Hasby
menjatuhkan diri dikursi kayu didepan kanvasnya dan mengernyit merasakan sakit
ditulang belakangnya yang menyentuh bangku kayu cukup keras. Luapan amarah
masih bergemuruh dihatinya. pikirannya masih dilingkupi oleh hawa panas yang
terasa membakar otaknya. Berani-beraninya
dia . ia menarik nafas panjang saat merasakan butir-butir peluh membasahi
wajahnya. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
Sebelumnya
belum pernah ada orang yang mengusiknya seperti anak baru itu. ia berjanji
tidak akan pernah membiarkan anak baru itu mengganggu hidupnya lagi. Setelah
nafasnya mulai beraturan ia melirik ke kanvasnya. Menatap sosok gadis cantik
yang begitu sempurna. Wajahnya, senyumnya, suarannya, wanginya, masih begitu
melekat dalam ingatan hasby. Begitu hangat hingga akhirnya matanya menyalang
tajam. Ia menekan kepalan tangannya ke kanvas itu hingga menembus kanvas itu,
tidak cukup sekali ia melakukan berulang kali hingga kanvas itu hancur tak
bersisa. Ia berdiri dari kursinya dan menendang penyanggah kanvasnya hingga
terjatuh kelantai. Ia menelan ludah dan menarik nafas sebentar lalu menguatkan
hati untuk pergi dari ruangan itu. meninggalkan lukisan itu dengan keadaan
mengenaskan. Lukisan yang ia buat selama berminggu-minggu. Lukisan yang sudah
begitu banyak menguras waktunya. Dan sekarang ia hancurkan begitu saja.
***
Siska
menengguk air mineral yang langsung dibelinya saat sampai dikantin, sedangkan
sita hanya diam sambil memegangi pergelangan tangannya yang memerah. “sorry ya
ta, gue ga tau kalo ada hasby disana.” kata siska saat berhasil menghabiskan
setengah botol dan langsung menatap sita penuh penyesalan. “cewe yang tadi
siapa ya sis?” sita bertanya sambil berfikir mencoba mengacuhkan permohonan
maaf siska.
“waah…
bener-bener lo ya. Udah dibentak-bentak gitu. Masih aja bisa penasaran.” Siska
mengerutkan kening sambil geleng-geleng kepala. Mencoba mencari akal supaya
sita tidak lagi berurusan dengan hasby.
“siapapun
dia, gue ga peduli dan sebaiknya lo juga ga peduli. Lo liat kan ta gimana
marahnya hasby tadi?” siska sekali lagi berusaha mengingatkan sita bagaimana
amarah hasby tadi. Sita menatap siska sambil tersenyum. Dan lagi-lagi membuat
siska menaikkan alis.
“menurut
lo lukisan hasby tadi itu sosok nyata atau Cuma imajinasi dia aja?”
“lo
bener-bener suka sama dia ya ta?” siska melirik pergelangan tangan sita yang
memar akibat cengkraman hasby beberapa menit lalu.
“gue
ga papa kok sis.” Katanya mencoba meyakinkan siska kalau memar ditangannya sama
sekali bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan walau sebenarnya ia membohongi
siska. Cengkraman hasby tidak hanya membuat pergelangan tangannya merah tapi
juga meninggalkan rasa nyeri disana. saraf-sarafnya menegang sehingga terasa
sakit kalau digerakkan.
“jawab
pertanyaan gue ta, lo suka sama hasby?” siska menatap mata sita dalam-dalam.
Mencoba mencari kebenaran disana. dengan acuh sita mengangkat bahu lalu
beranjak untuk membeli minum. ia kembali dan langsung menyeruput soft drinknya
hingga tersisa setengah.
“gue
kan udah pernah jawab.” Sita menatap pandangan siska dengan skeptis.
“penasaran?
dan masih penasaran setelah liat dia marah kaya gitu?” sekali lagi ia melirik
pergelangan tangan sita dan secepat itu juga sita menutupinya dengan tangan
yang satunya.
***
Hasby
membuka pintu kamarnya dan menimbulkan bunyi berderit cukup keras. Ia melempar
tas keatas meja belajarnya lalu menjatuhkan diri ke ranjang bersprei berwana
putih itu dengan sepatu yang masih menghiasi kakinya. Pikirannya melayang ke
kejadian tadi pagi. Dan seketika itu juga api amarah terasa membakar seluruh
tubuhnya. Diingatnya wajah sita yang berbinar penuh keingin tahuan saat melihat
lukisannya.
Tok..tok..tok… suara itu berhasil membuyarkan pikirannya.
Setelah mendengar suara mamanya ia menyahut dan mempersilahkan masuk. Setelah
pintu terbuka ia mendudukkan diri di ranjangnya sambil menatap wanita muda
masuk ke kamarnya.
“kamu
baru pulang?” mamanya duduk disamping ranjang dan menatap wajah tampan anaknya.
Hasby mengangguk sambil membuka blazer sekolahnya dan menyampirkannya ke kursi
belajar yang tak jauh dari sana dengan sembarang.
“tadi
di mall mama ketemu vi….” Hasby berdehem cukup keras sebelum mamanya berhasil
menyelesaikan kata-katanya. Seakan ia tidak mau nama itu terdengar olehnya. Air
muka hasby langsung berubah ,Tapi ia hanya diam, tidak mengatakan sepatah kata
pun.
“kamu
udah ngelupain dia kan sayang?” hasby sebenarnya ingin berteriak tidak… ia
masih mencintai dan menyayangi wanita itu, ia masih berharap semuanya bisa
kembali seperti dulu, tapi akhirnya ia menarik nafas panjang dan mengangguk
dengan mantap. Mencoba meyakinkan mamanya kalau ia baik-baik saja.
“hasby baik-baik aja ma.” Katanya
lagi saat mendapati tatapan mata mamanya yang masih diliputi keraguan. Mungkin
ia memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari mamanya tapi ia tidak mau
melihat mamanya terlalu mengkhawatirkannya. Toh, ini Cuma masalah anak muda
biasa dan mungkin dirinya yang terlalu melebih-lebihkan.
***
Sita memberanikan diri membuka gagang
pintu putih itu. setelah terbuka bau khas langsung menyengat hidungnya. Ia
menatap keindahan yang terlihat disekelilingnya. Perpaduan warna yang begitu
cantik. Ia mengelilingi ruangan itu, menelik satu-persatu lukisan yang ada
disana. mulai dari yang terpajang didinding sampai yang digeletakkan menyandar
ditembok juga yang masih kokoh dipenyanggah dan menanti untuk diselesaikan.
Semuanya indah tapi bukan itu yang
ia cari. Ia terus mengelilingi ruangan hingga akhirnya matanya berhenti dipojok
ruangan. Kesebuah kanvas yang sudah tak berbentuk dan dibiarkan tergeletak
seperti sampah. Perlahan ia bergerak menghampiri apa yang menjadi objek
tatapannya beberapa detik lalu.
“kenapa ancur begini?” ia mengambil
kepingan kanvas itu agar bisa melihat kembali lukisan hasby. Dan sekali lagi
terpana akan kejeniusan hasby dalam hal yang satu ini. wanita dalam lukisan itu
terasa begitu nyata dan begitu hidup.
***
“wahai pria tampan yang ada didalam,
buruan keluar donk. Gue udah telat nih.” Seorang wanita berteriak nyaring dan
langsung memekakaan telinga hasby yang sedang memasang dasinya didepan cermin.
“berisik banget sih, mobil lo
kemana?” katanya sambil menarik bagian segitiga dasinya ke ujung kerah.
“masuk bengkel sayaaaaang. Hadeh..
buruan deh, gue ada kuis pagi ini tau.” Katanya kesal sambil terus
menggedor-gedor pintu kamar hasby.
“iyeeh baweeeel.” Hasby membuka
pintu dan melihat wanita dengan kaos putih dan blazer coklat juga blue jeans.
Sepersekian detik setelah hasby menampakkan diri wanita itu langsung menarik
tangan hasby menuju ruang makan.
“makannya dijalan aja.” Wanita itu
tersenyum kepada mama hasby dan akhirnya tertawa melihat hasby yang menaikkan
sebelah alisnya. “lo pikir gue kuda makan sambil jalan.” Katanya sambil
menyeruput susu hangatnya. “hasby… kalo gue ampe telat gue ga mungkin bisa ikut
kuis. Dosen yang ini tuh killer banget tau.” Katanya was-was sambil menatap
hasby yang terlihat begitu menghayati susu hangatnya seakan sengaja
memperlambatnya. “lo kan bisa naek taxi.” Hasby menaruh gelas kosongnya diatas
meja makan. Dan mulai memilih roti tawar yang ada dimeja makan. “kan ada elo,
ngapain naek taxi. Bareng lo kan ketauan gratis.” Katanya sambil menarik tangan
hasby tepat saat hasby berhasil mengambil dua lembar roti tawar dan siap
memasukkan ke mulutnya. “tante, via duluan yaa.” Teriaknya sambil menjauh dari
ruang makan sedangkan hasby hanya mengikuti arah tangannya sambil berusaha
menelan roti yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya.
“woy, kalo gue mati keselek gimana.”
Katanya setelah sampai digarasi dan dengan susah payah berhasil menelan hingga
melewati tenggorokkannya. Setelah puas mengomel hasby mulai menjalankan
motornya membelah kemacetan ibukota menuju salah satu universitas negeri
dijakarta. “ntar ga usah jemput gue, gue bareng temen gue aja.” Hasby yang
diajak bicara mengerutkan dahi. “idiih.. lagian siapa juga yang jemput lo.
Kerajinan.” Katanya sambil tertawa menampakkan deretan gigi putihnya.
***
Sita mengerutu saat mendapati tinta
pulpennya habis ditengah-tengah ujian fisika. Ia melirik kearah hasby yang
sedang serius dengan lembar jawabannya. Lalu menelan ludah saat mengetahui
kalau hasby tidak mungkin bisa dimintai bantuan. Ia meraih tempat pensilnya dan
mencoba pulpen yang masih ia simpan disana, tapi naasnya semuanya habis. Inilah
kebiasaan buruknya, selalu menyimpan barang yang tidak berguna dan akhirnya
malah menyusahkannya. Ia beralih ke tasnya dan mengorek-orek berharap masih ada
keajaiban disana. tapi akhirnya ia mendengus saat mendapati usahanya nihil.
Sekali lagi ia melirik kearah hasby
dan berfikir tidak ada salahnya mencoba.
“by, boleh pinjem pulpen gak?”
katanya sambil berbisik berusaha tidak mengganggu ketenangan yang sedang
tercipta dikelas itu. tanpa menoleh hasby berkata cepat. “nggak”
Sudah sita duga, selain jutek hasby
juga pelit. “pelit ih.” Katanya refleks dan pelan tapi cukup terdengar jelas
ditelinga hasby. “kalau gue juga Cuma punya satu, gimana gue mau minjemin lo. Mending
lo beli dikoprasi sana, ada dilorong sebelum kantin.” Katanya sambil
mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dan meletakkannya dimeja depan sita. Membuat
sita menaikkan alis. Apa maksudnya niih .
katanya dalam hati.
“makasih atas bantuan materilnya,
tapi gue ga butuh.” Katanya sambil menggeser uang itu kemeja hasby dan beranjak
dari tempat duduknya. Sepanjang perjalanan ke koperasi ia sibuk menggerutu
dalam hati tidak menyangka kalau hasby bisa melakukan tindakan seperti itu. dia pikir gue semiskin itu apa? Setelah sampai
dikoperasi ia membeli setengah lusin pulpen sekaligus untuk cadangan. Juga sebagai
ajang balas dendam pada hasby akibat merendahkannya tadi. Ia tertawa sendiri
membayangkan reaksi hasby nanti. Setelah
mengambil kembalian dari pria paruh bawa penjaga koperasi ia kembali ke kelas
dan langsung melanjutkan ujiannya agar tidak kehilangan banyak waktu. Setelah bel
berbunyi ia lekas maju untuk mengumpulkan lembar ujiannya begitu juga anak-anak
yang lain.
“niih by, buat lo.” Katanya sambil
menaruh tiga buah pulpen dimeja hasby, membuat hasby menoleh dengan tatapan
bingung. “lo kan ga punya pulpen cadangan.” Sita berusaha menjelaskan maksud
dan tujuannya.
“gue emang ga punya pulpen cadangan
tapi gue masih punya cukup uang.” Katanya jutek sambil beranjak dari kursinya,
menghilang entah kemana padahal masih ada satu mata pelajaran lagi sebelum
istiahat.
Sita tersenyum melihat raut wajah
hasby yang terlihat kesal, tidak.. ia sebenarnya ingin tertawa keras. Rasain lo.. emang enak… kutuknya dalam
hati.
Beberapa menit setelah ibu andien
sang guru matematika masuk hasby menyusul dan langsung duduk disampingnya. Sita
masih belum bisa menyembunyikan senyumnya bahkan saat guru itu mulai menjelaskan
angka-angka dipapan tulis ngalor-ngidul.
“sita… are you okay??” sita langsung
menatap wajah bu andien sambil mengangguk pelan. Ia pikir semuanya sudah
selesai tapi ternyata tidak. Bu andien menyuruh sita mengerjakan satu dari tiga
soal dipapan tulis. Mati gue… makinya
dalam hati. Sita tidak bisa dibilang bodoh tapi jujur ia paling benci dengan
pelajaran ini dari dulu. Terus gimana menjawab bahkan sedari tadi ia tidak
pernah tau bu andien menjelaskan apa.
Dengan gemetar ia beranjak dari
kursi dan mengambil spidol dari tangan bu andien lalu menatap papan tulis. Wajahnya
mulai pucat melihat angka-angka dengan pangkat kuadrat dipapan tulis. Perlahan ia
mulai membaca catatan bu andien yang masih ada di papan tulis sebelah kiri
atas, berharap mendapat jawaban dari sana. “siapa yang bisa mengerjakan nomor
dua?” bu andien bersuara kembali dan sama sekali tidak membantu sita.
Sita membulatkan matanya saat
melihat hasby berdiri disampingnya dan dengan sepertinya dengan mudah
mengerjakan soal itu, ia tidak Cuma mengerjakan soal nomer dua tetapi juga soal
nomor tiga. Kerjain soal gue juga dong sita
berteriak dalam hati sambil menampakkan wajah memelas membuat hasby tersenyum
sinis kearahnya. hasby sialan. Sita mengatai
hasby saat mendengar hasby berkata “selamat berjuang” dan dengan enteng
meninggalkan sita yang masih menjadi tontonan gratis semua penghuni kelas. Sita
sempat mendengar ada suara cekikikan yang mungkin mentertawakan kebodohannya.
“sita.” Suara bu andien menyedarkan
sita dari lamunan panjang yang tidak menghasilkan apa-apa. “saya ga ngerti bu.”
Jawabnya jujur. “duduk. Lain kali kalau saya sedang menjelaskan tolong
diperhatikan ya.” Guru itu mengulurkan tangannya dan mengambil spidol dari
tangan sita. Sita tersenyum sambil mengangguk lalu kembali ke mejanya.
“payaah.. soal kaya gitu aja gak
bisa.” Suara hasby membuat sita menoleh dengan geram. Menahan diri untuk tidak
mencolok mata tajam hasby dengan jari-jarinya
***
“pak..pak berhenti pak.” Sita membuka
kaca gelap mobilnya dan terpaku melihat seseorang yang sedang bermain basket
dilapangan belakang sekolah. setelah memberi instruksi supirnya agar pulang
duluan ia turun dari mobil dan menghampiri lapangan basket yang berada ditengan
sebuah taman hijau itu.
Hasby berdiri ditengah-tengah
lapangan dengan sebuah bola besket ditangannya. Beberapa kali ia mencoba
melempar bola oranye itu ke ring tapi gagal. Sita tersenyum “payaah, gitu aja
ga bisa.” Ia setengah berlari dan merebut bola basket dari tangan hasby. Mendribblenya
dua kali dan dalam satu gerakan melemparkan ke ring dan tepat sasaran.
Ia tersenyum puas melihat hasby
hanya menatapnya tanpa ekspresi. “baru bisa maen basket ya? Gitu aja bangga.” Hasby
berjalan kepinggir lapangan. Mengambil ranselnya yang tergeletak disana dan
mulai menjauh dari pandangan sita. Sita masih berada ditengah-tengah lapangan
dan memperhatkan hasby yang mulai menghilang. Ia sama sekali tidak berniat
mengejar laki-laki itu.
untuk
masalah yang satu ini sita bisa dibilang berbakat. Sejak SMP Ia selalu menjadi
anggota tim basket dan kemampuannya dalam memainkan bola oranye itu tidak perlu
diragukan lagi.
Suara
dering handphone mengembalikan sita ke alam nyata. Ia melihat wajah siska
menghiasi layar ponselnya. Dan akhirnya ia baru ingat kalau ia ada janji untuk
pergi ke toko buku. “ta, lo dimana? Gue udah ditoko buku nih.” Siska langsung
menyerocos saat sita mengangkat telpon genggamnya. “gue masih dibelakang
sekolah, gue langsung kesana niih.” Katanya setengah berlari menuju jalan besar
untuk mencari taxi.
***
“ampun deh ya, lo itu naek
odong-odong yaa. Lama amat nyampenya. Gue ama ricky hampir lumutan nih.” Omel siska
saat melihat sita menghampirinya. Sita tertawa melihat siska mengerucutkan
bibirnya. Agak keterlaluan memang, karena sita yang minta diantar siska ke toko
buku tapi malah membiarkan ia dan ricky menunggu lama karena ia tidak bisa
menahan diri untuk mengalihkan pandangannya ke hasby yang sedang asik sendiri
dilapangan basket.
“ricky
mana?” sita melihat kebelakang siska, mencoba mencari keberadaan ricky.
“dia
lagi asik maen di fun world.” Mereka akhirnya masuk kesebuah toko buku di mall
itu. sita berniat membeli beberapa buku yang ia butuhkan untuk sekolah barunya
sedangkan siska malah sibuk ke rak novel.
“ga
usah beli buku banyak-banyak ta, kaya dibaca aja.” Siska menghampiri sita
dengan sebuah tas plastik tempat buku-buku yang akan dibelinya.
“biar
ga dibaca tapi harus punya, lo tau sendiri kalo hasby pelitnya minta ampun.” Siska
terdengar tertawa kecil saat sita menampakkan wajah jengkel saat menyebut nama
hasby.
“heyy..
wanita-wanita rumpi.. udahan belom? Kagak pada inget rumah apa ya?” suara itu
berhasil membuat kedua wanita itu menoleh kearah datangnya suara secara
serempak. Ricky berada tak jauh dari tempat mereka berdiri, seragamnya sudah kusut
dan wajahnya tampak lelah. Seperti anak kecil yang baru saja bermain dikubangan
lumpur.
“Lo
kenapa ky, muka lu kusut amat?” Tanya sita sambil memasukkan buku terakhir ke
tas plastik yang dipegangnya. “kusut juga masih ganteng kan?” ia tertawa lalu
jalan mendekat. “gue abis adu maen basket sama anak orang.” jawabnya polos
sambil mengambil tentengan dari tangan pacarnya. “biar gue tebak. Lo pasti
kalah.” Sita menyahut sambil berjalan duluan menuju kasir. “gue bukannya kalah,
tapi gue ngalah.” Jawabnya penuh percaya diri, tapi sita justru terkekeh
mendengar jawaban ricky.
BERSAMBUNG KE BAB EMPAT