buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Wednesday 20 January 2016

Last Minute



Naya termangu. Wajahnya pias. Ucapan laki-laki didepannya membuat jantungnya seakan berhenti berdetak karena terasa loncat dari tempatnya. Seingatnya ia belum tuli, tapi kenapa laki-laki itu bisa bicara seperti itu? Naya yang semula menunduk mencoba mendongkak dan menatap bola mata cokelat yang kini berkilat hangat ke arahnya. Wajahnya tampak tegang, seakan apa yang akan keluar dari mulutnya begitu berpengaruh untuk hidup laki-laki itu.

“Nay” kata laki-laki itu, membuat sepenuhnya kesadaran Naya kembali terpusat di otak kecilnya. Ia mengambil nafas panjang. Ia rasanya ingin menceburkan diri ke jurang karena malu dan menonjok laki-laki di depannya karena marah. Tapi lebih dari pada itu dia bingung. Bagaimana bisa?

“kamu serius By?” dan Naya meluruh saat melihat Roby mengangguk mantap tanpa ragu.

“Tapi gimana bisa?” Naya merasakan suaranya bergetar. “Kamu selama ini bohongin aku?” dia menggeleng cepat seakan membantah semua yang berkecambuk di pikiran Naya.

“aku...aku...aku Cuma nggak mau kehilangan kamu.”

Naya mengusap wajahnya kasar. Sudah cukup, Roby sudah benar-benar membuatnya marah. Ia ingin sekali manampar wajah tampan dihadapanya, tapi kenapa tangannya terasa begitu kaku. Ia mau menampar, menonjok atau apapun yang bisa membuat wajah tampan itu manjadi tidak berbentuk.

“jawab jujur. Apa kamu serius sama omongan kamu barusan?” Naya mencoba bersabar. Ia menahan diri mati-matian untuk memberondong Roby dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah membuatnya pikirannya sesak sehingga terasa sakit.

“Aku serius Nay, Aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu.”

Naya melihat kilatan kesungguhan dalam binar matanya yang membulat sempurna. “tapi kamu kan gay?” Naya melihat senyum kaku Roby berubah getir. Ini lebih dari bencana. Bukan hanya kenyataan bahawa Roby, laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka belajar berjalan kini menyatakan cinta padanya. Yang lebih menyakitkan buat Naya adalah kenyataan bahwa Roby bukan gay. Padahal saat mereka duduk dikelas satu SMP Roby meyakinkan Naya bahwa dirinya adalah seorang gay tanpa memperdulikan raut wajah Naya yang berubah kaget dengan sebuah kaleng minuman yang hampir dilemparkannya ke arah Roby.

***

“Kenapa nggak bilang sih kalo mau pulang bareng yayan?” Naya yang masuk ke kamarnya tidak heran melihat Roby yang sudah bersantai mesra dengan ranjangnya. Ini memang selalu menjadi kebiasaan mereka. Kalau tidak mengacak-acak kamar Roby ya pasti mengacak-acak kamar Naya. Kedekatan mereka dari kecil karena bertetangga dan ibu mereka bersahabat membuat mereka bebas berkeliaran disemua sudut rumah.

“iyan By, bukan yayan. Ganti-ganti nama orang aja dehh.” Jawabnya sambil melempar tas ke arah ranjang, hampir mengenai Roby dan membuat remaja itu merengut kesal. “iya nggak penting juga sih aku tau namanya.” Katanya sambil membuka majalah yang baru saja dilempar Naya bersamaan dengan ranselnya.

“Hp aku mati. Jadi nggak sempet ngabarin kamu.” Naya masuk ke kamar mandi dan suara air yang mengucur membuat Roby tidak melanjutkan pembicaraan mereka.
Naya bersenandung kecil menikmati guyuran air dari shower yang menghujam kulit telanjangnya.

“udah lama? Udah makan siang belom? Mbak minah masak kan?” kata Naya sambil keluar dari kamar mandi hanya dengan tubuh berbalut handuk dari dada sampai pahanya.

“udah. Abisnya nungguin kamu lama.” Jawabnya sambil memperhatikan naya yang sedang berdiri didepan lemari. Memilah-milah pakaiannya sampai mengeluarkan sepotong tanktop dan hotpant warna cokelat.

“maaf deh.” Katanya tanpa membalik badan dan tanpa pertimbangan apapun melepas handuknya dan memakai pakaiannya. Masih didepan lemari dan membelakangin Roby yang menelan ludah dengan tidak ketara.

Ini memang bukan hal biasa. Semenjak Roby memproklamirkan dirinya sebagai seorang gay. Naya tidak pernah ragu untuk melakukan semua hal yang masuk dalam katagori privasi wanita kepada Roby. Ia merasa tidak punya rahasia apapun dengan sahabatnya itu. Dan yang pasti hanya Naya yang tau kondisi Roby. Tidak ada yang lain bahkan kedua orang tuanya sekalipun

***

“bagusan yang merah apa yang putih By?” Naya yang sedang ada dipusat perbelanjaan itu mengangkat dua buah dalaman dan menunjukkannya pada Roby. “yang merah bagus.” Jawabnya singkat. Ini yang membuat Naya senang. Berteman dengan Roby membuatnya merasa seperti mempunyai sahabat wanita yang satu pikiran. Roby tidak pernah menolak diajak nonton film romantis yang membuat naya akhirnya mewek ditengah-tengah film sampai memilih berbelanja dalaman wanita. Roby sama sekali tidak merasa jengah. Walau pun ya, menurut Naya sayang sekali kalau laki-laki seganteng Roby jadi gay. Dunia kehilangan satu spesis ganteng yang harusnya bisa jadi bahan rebutan gadis-gadis.

***

“Kamu beneran nggak suka cewek By?” tanya Naya suatu kali saat mereka tengah terlentang di hijaunya rumput taman komplek rumah mereka menyaksikan langit yang memerah.

“Kamu tau artinya gay nggak sih Nay? Nggak perlu aku jabarin kayak guru ngejelasin muridnya kan?” Naya menoleh lalu terkikik geli. Menatap mata Roby yang tidak lepas dari hamparan awan yang membentang diatas mereka.

“sayang yah. Cewek-cewek yang ngejar kamu kan banyak. Kalo mereka tau kamu gay pasti bakal ada patah hati masal disekolah kita.” Kali ini Roby melirik Naya melalui ekor matanya dan melihat gadis itu mengukir senyum di bibirnya.

“kamu tau Melani kan By. Dia kan cantik, putih, langsing, kamu nggak naksir juga sama dia?” Naya memperhatian langit yang semakin memerah sementara Roby menghela nafas berat, tapi tidak juga menjawab pertanyaan Naya. Mereka sibuk memperhatian perubahan warna langit hingga sang matahari tenggelam.

“jangan-jangan kamu juga patah hati ya?” tanya Roby saat mereka bangun dari rerumputan. Bersiap untuk pulang.

“iya, aku naksir berat sama kamu By. Tapi sayang cintaku bertepuk sebelah tangan.” Naya tertawa renyah. Seakan apa yang baru saja ia beritahu adalah gosip yang sedang hits ditelevisi. Sedangkan Roby terhenyak ditempatnya

***

Sekelebat ingatan itu muncul di otak Naya. Ia memandang Roby yang menatapnya dengan tatapan begitu sulit di artikan. Bayangan saat ia mengganti baju dengan semena-mena di depan Roby, bayangan saat ia meminta Roby mengantarnya membeli baju dalaman, bayangan saat Ia dan Roby sering tidur siang berdua membuat bulu kuduknya meremang. Bukankah ini buruk. Ia malu bercampur marah. Entah mana yang lebih mendominasi, Naya tidak tau. Yang jelas semua rasa berkecambuk didadanya.

“aku nggak bohong kalo dulu aku bilang aku gay Nay.”

“terus?”

“Aku juga nggak tau. Tiba-tiba rasa itu muncul gitu aja. Aku juga nggak ngerti gimana jelasinnya sama kamu?”

“Sejak kapan?”

Roby mengangkat bahu dengan acuh. “kalau kamu nanya kaya gitu aku juga nggak tau.”

“terus kenapa baru sekarang kamu jujur?”

“karena kalau sejak dulu aku jujur sama kamu, aku takut kehilangan kamu. Aku takut nggak bisa deket lagi sama kamu.”

“ tapi kamu tau kan sekarang akibatnya apa?” Tangis Naya hampir pecah. Roby tidak pernah tau kalau Naya mencintainya. Semenjak Roby bilang bahwa ia gay. Naya berusaha mati-matian untuk mengubur semua perasaannya pada Roby mengingat cintanya tidak akan pernah terbalas. Ini lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kamu cintai mencintai orang lain.
Roby mengangguk lemah. Ia sadar. Tapi bukankah ia memiliki peluang untuk ditolak juga. Bahkan persahabatannya bisa jadi taruhannya kalau sampai Naya menolaknya.

***

Tangis Naya pecah saat para saksi mengatak 'sah' selepas pria berkopiah hitam disampingnya mengucapkan ijab kabul. Ia mendongkak. Memperhatikan guratan bahagia dalam wajah ayahnya. Lalu kesamping. Mencoba tersenyum ke arah pria yang sudah menyematkan cincin di jari manisnya lalu mencium punggung talapak tangannya pelan.
Ia sempat melihat ke sekeliling dan tatapan jatuh pada ibunya yang menangis haru saking bahagianya.
Dia disana. Naya melihat Roby dengan stelan kemaja dan celana bahannya ada di barisan paling ujung. Tatapan mereka bertemu setelah ustad menyelesaikan doanya. Wajahnya muram, senyum yang biasa melekat di bibirnya menghilang entah kemana. Raut wajahnya menyisakan guratan sakit hati terkait pembicaraan mereka kemarin malam. Malam kejujuran Roby sebelum Naya bersanding dengan laki-laki yang dicintainya. Cinta.. Aahh entahlah apa itu cinta. Yang jelas kalau Naya boleh memilih, ia ingin Roby yang menjabat tangan ayahnya dan mengucapkan ijab kabul untuknya. Tapi ia tau bahwa ia terlambat. Mereka semua terlambat.


Bisikan Iblis

  

Thomas tersenyum kepada gadis didepannya. Senang karena hari ini gadis itu terlihat lebih baik dan lebih tenang. “Bawa aku pergi dari sini Thomas. Aku nggak mau tinggal disini. Aku sehat. Aku nggak sakit.” Gadis itu memegang tangan Thomas. Mengusapnya pelan. Mencoba meyakinkan pria didepannya bahwa ia harus segera membawanya keluar dari sini. “Kita akan pulang sama-sama. Nanti ya. Setelah kamu lebih baik.”


Dia tidak menyangimu. Dia itu membencimu. Dia akan membunuhmu suatu saat. Jadi lebih baik kau bunuh dia sebelum dia membunuhmu


Suara itu berdengung. Suara brengsek itu berdengung lagi di telinga Safira. Ia menggeleng lalu menutup kedua telinganya rapat-rapat.
“kau baik-baik saja?” Thomas mengguncang- guncangkan tubuh Safira yang mulai berontak tak terkendali.
Kau itu manusia tidak berguna. Makannya dia menaruhmu disini
TIDAK... safira terus menggeleng dan berontak dari pegangan Thomas.
“Suster...suster.” Tanpa melepas pegangannya, Thomas memanggil perawat yang datang kurang dari sepuluh detik setelah panggilan pertama.
Thomas hanya bisa memandang kala kedua perawat itu berusaha menenangkan Safira. Dokter datang beberapa menit kemudian dan Safira lebih tenang setelah diberi obat.
“apa dia tidak bisa sembuk dok?” tanya Thomas saat Dokter keluar dari kamar Safira. “kemungkinanya sangat kecil. Dia harus bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Dalam kasus lainpun kita hanya bisa meredam, tidak bisa menyembukannya total.” Mereka berpisah tepat didepan ruangan Dr. Deyas. “Thomas. Mungkin kau tau sesuatu yang dia sukai. Hobinya mungkin. Dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannyannya dari penyakit itu.” Thomas terdiam. Dia tidak tau. Sama sekali tidak tau karena ia tidak mengenal Safira dengan baik. Ia hanya salah seorang yang menemukan Safira yang hendak melompat diatas sebuah jembatan.
***
“Apa yang mau kau lakukan?” tanyanya sambil menarik tangan gadis itu turun dari sebuah bangku plastik. Setengah menghempaskan menjauh dari tepi jembatan penyebrangan yang hanya dibatasi oleh tembok sebatas dada orang dewasa. “siapa kau? Pergilah jangan ganggu aku” gadis itu meronta dalam pegangan Thomas hingga akhirnya pegangan itu terlepas. “mau bunuh diri? Apa kau sudah gila Hah?”


Lihat. Dia bilang kau gila. Kau pantas mati. Ayo jatuhkan tubuhmu kebawah sampai kau mati dan tenang.


Safira menangis “aku akan mati. Oke. Aku akan menjatuhkan diriku kebawah sampai aku mati.” Safira tidak sadar mengucapkan kata-kata itu dengan keras sehingga membuat pria didepannya kebingungan. Pria itu kembali menarik tangan safira yang hendak kembali menaiki kursi itu. “lepaskan brengsek. Apa kau tidak dengar? Mereka ingin aku mati. MATI” katanya penuh dengan penekanan.
Thomas kali ini menarik tangan safira turun dari jembatan sekeras apapun gadis itu berontak. Setelah sampai dibawah jembatan ia memandang gadis didepannya. Gadis dengan pakaian yang entah sudah berapa lama tidak diganti. kaus dan jeans lusuh dengan wajah mengenaskan. Gadis itu benar-benar berantakan.
“dimana rumahmu?” tanya Thomas. Ia sudah melepas pegangangannya dan melihat gadis itu beringsut menjauh.


Kau punya musuh baru safira. Mungkin dia orang yang akan membunuhmu. Jadi lebih baik sekarang tabrakan dirimu dijalan.


Safira memandang ke arah jalan raya dimana mobil dan motor berlalu lalang. Cukup kencang dan mungkin ia akan dengan cepat mati kalau menabrakkan diri. Ia melirik ke arah Thomas yang mencoba berbicara kepadanya. Tapi yang ia dengar hanya suara-suara iblis itu. Suara iblis yang sudah menghancurkan hidupnya.
Safira melangkah perlahan. Dan saat Thomas tau apa yang akan gadis itu lakukan ia berlari dan meyambar lengan gadis itu hingga kembali menubruknya. “sebenarnya apa masalahmu?” Thomas masih memeluk tubuh gadis itu yang terasa kaku dan tanpa pikir panjang ia mengiring gadis itu ke mobilnya.
***
Safira membuka mata dan langsung terperajat melihat langit-langit berwarna putih. Ia bangun dan menyadari bahwa ia disebuah kamar. Tidak seperti biasanya dimana Ia akan terbangun dengan menatap lagit-langit sebuah toko ataupun rumah-rumah kosong. Ia terduduk dan menyandarkan punggungnya dikepala ranjang lalu menatap tubuhnya yang sudah berganti pakaian.
Ia menekan pikirannya. Mencoba mengingat apa yang membuatnya bisa ada disini. Laki-laki itu. Ia ingat sekarang. “kau sudah bangun rupanya.” Thomas mendekat, membuat Safira beringsut menjauh. “tenang saja. Aku tidak bermaksud jahat padamu. Dan yang menggantikan pakaianmu adalah pelayanku. Jadi kau tidak perlu khawatir.”
Safira menelan ludah dengan tidak ketara. Lalu menatap pria yang sudah duduk di tepi ranjang itu lekat-lekat. “mandilah, pelayanku akan membawakanmu pakaian. Setelah itu kita sarapan. Kita butuh bicara banyak.” kata pria itu sambil berlalu dari pandangan Safira.
Safira keluar dari kamar mandi dengan sebuah jubah mandi yang ia temukan di lemari kecil didalam kamar mandi. Ia menghampiri ranjangnya dan menemukan sepotong kaus dan celana pendek warna khaki. Ia memakainya lalu keluar dari kamar. Sepi. Rumah itu luas namun sepi seperti tidak berpenghuni. Ia berjalan ke arah kanan, menuruni sebuah tangga berkarpet merah.
“nona sudah ditunggu diruang makan.” seorang pria paruh baya menghampiri Safira yang tengah kebingungan di bawah tangga sambil menunjuk ke sebuah ruangan tak jauh dari tempatnya berdiri.
“duduklah.” Thomas mengisyaratkan agar gadis itu duduk dengan sebelah tangannya. Safira menurut dan aroma harum langsung menguar tepat saat ia duduk dihadapan pria itu. Safira lupa kapan terkahir kali ia makan dengan enak atau bisa disebut makan dengan layak. Semenjak tinggal dijalanan, ia bisa memakan apapun yang bisa ia makan dari hasil bekerja serabutan sehari-hari.
Diatas meja itu ada berbagai macam masakan. Goreng, tumis berkuah dan semuanya begitu menggugah selera Safira. Safira mulai menggerakan sendok garpunya kala laki-laki itu menaruh nasi dan segala lauk-pauknya diatas piringnya.
“jadi dimana rumahmu?” tanya Thomas saat mereka mengakhiri sarapan mereka. Safira meneguk air minumnya dan diam lalu menyebutkan suatu tempat. “kau serius? Bagaimana bisa? Itu jauh sekali dari sini.” Thomas nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“lalu kenapa kau bisa ada disini? Dan kenapa kau ingin bunuh diri?” Safira melihat mata Laki-laki didepannya. Menyadari bahwa ada pancaran keingintahuan disana.
“aku kabur dari rumah.” jawabnya pelan. “kenapa?”
“karena mereka semua ingin membunuhku.”
Thomas mengerutkan dahi dan mendapati gadis didepannya hanya menunduk. “kenapa seperti itu?” tanyanya lagi. Gadis didepannya masih diam. Cukup lama hingga akhirnya ia mengangkat wajahnya. Bukan untuk menatapnya. Melainkan menatap sebilah pisau buah yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk dan dapat diambilnya dalam satu jangkauan.
Thomas mengikuti arah pandang gadis didepannya dan langsung mengerti. Ia beberapa detik lebih cepat untuk mengambil pisau itu.
“berikan pisau itu padaku.” kata Safira.


Lihat, sebentar lagi dia akan membunuhmu. Ambil pisaunya dan goreskan ke nadimu. Kau lebih baik mati ditangan sendiri daripada mati ditangan orang itu.


Safira bangkit dan berusaha menggapai pisau yang diangkat Thomas tinggi-tinggi. Thomas bersyukur bahwa tinggi badannya bisa dibilang jauh dari gadis didepannya.
“kau sebenarnya kenapa?” Thomas masih mengangkat pisau itu tinggi-tinggi saat Safira tak juga mau menyerah dan terus berjinjit didepannya.
***
Sudah Seminggu sejak ia membawa Safira ke rumahnya tapi ia sama sekali tidak mengerti dengan gadis itu. Ia kadang terlihat normal. Mengobrol seperti biasa tapi terkadang ia mengamuk dan berusaha mencelakai dirinya sendiri. Thomas terpaksa mengosongkan kamarnya dari sesuatu yang tajam. Hanya ada lemari dikamarya karena terakhir kali Safira menghancurkan kaca riasnya dan mencoba melukai dirinya dengan pecahan kaca itu. Ia tidak pernah mengerti apa yang dibicarakan Safira. Kadang ia bilang bahwa ia mendengar suara-suara orang yang sama sekali tidak bisa didengarnya. Hanya safira yang bisa mendengar.
Thomas pernah sekali menanyakan keadaan Safira dengan salah satu teman kampusnya dan teman kampusnya itu menyuruhnya membawa ke psikiater. Dan hari ini ia memang berniat membawa Safira ke psikiater untuk memperjelas keadaan Safira.
“kita mau kemana?” tanya Safira saat Thomas mulai menginjak gasnya dan sedetik kemudian roda berputar. “ke suatu tempat. Aku harapa kau tidak berfikir macam-macam nantinya.”
Safira mengerutkan dahinya dan menatap Thomas yang masih fokus pada jalanan yang tampak lenggang hari ini. Safira bisa dibilang beruntung bertemu dengan Thomas. Laki-laki itu baik. Umurnya hanya terpaut tiga tahun darinya dan sudah duduk dibangku semester akhir. Ia tidak bisa memungkiri bahwa hidupnya belum benar-benar tenang. Hidupnya masih kacau dalam ruang lingkup rumah Thomas yang damai. Suara-suara itu masih sering muncul memekakan telinganya. Mengejeknya, menghasutnya, memanipulasi pikirannya.
Ia mengalami malam-malam yang melelahkan kala suara-suara iblis itu muncul. Ia akan berontak dikamarnya. Menghancurkan semua benda yang ada disekitarnya kala menutup telinganya sama sekali tidak berguna.
“ini rumah temanku. Aku mau mengenalkannya padamu.” Thomas menghela Safira masuk saat Anya muncul dibalik pintu yang diketuknya dan mempersilahkan mereka masuk.
“aku perlu berbicara dengannya. Bisa tinggalkan kami sebentar.” Anya berbicara pada Thomas dan melihat laki-laki itu mengangguk. Safira sempat menggenggam tangan Thomas erat saat pria itu hendak pergi. “dia temanku. Tidak usah takut.”
Thomas tidak pernah tau kalau Safira membenci orang-orang baru yang ditemuinya. Bagaimana kalau suara-suara iblis itu datang lagi dan mempengaruhinya. Setelah kurang lebih lima belas menit mengobrol, Safira baru tahu bahwa Anya adalah seorang psikiter yang masih sahabat dari Thomas. Dia baik, cantik dan begitu lembut. Ia memberikan beberapa pertanyaan pada Safira dan ia menjawabnya dengan jujur. ia bahkan berani menceritakan masa lalunya hingga ia bisa terdampar dirumah Thomas.
***
“dia punya penyakit kejiwaan.” kata Anya keesokan harinya saat bertemu dengan Thomas di salah satu cafe. Mata Thomas membulat tak percaya. “maksudmu dia gila?”
“tidak. dia tidak gila. Dia hanya punya masalah kejiwaan. Dia menderita skizofrenia.” Thomas mengerutkan dahinya, bingung.
“Skizofrenia?”
Skizofrenia itu suatu gangguan kejiwaan kompleks di mana seseorang mengalami kesulitan dalam proses berpikir sehingga menimbulkan halusinasi, delusi, gangguan berpikir dan bicara atau perilaku yang tidak biasa. Karena gejala ini, orang dengan skizofrenia dapat mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain dan mungkin menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan dunia luar.” penjelasan pertama yang dijabarkan Anya tidak juga membuat Thomas mengerti.
“penderita skizofrenia dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda dari orang di sekitar mereka. Mereka bisa mendengar, melihat, mencium bau, merasakan hal yang tidak dialami oleh orang lain. Bisa dibilang halusinasi, misalnya mendengar suara. Mereka mungkin memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan dalam hal yang tidak benar , misalnya bahwa orang membaca pikiran mereka, mengendalikan pikiran mereka atau berencana menyakiti mereka. Ketika dunia mereka kadang-kadang tampak menyimpang akibat halusinasi dan delusi, orang dengan skizofrenia dapat merasa takut, cemas dan bingung. Mereka bisa menjadi begitu kacau sehingga mereka dapat merasa takut sendiri dan juga dapat membuat orang di sekitar mereka takut.”
Thomas mengerti. Penjelasan Anya begitu gamblang dan ia bisa menangkap dengan cepat. “jadi yang dia bilang suara-suara iblis itu tidak benar-benar ada? Hanya halusinasinya saja?”
Anya mengangguk dengan mantap. “tapi biasanya suara-suara apa yang biasanya didengar? Safira selalu ingin bunuh diri.”
“mungkin suara-suara itu mengejeknya. Memberitahu bahwa ia tidak berguna dan lebih baik mengakhiri hidupnya.”
Thomas nyaris tidak percaya ada penyakit semacam itu.
“ini penyakit kompleks Thomas. Banyak juga orang yang mengaku nabi atau tuhan karena suara-suara itu terdengar memujanya sebagai nabi dan tuhan.”
“lalu apa yang harus aku lakukan padanya.”
Anya menyesap minumannya pelan. “Dia perlu obat dan kau yang tau bagaimana kondisi kesehariannya. Kalau memang sudah terlampau parah. Kau bisa membawanya kerumah sakit jiwa. Dia akan ditangani dengan baik disana.”
“Rumah sakit jiwa?” ulangnya. Anya mengangguk. “apa penyakit itu bisa sembuh?”
“kemungkinannya sangat kecil. Tergantung penanganan dan dukungan dari orang sekitarnya.”
“apa bisa aku merawatnya dirumah?”
“bisa. Tapi kau harus ekstra berjaga. Aku akan memberikan obat untuknya tapi kita tidak pernah tau kapan penyakitnya akan kambuh.”
“kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?”
“aku akan menaruhnya dirumah sakit jiwa. Bagaimanapun penyakit ini tidak bisa ditangani oleh orang awam. Safira butuh terapis dan rumah sakit jiwa bisa memberikan apa yang dia butuhkan untuk menekan halusinasinya.”
Thomas menelan ludah. Apa iya dia harus memasukan Safira kerumah sakit jiwa. Selama beberapa hari ini Safira bahkan menjadi teman yang baik untuk Thomas. Ia merasakan rumahnya yang sepi mempunyai sedikit warna. Ia memang tinggal sendiri dirumah itu karena kedua orangtuanya menetap dikota lain. Dulu ia tinggal bersama adiknya, tapi adiknya harus pergi karena sebuah kecelakaan. Kalau adiknya masih hidup mungkin ia seumuran dengan Safira.
“apa dia akan mengerti kalau aku menceritakan penyakitnya?”
“tentu saja. Dia memang punya penyakit kejiwaan Thomas, tapi dia tidak gila. dia sama seperti kita. Mengerti apa yang kita ucapkan. Safira hanya selalu berhalusinasi.”
“ODS -orang dengan Skizofrenia- tidak bisa didominasi. Dia akan susah bergaul dengan orang lain. Mereka bisa saja selalu menyalakan sinyal bahaya untuk orang-orang yang tidak mereka sukai. Mereka tidak akan bisa produktif seperti kita. Mereka perlu penanganan khusus apalagi dalam kasus Safira yang bisa aku golongkan cukup parah.”
***
Safira memandang Thomas dengan bingung. Laki-laki itu tidak pergi ke kempus hari ini. Jadi mereka mengobrol diruang tamu. Thomas juga menaruh laptopnya diatas meja dan menatap Safira ragu.
“kau tau bahwa temanku yang kemarin adalah psikiater?” Safira mengangguk. Masih menatap Thomas yang sepertinya perlu berfikir banyak hanya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata padanya.
“dia bilang kau salah satu pederita skizofrenia.”
“ski...”
“skizofrenia.” kata Thomas lalu mengetikkan kata itu di mesin pencarian google.
Safira mengalihkan perhatiannya dari Thomas ke layar yang ada didepannya. Thomas membuka link wikipedia mengenai Skizofrenia.
Skizofrenia adalah ganguuan mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Keadaan ini pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi, paranoid keyakinan atau pikiran yang salah yang tidak sesuai dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan. Gejala awal biasanya muncul pada saat dewasa muda, dengan prevalensi semasa hidup secara global sekitar 0,3% – 0,7%.Diagnosis didasarkan atas pengamatan perilaku dan pengalaman penderita yang dilaporkan.
Gangguang mental. Kata itu begitu cepat tertangkap diotaknya. Jadi selama ini ia mengalami gangguan mental. Dan apa yang ditulis disana. Halusinasi. Apa yang dimaksud itu adalah suara-suara iblis yang selama ini ia dengar. Apa ia bisa dikatagorikan gila?
“jadi aku mempunyai gangguan mental? Jadi suara-suara itu hanya halusinasiku saja dan tidak benar-benar ada?”
Thomas mengangguk lalu mengelus pundak Safira yang tampak tegang. “tapi, suara-suara itu seperti nyata. Terdengar begitu jelas di telingaku.”
“kau harus bisa mengendalikannya Safira karena kalau tidak....” Thomas menggantungkan kalimatnya. Tidak tega untuk bilang bahwa Safira akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
“apa penyakit ini bisa disembuhkan?”
“kemungkinannya sangat kecil. Tapi kita selalu punya harapan.”
Pikiran Safira melayang ke tahun-tahun yang lalu. Ia ingat bahwa dulu ia anak yang bisa dibilang cerdas. Ia tidak pernah keluar dari peringkat tiga besar dikelasnya. Tapi suara itu datang saat ia baru menginjak semester satu.
Ia kerap mendengar suara-suara yang mengejeknya. Mengatakan bahwa ia tidak berguna, bahwa semua orang membencinya dan ia lebih baik bunuh diri.
Ia ingat malam itu. Ia sedang menonton televisi dan ia mendengar orang didalam televisi itu berkata lantang kepadanya.
Bukankah aku sudah menyuruhmu bunuh diri. Kau tidak layak hidup safira. Tidak ada orang yang mengininkanmu didunia. Bahkan keluargamupun akan membunuhmu suatu saat nanti.
Suara itu begitu jelas seperti sengaja dibisikan ke telinganya. Terus menerus, makin mengejek dan memojokkannya hingga akhirnya ia berteriak. “aku akan bunuh diri oke, kau akan melihatku mati.” ia mengatakan itu keras-keras hingga ia merasa tubuhnya diguncang-guncangkan dan seketika ia sadar bahwa ia sedang berkumpul diruang TV bersama keluarganya.
Ia melihat kedua orangtuanya dan kakak laki-lakinya menatapnya bingung. Berusaha menyadarkannnya. Sejak saat itu hidupnya berubah. Hidupnya tidak baik-baik saja. Hidupnya terbelenggu oleh bisikan-bisikan iblis itu. Bisikan-bisikan itu bisa datang kapan saja dan ia akan langsung menutup telinganya rapat-rapat. ia bahkan sering mengamuk karena suara-suara itu seringkali mendominasi.
Kuliahnya berantakan dan dirumah kedua orangtuanya mulai kebingungan melihat sikapnya. Suara-suara itu makin menjadi-jadi. Menghasutnya. Mengatakan bahwa kedua orangtuanya membencinya dan akan membunuhnya. ia dilingkupi ketakutan hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari rumah.
Berbulan-bulan Safira hidup dijalanan tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi padanya. ia tidak punya tujuan dan yang ia lakukan setiap hari hanyalah berjalan dan berkerja serabutan agar mendapatkan uang untuk makan.
Jangan tanya mengenai suara-suara itu. Suara-suara itu masih terus terdengar bahkan sampai detik ini. Dan sekarang Safira tau penyebabnya. Ia mengalami gangguan mental. Semua pikiran-pikiran buruknya hanya halusinasi dan orang-orang yang selama ini dikirannya jahat mungkin tidak benar-benar jahat.
***
Keadaan Safira membaik karena obat-obatan yang diberikan Anya. Obat antipsikotik itu memberikan pengaruh besar pada Safira. Penyakitnya jarang kambuh dan Thomas sudah berfikir bahwa Safira sudah benar-benar sembuh. Tapi ia salah, saat ia lengah, suara-suara iblis itu kembali menyerang Safira. Lebih besar dari sebelumnya dan Safira yang dalam keadaan seorang diri diruang tamu berhasil menusukkan sebilah kaca ke perutnya.
***
Thomas memandang Safira yang teridur di ranjang rumah sakit. Pikirannya salah. benar kata Anya, Safira tidak mungkin bisa sembuh hanya karena obat-obatan itu. Safira butuh terapi dan tempat dimana ada orang yang dua puluh empat jam bisa menjaganya. RUMAH SAKIT JIWA.
“Thomas.” Suara itu terdengar saat Thomas duduk tertidur dengan sebelah tangan menopang kepalanya dan sebelah tangannya lagi menggengam telapak tangan Safira yang terasa dingin. Sedikit lagi, kalau saja asisten rumah tangganya tidak bergerak cepat. Mungkin Safira sudah kehilangan nywanya.
“kau sudah sadar?” Thomas tersenyum menatap wajah Safira yang pucat dan melihat gadis itu menarik garis bibirnya dengan susah payah. “suara-suara itu kembali Thomas.” katanya dan Thomas bisa merasakan genggaman gadis itu mengerat. Thomas mengusap pucuk kepala Safira. Mencoba menenangkan gadis dihadapannya.
***
Thomas tidak tau bagaimana harus berbicara pada Safira. Apa ia tega harus memasukkan gadis itu kerumah sakit jiwa. RUMAH SAKIT JIWA. Katanya dalam hati. Tempat penderita gangguang mental, orang gila. Hati Thomas tiba-tiba terenyuh. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ini yang terbaik untuk Safira.
“untuk apa kita kesini?” Safira memandang tajam saat mobil Thomas berhasil merangsek diparkiran rumah sakit jiwa itu. “bertemu psikiater untukmu.” katanya, mencoba terlihat tenang. Safira menelan ludah dan keluar dari mobil, mengikuti Thomas.
“aku tidak mau masuk.” Thomas menoleh dan menyadari bahwa Safira masih berdiri didepan mobilnya. Ia menarik nafas berat lalu menghampiri. “tidak apa-apa. Mereka sama seperti Anya, mereka bisa membantumu untuk sembuh.”
Thomas menarik paksa tangan Safira masuk. Melewati lorong-lorong dengan kamar-kamar disisi kanan kirinya hingga akhirnya sampai ke ruangan yang ditujunya. “bawa aku keluar dari sini Thomas.” kata Safira ketakutan. Ia mendengar puluhan langkah kaki menghentak-hentak disekelilingnya. “ayo kita pulang Thomas.” ia mulai menutup telinganya kala suara-suara itu terasa semakin kencang.
Semua terjadi begitu cepat. Petugas itu membawa paksa Safira yang mulai mengamuk ke sebuah kamar dan seorang dokter mengikutinya. Thomas hanya bisa melihat dari jendela. Dokter itu duduk dihadapan Safira yang tampak ketakutan. Gadis itu terus menerus meremas kedua tangannya lalu memandang tajam kearah Dokter yang sejak tadi tersenyum. “kau ada di tangan yang tepat Safira. Dokter Deyas tidak akan mengecewakanku.”
***
sudah tiga bulan Safira tinggal disana dan Thomas semakin optimis setiap harinya. Sepulang kuliah ia selalu menyempatkan diri menemui Safira. Memastikan bahwa Safira dalam keadaan baik dan semakin baik.
“aku membawakanmu kanvas dan cat air.” kata Thomas sambil masuk ke ruangan yang ditinggali gadis itu. Hanya ada ranjang dan sebuah sofa juga meja kayu dan lemari kecil disana. Minimalis tapi Thomas beryukur karena kamar Safira bisa dibilang sangat rapi dan bersih.
Safira melihat cat air dan kuas-kuas yang diletakan Thomas diatas meja lalu beralih ke kanvas dengan penyangga yang ditaruh laki-laki itu di depan jendela kamarnya.
“aku harap kau tidak kesepian. Dokter Deyas bilang kau butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiranmu dari suara-suara itu. Aku melihat beberapa coretanmu di tembok kamar.” katanya sambil tersenyum. Senyum yang selalu dirindukan Safira
“terima kasih.” Safira mengambil tangan Thomas dan menggenggamnya erat. “terima kasih karena kau masih disini. Aku tidak tau apa jadinya kalau kau meninggalkanku.” matanya nanar dan segumpal air mata mulai menggenang dipelupuk matanya.
“aku akan selalu ada untukmu. Aku berjanji.”