seorang penulis
yang pandai merangkai kata. Menyulap sebuah makian menjadi kata yang begitu
indah. Tapi aku sadar bahwa mungkin dengan menulis surat ini. akan sedikit
mengurangi rasa sakit hatiku. Mungkin kalau kau membaca surat ini. kau akan
berfikir bahwa aku pengecut. Aku pria yang terlihat baik-baik saja tapi
menyimpan jutaan rasa sakit yang bahkan tidak akan pernah bisa kau bayangkan.
Tapi
harusnya kau sadar bahwa aku hanya manusia biasa. Mudah merasa sakit saat
tergores luka. Mudah terbakar saat kau sulut api. Bahkan bisa menangis saat
merasakan pedih. Aku nyatanya sudah kehabisan kata untuk memakimu. Aku sudah
terlalu lelah untuk menonjok ataupun menamparmu. Aku sudah ingin menutup
lembaran demi lembaran yang kau torehkan dalam hidupku, juga mantanku yang tak
lain adalah pacarmu. Tapi kenapa terasa begitu sulit.
Aku
hanya ingin mengenang sedikit tentang kita. Tentang persahabatan kita yang
tidak pernah kubayangkan akan berakhir seperti ini. kau ingat saat kita pertama
kali bertemu di bangku sekolah menengah. Kita sama-sama dihukum karena telat. Dan
sejak itu kau dan aku bagai saudara yang begitu sulit terpisahkan. Walaupun berada
di kelas yang berbeda, saat lepas dari jam pelajaran bisa dipastikan dimana ada
aku situ kau selalu beriringan dengaku. Kita bagai dua sejoli yang tidak
terpisahkan. Kita tidak pernah peduli saat banyak orang bilang bahwa kita “homo”.
Kita selalu menutup telinga saat orang bilang bahwa kita aneh dengan segala
tingkah laku kita.
Orangpun
banyak berpikir bagaimana mungkin kita bisa sebegitu dekat padahal kepribadian
kita begitu berbeda. Aku adalah laki-laki pendiam dan cenderung kaku sedangkan
kau adalah laki-laki urakan yang begitu cerewet dan tidak bisa diam. Tapi aku
sadar mungkin perbedaan itulah yang membuat kita bisa saling melengkapi. Kau bisa
membuatku menjadi sosok yang tak kalah cerewet denganmu yang akhirnya membuatmu
diam tanpa suara.
Kau
ingat saat pertama kali kau jatuh cinta? Saat kita kelas 2 SMA. Yaah.. tuhan
begitu baik membiarkan kita masuk ke sekolah menengah atas yang sama. Kau jatuh cinta pada Mila, anak baru yang
menurutmu begitu lucu. Gadis berkuncir kuda dengan kacamata yang selalu
membingkai mata indahnya. Iya, kau yang nyatanya begitu pandai bergaul pun Nampak
mati kutu saat bertemu dengannya. Kau hanya berani sesekali meliriknya di
kantin dan melempar senyum kecut saat berpapasan dengannya.
Hingga
akhirnya kau mengandalkanku yang kebetulan satu eskul dengannya. Aku yang
notabenya kurang pandai bergaulpun harus mulai memberanikan diri untuk
membantumu. Mulai dari mengobrol dengannya sampai akhirnya mengenalkan kalian. Meminta
berbagai macam media sosialnya hanya agar kau bisa mengetahui lebih dalam
tentangnya. Tentang perasaannya setiap hari, makanan kesukaannya, film favoritnya
hingga foto-foto di akun media sosialnya.
Hey
sahabat… kau ingat saat kau menelponku jam 2 pagi hanya karena kau tidak bisa
tidur karena habis bertelpon ria dengannya. Kau ingat saat pagi buta di hari
minggu kau sudah menggugah tidur nyenyakku hanya untuk membantumu memilih
pakaian yang cocok untuk jalan dengannya. Kalau kau lupa dengan yang itu, kau
harus ingat yang ini. ingat saat hujan deras dan kau meminta tolong untuk membelikan
sekotak cokelat untuk Mila yang saat itu ngambek karena kau telat menjemputnya.
Iya.. saat itu hujan deras dan demi kau, sahabatku, aku rela melaju dengan
sepeda motorku menuju kafé tempat kalian berada. Sebagian tubuhku basah karena
jas hujanku nyaris tidak berfungsi dibawah hujan yang begitu derasnya. Dengan keadaan
setengah kuyub kau menemuiku hanya untuk mengambil cokelat itu dariku dan
memberikannya pada pacarmu.
Aku
bukannya ingin mengungkit apa yang sudah aku lakukan padamu. Pada kenyataannya
kau juga begitu baik padaku. Ingat saat aku kesulitan mengerjakan tugas melukis
dari guru kesenianku. Kaulah yang malam itu begadang mencoret-coretkan cat air
di kanvas. Kau masih terjaga bahkan saat aku sudah terlelap tidur. Ingat saat
aku terlibat pertengkaran dengan anak sekolah lain yang kalah saat bermain
basket denganku. Kaulah orang pertama yang maju. Tidak peduli bahwa mereka
beramai-ramai dan kita hanya berdua. Kau yang punya keahlian bela diripun tidak
luput dari luka memar akibat tertonjok.
Hingga
kita lulus dan masuk di kampus yang sama. Semuanya masih begitu indah. Kita mulai
berbagi semua-muanya. Kita berbagi kamar, berbagi lemari, berbagi makan bahkan
berbagi pakaian. yaah.. kita memang akhirnya memilih menjadi lebih mandiri
dengan kost digang dekat kampus. Kau mungkin tidak akan melupakan bagaimana
kita berjuang mati-matian menghemat uang jajan agar bisa sampai akhir bulan. Membatasi
setiap pengeluaran agar tidak perlu meminta uang saku kepada orang tua di
pertengahan bulan. Kau ingat saat kita makan sepiring berdua?? Lucu kala
mengingat bagaimana kita dulu begitu solid. Aku bahkan rela memberikan uang
simpananku untuk membantumu membayar uang semester kala orangtuanmu telat
mengirimimu uang. Sekali lagi, aku bukannya ingin mengungkit kebaikanku padamu.
Hanya ingin kita sama mengingat bagaimana kita, yang dulu begitu dekat bisa
menjadi seperti dua orang yang tak saling kenal. Kita dulu yang selalu
beriringan bisa menjadi bersebrangan. Sulit dipercaya kalau hidup bisa berbalik
secepat itu.
Kau
ingat saat kau meluapkan emosi padaku saat putus dengan Mila. Hubungan kalian
yang sudah bertahun-tahun harus kandas begitu saja. Sahabat, apakah kau tau
bahwa aku juga merasakan sakit. Bahwa aku bisa merasakan kesedihanmu, bahwa aku
rela kau jadikan pelampiasan kekesalanmu. Aku tetap terduduk diatas ranjangku
kala kau bercerita dengan dada naik turun dan emosi yang terus membuncah. Lalu
kau marah saat aku dengan santainya bilang “sudah, masih banyak wanita diluar
sana yang lebih baik dari dia.” Kau tersulut amarah dan bilang bahwa aku tidak
tau apa-apa soal cinta dan wanita. Aku yang memang belum pernah berpacaran
kembali menjadi sasaran kekesalanmu. Aku sadar mungkin kata-katamu benar. Aku memang
tidak mengerti apa-apa soal cinta dan pada akhirnya kau keluar dari kamar
dengan membanting pintu keras-keras. Aku yang semalaman tidak bisa tidur karena
menanti kau belum pulang terus menerus mencoba menguhubungimu dengan ponselku
dan mendapati nomor telponmu tidak aktif.
Kau
tau bahwa tidak sampai disitu sahabat. Tengah malam aku sibuk berkeliling
mengunjungi tempat-tempat nongkrong kita dan berharap menemukanmu disalah satu
tempat, tapi hasilnya nihil. Badanku menggigil menahan dinginnya angin malam
karena tidak membawa jaket saking terburu-burunya. Lalu jam 3 pagi aku kembali
kerumah dan mendapatimu tergeletak didepan rumah dalam keadaan mabuk berat. Aroma
alkohol menguar dari mulutmu dan membuatku ingin muntah, tapi ternyata setelah
aku membawamu masuk justru kau yang muntah.
Paginya
aku bolos kuliah hanya untuk merawatmu yang belum sepenuhnya sadar. Padahal aku ada kuis di dua mata kuliah hari itu. kau terbangun dengan rasa pusing
yang sangat pada kepalamu. Itulah yang kau bilang saat itu. aku mengambilkanmu
air hangat tapi tidak berani berkomentar apapun. Aku takut kau kembali tersulut
amarah dan aku tidak mau kau kehilangan kendali seperti semalam. Tapi sudah
kuduga bahwa kau orang yang begitu baik. Kau meminta maaf padaku atas kejadian
semalam dan saat itulah aku melihat pancaran kehidupan baru dalam bola matamu.
Gairah
hidupmu kembali lagi. Kau kembali menjadi orang yang kukenal dulu. dan pada
akhirnya kaulah yang menjadi saksi pertama kali aku jatuh cinta. Yaahh.. aku
yang kau bilang masih polos kini jatuh cinta. Aku menyukai seorang wanita. Wanita
berambut panjang anak fakultas ekonomi. Aku yang cenderung pemalu kau godok
habis-habisan untuk bisa lebih percaya diri. Kau mengajarkanku cara berkenal
dengan seorang wanita. Aku bingung, dulu aku bisa dekat dengan Mila untuk
mengenalkanmu padanya. Tapi kali ini kenapa terasa begitu sulit. Mungkin ini
juga yang kau rasakan dulu. nyatanya kau yang jelas-jelas pandai bergaulpun
tidak mudah mendekatkan diri pada wanita pujaanmu.
Kau
membenahiku dari segala sudut. Kau mengajariku cara berbicara agar tidak
cenderung kaku. Memperbaiki penampilanku yang terkesan jadul dan akhirnya kau
juga yang menjadi mak comblang buatku. Fania, yaa Fania namanya, kau mendekati
Fania hingga akhirnya mengenalkanku padanya. kau tidak tau bagaimana aku
berterima kasih padamu sahabat. Kau membuat semuanya terlihat mudah kala gayung
bersambut. Aku mulai sering menghabiskan waktuku dengan Fania, kau tidak marah
karena sadar kau juga dulu menghabiskan banyak waktu bersama Mila dan aku tidak
masalah. Kita sama-sama mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta. Kita tidak
pernah berhenti saling support.
Tapi
kini kau punya sahabat baru, Fania tak ubahnya sahabat bagimu. Kita sering
pergi bertiga. Menghabiskan malam minggu bertiga. Mengerjakan hal-hal konyol
bertiga. Aku tidak merasa cemburu karena berfikir bahwa itu adalah hal yang
wajar. Justru aku senang karena kau menerima Fania dengan baik. Sehingga aku
tidak terlalu merasa mengabaikanmu. Bahwa kita masih tetap bersama saat aku
mempunyai kekasih.
Aku tidak pernah
tau kalau itu adalah awal bencana untuk persahabatan kita. Iyaa… persahabatan
kita yang akhirnya menjadi taruhannya. Malam itu, malam saat aku bertengkar
hebat dengan Fania dan Fania memutuskan hubungan. Kau lah yang pertama
mengulurkan tangan kepadaku. Kau merentangkan lenganmu dan memelukku. Mengucapkan
beribu kata bahwa banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik dari Fania dan
aku bisa mendapatkan wanita manapun yang aku mau. Saat itu aku memang tidak
menangis atau meluapkan emosi sepertimu. Tapi kau tau bahwa aku merasakan sakit
yang teramat dalam.
Kau akhirnya menuntunku kembali.
Kau membakar kembali semangatku yang beberapa hari pupus. Aku tidak menyangka
bahwa efek putus cinta bisa sebegitu dahsyatnya. Aku jadi berfikir bahwa dulu
kau menghabiskan malam dengan mabuk-mabukan mungkin wajar karena pada akhirnya
kau lebih cepat pulih dibanding aku yang hanya bisa diam dan tidak berani
mengekspresikan luka itu.
Tapi, saat luka itu perlahan
terobati. Kenapa kau yang membantuku menutup luka itu justru merobek paksa luka
itu bahkan semakin dalam? Aku tidak akan pernah melupakan malam itu. malam
dimana kau berdandan begitu rapi. Kau yang biasanya cuek mendadak menjadi
begitu rapi dan wangi pada saat itu. aku yang melihatmu bahkan sempat menggoda
mu dan mengira mungkin kau sedang jatuh cinta lagi. Tapi kau tidak bersikap
seperti biasa. Kau terkesan menyembunyikan sesuatu. Kau menjawab pertanyaanku
hanya dengan sepotong senyum kecut yang sulit aku artikan. Kau keluar dari
kamar dengan setangkai mawar yang kau sembunyikan di laci meja belajarmu. Lalu pergi
begitu saat tanpa pamit.
Aku yang entah
kenapa mempunyai firasat tidak enak langsung membuntutimu dari belakang. dan
saat itulah aku merasakan langit seakan runtuh didepan mataku. Kakiku terasa
tidak memijak tanah kala dari kaca sebuah kafe aku melihatmu tersenyum pada
Fania, mencium keningnya dan memberikan mawar itu padanya. berulang kali aku
mengucek mataku dan berfikir bahwa aku salah liat, tapi sosok Fania terasa
semakin nyata. Yaa.. itu Fania, aku tidak mungkin tidak mengenalinya walau kami
sudah tidak bersama.
Aku langsung
berfikir apa kau pikirkan saat itu sobat? Apa kau terpikir akan aku saat kau
tersenyum dan mencium kening wanita itu? heeyy.. wanita itu mantan kekasihku dan kau sahabat
terbaikku. Bagaimana mungkin kau melakukan itu padaku? Dadaku terus berdentum-dentum
keras kala melihat kau asik bercanda dengannya. Apa kau alasan wanita itu
memutuskan hubungan denganku. Oohh aku harap tidak. Sungguh aku tidak bisa menerima
kenyataan itu.
Malam itu kau
pulang dengan senyum sumringah. Aku berusaha bertanya dan luka itu terasa
menggores lebih dalam kala kau sekali lagi hanya menjawab dengan senyum tanpa
dosa itu. berhari-hari aku menyembunyikan luka itu dan berusaha bersikap
sebiasa mungkin denganmu tapi ternyata kau yang lebih banyak berubah. Kau lebih
sering membatalkan janji nongkrong denganku. Kau sering menghilang tanpa jejak.
Bahkan kau jadi lebih sulit dihubungi. Apa karena Fania?
Aku tidak tau
apa yang lebih menyakitkan dari ini. dari kenyataan bahwa sahabat terbaikku
sekarang menjadi pacar dari mantanku. Dan mungkin dia adalah alasan kenapa Fania memutuskanku. Hari itu. aku memberanikan diri bertemu dengan Fania. Aku terpaksa
menunggu wanita itu didepan kelasnya Karena ia sama sekali menolak bertemu
denganku.
Kau tau sobat
apa yang aku rasakan saat itu? saat aku mendengar dari telingaku sendiri bahwa
mantan pacarku, mencintaimu. Mencintai sahabatku dan yang lebih parah, kau tega
menjadikannya pacar saat dia menjadi milikku. Kau tau apa yang lebih sakit dari
itu? kau adalah alasannya sobat. Kau adalah alasan kenapa ia memutuskan
hubungannya denganku. Dia akhirnya memilihmu atau mungkin kau yang menyuruhnya
memilih?
Aku yakin kau
tidak tau bagaimana sakitnya karena itu tidak akan ada dalam pikiranmu. Yaa..
jangankan kau, akupun tidak pernah berfikir bahwa kejadian ini akan aku alami. Luka
yang kau buat, yang bahkan belum sempat terobati kini malah kau siram dengan
air garam. Seandainya ada kata diatas kata “SAKIT HATI” mungkin itu yang pantas
aku sandang. Bagaimana mungkin kau tega melakukan itu padaku kawan? Apakah persahabatan
kita tidak ada harganya buatmu? Adakah sedikit terlintas wajahku saat kau berdua
dengannya. Adakah kau teringat bagaimana aku bilang bahwa aku sangat
menyayanginya? Tidakkah kau berfikir bagaimana perasaanku saat mengetahui ini
semua?
Dan kini setelah
malam itu aku mengepaki barang-barangku sehabis membongkar hubunganmu dengan mantanku. Aku masih
saja sering teringat denganmu. Aku tau bahwa maaf yang kau ucapkan malam itu
belum bisa aku jawab bahkan sampai detik ini. bukannya aku tidak pemaaf. Aku hanya
butuh waktu untuk melupakan semuanya. Melupakan tiap inci goresan luka yang
kalian buat. Mungkin kau akan bilang aku berlebihan, bahwasanya hal seperti ini
sering juga terjadi pada yang lain. Tapi nyatanya kau mungkin tidak akan pernah
terfikir bagaimana kalau kau ada di posisiku.
Aku tidak
berharap kau membaca surat ini. aku hanya ingin kau tau bahwa aku masih sering
merindukanmu sobat. Merindukan persahabatan kita. Apakah kau juga sama? Atau mungkin
kau sudah sibuk dengan yang lainnya. Nanti, disaat rasa sakit hati itu memudar,
kala goresan luka itu menghilang, kala aku bisa mengingatmu tanpa merasakan
sakit. Saat itulah aku akan menemuimu. Aku akan berdiri didepan rumahmu, rumah
kita dulu, aku akan berdiri disana, merentangkan lenganku lebar-lebar dan
berkata “kau tetap sahabat terbaikku.”