buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Friday 15 April 2016

Dia Mawarku (Lembaran Baru)

Mawar terpaku melihat begitu banyak kantung plastik yang Irham bawa hari ini. Jam sudah menjukkan pukul tujuh malam, Irham sampai saat Mawar tengah menghabiskan hari di depan televisi ruang tamu. Melihat kedatangan Irham, Mawar masuk ke dapur dan kembali dengan segelas teh hangat. "Makasih, kamu nggak perlu repot-repot." kata Irham lalu menyesap teh itu pelan. Mereka duduk di ruang tamu. Irham mengeluarkan semua barang belanjaannya.
"Ini pakaian untukmu. Aku harap ukurannya pas." kata Irham. Mawar terhenyak melihat potongan-potongan baju yang di beli Irham. Tidak menyangka Irham akan sebaik ini. Dan dari sekian banyak pakaian yang teronggok di depannya, matanya terpaku pada satu buntelan berbalut tas kecil berwarna putih. Perlahan ia mengambilnya, sebuah mukena.
"Aku berharap kamu membutuhkannya." kata Irham. Karena ia sama sekali tidak tau bahwa Mawar seorang muslim atau bukan. Tapi kalau mengingat dari mana Mawar berasal seharusnya tebakannya tidak salah.
"Apa aku masih pantas menghadapnya?" Mawar melirih dan matanya berkaca-kaca.
"Kenapa?"
"Aku merasa terlalu kotor." Butiran bening itu jatuh. Ia tiba-tiba merindukan ayahnya yang selalu menjadi imam dalam keluarga selepas suara adzan berkumandang.
Irham mendongkak dan menatap Mawar baik-baik. "Allah maha pemaaf. Tidak ada yang sebaik dirinya. Dia menerima semua hambanya. Mantan koruptor, mantan pezinah, bahkan mantan pembunuh sekalipun asal mereka mau bertobat. Ingat, semua pendosa masih punya masa depan layaknya orang suci punya masa lalu. Apa yang bisa di perbaiki hari ini, perbaikilah. Mungkin kamu bisa mulai dengan shalat Isya."
Dada Mawar bergemuruh mendengar kata-kata Irham. Dan butiran bening itu makin deras mengucur dari matanya. Kata-kata Irham mendobrak dinding kesadarannya yang selama ini tertutup rapat. Tapi masih ada yang terasa mengganjal di pikirannya. Ia tidak hanya berasa kotor untuk shalat tapi kadang ia merasa Tuhan begitu jahat karena memberikan cobaan yang bertubi-tubi ke arahnya.
"Aku kadang merasa Tuhan begitu jahat dan tidak adil. Dia memberiku begitu banyak cobaan." katanya sambil tersengal menahan tangis.
"Allah memberikan cobaan karena ia tahu hambanya mampu melewati. Bisa jadi masalah itu pembersih maksiatmu, pencerahan otakmu agar terus mengingat Allah, obat tuli telingamu dari ayat-ayat Allah, pembakar sombongmu dan mungkin ia rindu mendengar munajatmu."
Kata-kata itu bagai mantra yang menyihir Mawar. Ia menatap Irham yang tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca. Perlahan ia merasakan dadanya mengembang dan terasa hangat.
"Kamu tau kenapa kita masih hidup sampai detik ini?" tanya Irham setelah mengahabiskan isi cangkirnya. Mawar menggeleng, ia bukan tidak tahu hanya saja pikirannya belum terkoneksi untuk menjawab pertanyaan tiba-tiba itu. Mawar punya banyak kemungkinan tapi ia tidak siap menjawab kali ini.
"Orang-orang punya banyak jawaban tapi aku cuma punya satu jawaban. Mungkin karena kita masih terlalu banyak dosa sehingga Allah masih memberi kesempatan untuk bertaubat."
Dan sekali lagi Mawar meluruh. Ia mencoba tersenyum kaku ke arah Irham.
***
Mawar tidak pernah tahu apa yang di kerjakan Irham. Pria itu berangkat pagi dan pulang sore hari atau kadang selepas magrib. Dan Mawar tidak punya kegiatan yang harus dilakukannya di rumah itu. Mawar membersihkan rumah itu. Memasak setiap pagi walaupun Irham akan bilang kalau Mawar tidak perlu repot-repot tapi Mawar selalu punya alasan untuk melakukan itu semua. Sampai saat ini Mawar menumpang di rumah itu dan Irham menampungnya tanpa meminta apapun.
Mawar tidak pernah memimpikan akan bertemu dengan sosok Irham. Dia laki-laki tampan, baik, dan yang pasti sosok yang begitu hangat. Mawar sering mendengar laki-laki itu menelpon sampai tengah malam. Ia kadang mendengar laki-laki itu tertawa renyah sampai menceritakan hari-harinya.
"Kau mau keluar?" tanya Irham di hari jumat itu. Mawar terdiam. Sejujurnya ia juga merasa jenuh terus-menerus di dalam rumah. Tapi ia terlalu takut untuk keluar seorang diri. 
***
Mereka tidak pergi jauh. Hanya ke taman kota yang tampak ramai sore itu. Untuk pertama kalinya, Mawar merasakan hawa kebebasan. Mencium bau dedaunan basah yang yang tertiup angin. Begitu lega.
Mereka duduk di bangku dan memegang es krim di masing-masing tangannya. Selama Mawar sibuk dengan es krim seperti anak kecil yang baru saja merasakan dingin, Irham memperhatikan wajah Mawar. Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung dan mata bening. Ia tidak menyangka bahwa gelandangan yang dibawanya beberapa hari yang lalu bisa berubah menjadi sosok Mawar yang tampak menarik. Irham tidak pernah bertanya mengenai umur dan kalau di taksir mawar mungkin masih berusia belasan. Mungkin enam belas atau tujuh belas tahun.
"Besok aku akan kembali ke Jakarta."
Bibir Mawar mengatup rapat secepat kilat. Ia menoleh dan menatap Irham yang juga tengah menatapnya. "Aku di sini hanya liburan."
Mawar masih diam. Ia hanya termangu menatap Irham yang masih sibuk merangkai kata-kata.
"Kau bisa ikut denganku atau tetap tinggal di sini." Irham membuang bungkusan ice creamnya dan kembali menatap Mawar yang masih juga terdiam. Ia bingung bagaimana harus menjawab. Apakah boleh ia memilih satu dari apa yang di tawarkan Irham. Apa ia pantas mendapatkan itu. Ia bahkan tidak mengenal Irham dengan jelas.
"Karena kamu tidak menjawab, sebaiknya kamu ikut ke Jakarta. Aku akan menyekolahkanmu. Berapa umurmu sekarang?"
Mawar berdehem pelan lalu menjawab. "Tujuh belas tahun."
"Tiga SMA?" Mawar mengangguk.
***
Mawar tidak pernah tahu seperti apa rupa kota Jakarta selain dari acara di televisi yang di tontonnya. Apa benar kota itu padat dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Apa benar begitu banyak kejahatan seperti yang ia lihat di berita.
Mereka menggunakan taksi. Mawar sibuk melihat ke luar jendela. Melihat gedung-gedung pencakar langit itu berdiri kokoh. Tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari yang namanya Jakarta. Benar kata orang, jakarta padat dengan kendaraan.
"Kamu tahu nggak kalau tiap hari banyak orang memaki sama kota ini." Mawar menoleh dan menatap Irham.
"Setiap hari orang mengeluh kota ini macet, penuh polusi, panas, penuh copet dan kejahatan lainnya." Irham ikut memandang keluar jendela.
"Tapi sebenci apapun mereka pada Jakarta, mereka tidak akan pernah pergi dari kota ini. Sebagaimanapun rupanya, Jakarta tetap menjadi kota yang akan selalu di rindukan." Mawar mengangguk, mengerti maksud dari kata-kata Irham.
***
Mereka sampai di apartemen. Dan Mawar sedikit terperangah. Apartemen itu mewah, berada di pusat kota di kelilingi bangunan-bangunan tinggi nan kokoh. "Ini apartemen aku, aku jarang ke sini karena aku juga punya rumah. Kamu bisa tinggal di sini." katanya sambil duduk di sofa. Mawar duduk di sebelahnya. Menatap lekat-lekat tiap sudut ruangan.
"Aku harus apa?" kata Mawar bingung.
"Harus apa gimana?" Irham tak kalah bingung.
"Kamu kasih aku tumpangan secara cuma-cuma." Irham terkekeh lalu berkata. "Kamu harus rajin belajar karena aku akan daftarin kamu sekolah." Mata Mawar membulat sempurna. Menatap Irham yang tampam tersenyum. "Kamu serius?" laki-laki itu mengangguk mantap.
"Aku masih kuliah, aku usahakan mampir ke sini kalau sempat. Itu kamarnya. Masih ada beberapa barangku tapi tidak berantakan. Kamu bisa tidur di sana karena itu satu-satunya kamar di sini." Irham menunjuk satu pintu tak jauh dari tempat duduk mereka.
***
Keesokan harinya Irham datang ke apartemen. Membawakan begitu banyak buku bacaan dan alat-alat tulis. "Kamu serius mau sekolahin aku?" hari ini Irham memakai kemeja hitam dengan sebuah ransel berisi laptop. Seperti baru pulang kuliah. "Iya."
"Cuma-cuma?" Mawar masih tidak percaya ada makhluk sebaik Irham.
"Aku cuma punya dua pesen sama kamu. Jangan tinggalin shalat dan belajar yang rajin."
Sejak detik itu, Mawar sadar Mawar menyukai Irham. Entahlah, mungkin sayang karena Irham begitu baik kepadanya.
Mereka menikmati makan malam mereka. Mawar yang memasak sendiri. "Enak." Mawar tersenyum mendengar pujian itu.
Mawar mencuri pandang ke arah Irham yang tengah sibuk dengan sendok garpunya. Menatap garis wajah Irham yang begitu hangat.
"Oia, aku punya sesuatu lagi buat kamu." Irham mengambil ransel di sampingnya dan mengeluarkan kotak yang masih terbungkus plastik. Mawar menerimanya dan menemukan sebuah ponsel di sana.
"Buatku?" Irham mengangguk. "Kalau ada apa-apa beritahu aku." kata Irham.
***
Mawar tidak pernah menyangka kalau dirinya masih punya kesempatan untuk memakai seragam putih abu-abu. Irham benar-benar menyekolahkannya. Ia kembali merasakan bangku sekolah, bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya meskipun ia bisa dibilang tidak mempunyai teman dekat. Sepulang sekolah, saat teman-teman sebayanya meluangkan waktu untuk sekedar jalan-jalan ataupun nonkrong di kafe, Mawar akan memilih langsung kembali ke apartemennya.
"Gimana sekolah kamu hari ini?" Irham menyesap teh yang sudah di sediakan Mawar. "Seperti biasa. Tidak ada yang terlalu menarik." kata Mawar acuh sambil menyendokkan nasi ke piring Irham. Irham terbiasa dengan kehadiran Mawar. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada waktu yang tunggu Mawar selain sore menjelang malam menunggu kehadiran Irham. Tidak ada yang membuat Irham bertahan lama di kampus karena ia selalu menantikan bertemu Mawar untuk mendengarkan cerita Mawar. Keluh kesah gadis itu di sekolahnya. Teman-teman yang menyebalkan, guru yang galak, tugas-tugas yang menumpuk sampai gosip-gosip di sekolahnya.
"Di sekolah ada yang cewek yang namanya Tata, denger-denger dia pacaran sama guru kesenian" cerita Mawar suatu waktu.
"Jangan suka ngegosip." Irham duduk disamping Mawar. Terpaku pada laptop dan tugas-tugas kuliahnya. Mawar yang juga sedang mengerjakan tugas berhenti sebentar. "Tapi aku liat sendiri mereka suka pulang bareng."
"Mungkin mereka emang pacaran."
"Masalahnya, guru keseniannya itu udah punya istri, baru nikah sebulan yang lalu." Irham yang sedang mengetikan jari-jarinya di keyboard berhenti dan menoleh. "Belajar yang bener ah kamu.. Jangan ghibah, nggak baik." Mawar mengerucutkan bibirnya lalu kembali ke buku yang ada didepannya tepat saat suara ponsel menggema. Irham merogoh saku celananya, melihat nama di layar lalu masuk ke dalam kamar. Menjauhi Mawar. Mawar hanya mengangkat bahu, hal seperti itu sering terjadi. Di mana Irham akan mengangkat pangilan dan berusaha agar Mawar tidak mendengarnya.
Mawar melirik laptop Irham yang menampilkan screen Irham dan seorang gadia cantik. Putih dengan rambut panjang yang menjuntai melewati bahu. Tiba-tiba hatinya terasa nyeri hingga ia sadar, ia mencintai Irham.

Monday 4 April 2016

Dia Mawarku (Bayang-bayang kelam)

Surabaya, 24 maret 2009
Hujan deras mengguyur kota Surabaya siang itu. Disaat orang-orang sibuk meringkuk mencari kehangatan di hari minggu. Seorang gadis meringkuk di depan sebuah toko yang sudah bertahun-tahun tidak di tempati. Ia menggigil memeluk dirinya sendiri. Mengamati telapak tangannya yang sudah mulai keriput karena kedinginan.
Suara gemelutuk giginya mengiringi rintik hujan yang semakin deras. Ia menatap langit yang tampak muram. Gelap dengan angin yang menghempaskan dahan pohon ke kiri dan ke kanan.
Ia membenamkan wajahnya di lipatan lututnya. Dengan rasa lapar yang meliliti perutnya. Ia menarik napas panjang, berdoa agar udara yang memasuk ke paru-parunya juga masuk keperutnya untuk memberi efek kenyang.
Suara deru mobil yang memekik di depannya membuatnya menengadahkan kepalanya. Sebuah mobil sport berhenti di depannya. Membuat air genangan di pinggir jalan menciprat ke samping.
Seorang pemuda keluar. Berlari kecil lalu meneduh di atap yang sama dengan gadis itu. Ia merogoh ponselnya yang berbunyi.
"Iya, gue tunggu di jalan yang waktu itu mobil gue mogok." katanya lalu mematikan panggilan. Ia duduk di kursi yang ada di sana, tidak menyadari ada seorang gadis meringkuk kelaparan di belakangnya.
Ia menaruh ponsel di samping lalu mengeluarkan rokok dari saku celananya. Memantik api dari korek dan membuat ujung benda panjang itu terbakar.
Asap mengepul di sekelilingnya. Ia asik memainkan rokok hingga sebuah mobil berhenti di depannya.
"Nih." kata pria yang baru saja turun dari mobil dan menghampiri si perokok. Ia menyerahkan sebuah laptop yang langsung berpindah tangan. "Thanks ya. Gue males mau balik lagi." katanya sambil tersenyum. "Udah kan? Gue langsung balik ya." katanya. "Iya, gue ngabisin rokok dulu." katanya sambil melambaikan tangan ke sahabatnya yang sudah masuk ke dalam mobil.
Gadis lusuh itu memicingkan matanya. Melihat pria itu asik memainkan asap dari rokoknya. Setelah hampir habis, pria itu menjatuhkan rokoknya asal lalu menginjaknya dan beranjak dari bangku.
"Ponselmu." katanya lirih. Membuat pria itu berbalik dan menatap ponselnya yang masih ada di atas bangku. Ia melirik sekeliling, dia tidak mungkin salah dengar. Ia mendengar seseorang barusan.
Ia mengambil ponselnya dan sekali lagi melirik sekeliling hingga akhirnya matanya terpaku pada seseorang yang ada di pojok. Dengan rambut acak-acakan ia bisa melihat bahwa gadis itu meliriknya.
Kalau biasanya orang akan langsung pergi menjauh saat melihat sosoknya yang lusuh menyerupai orang gila, Irham justru memberanikan diri mendekat.
"Kau baik-baik saja?" Irham mendekat lalu Menyentuhkan punggung telapak tangannya pada si gadis yang tampak pucat dan acak-acakan. Suhu badan gadis itu panas dengan rintihan kesakitan dan terdengar mengiris hati.
"Aku lapar." Setelah susah payah, kata itu berhasil meluncur mulus dari mulut kecilnya. Irham menuju mobil dan kembali dengan sepotong roti dan air mineral.
"Ini." Roti dan air mineral itu berpindah tangan. Ia menatap si pria yang tersenyum lalu mengangguk. Dengan tangan gemetaran, ia membuka plastik pembungkus roti dan gagal. Tangannya terlalu lemah dan gemetaran karena menahan lapar.
Irham mengambil kembali roti itu dan membukakan pembungkusnya. Merobek roti menjadi potongan kecil dan menyuruh gadis itu membuka mulutnya. Gadis itu mengunyah dengan sangat pelan. Hingga akhirnya roti di tangan Irham habis. Ia memberikan botol minuman itu dan membiarkan gadis itu meneguknya pelan.
"Kamu, kenapa ada di sini? Di mana rumahmu?" Irham tidak sadar sudah menempelkan bokongnya ke lantai dan duduk menghadap gadis itu.
Gadis itu menggeleng lalu dengan lemah berujar "Terima kasih."
"Sama-sama. Kau tidak punya rumah?" Gadis itu menggeleng. "Keluarga?" Gadis itu sekali lagi menggeleng. Masih mendekap lututnya dengan erat.
***
"Mawar." katanya saat mereka sudah berada di rumah Irham. Irham sudah menyuruh gadis itu membersihkan diri dan kini gadis itu menanggalkan kaus dan celana lusuhnya dan menggantinya dengan kemeja Irham yang kebesaran dan celana kanvasnya.
"Kau, tidak punya keluarga?" Mawar menggeleng pelan. Irham yang risih melihat rambut mawar yang masih basah mengambil sisir di laci dan memberikannya pada Mawar. Gadis itu mengambil sisir dan menyisir rambutnya.
Irham memperhatikan wajah Mawar yang tampak bersih. Tidak terlihat lagi coreng-coreng hitam yang sebelumnya menghiasi wajahnya yang entah berasal dari mana.
"Kau sakit. Kita harus ke dokter." kata Irham. Mawar menggeleng pelan lalu matanya menyapu sekeliling. Memperhatikan rumah Irham baik-baik.
"Kalau begitu aku akan memanggil dokter." Irham meraih ponselnya dan menghubungi dokter.
"Terima kasih." kata Mawar sekali lagi.
***
Irham tengah mengantar dokter yang baru saja memeriksa Mawar sampai ke depan rumahnya . "Jangan lupa rutin minum obat dan vitaminnya. Juga obat penenang untuk depresinya." kata sang dokter. Sebelum kembali ke dalam ia pergi menuju apotik terdekat untuk menebus obat.
Mawar menggigil dan meringkuk di bawah selimut. Giginya memelutuk menahan badannya yang terasa sakit. Irham masuk dan membawakan semangkuk bubur dan obat yang baru saja ia beli.
"Makanlah, habis itu minum obat." Mangkuk itu di taruh di atas nakas sementara ia membantu Mawar untuk terduduk. Mawar masih menatap Irham yang tengah menutup tirai di kamar itu. Di luar hujan turun lagi. Seperti hari-hari kemarin. Cuaca sedang tidak bersahabat termasuk dengan Mawar minggu-minggu kemarin.
"Biar ku bantu." Irham melihat Mawar yang kesulitan mengambil mangkuk lalu membantu menyuapan sendok demi sendok ke mulut kecilnya.
"Kau berasal dari mana?" tanya Irham. Ia penasaran dan ia sendiri bingung apa yang membuatnya begitu kasihan pada Mawar sehingga memutuskan untuk membawanya ke rumah.
"Aceh." Jawabnya pelan dan Irham hanya menatapnya tidak percaya. "Aceh? Lalu, kenapa bisa ada di sini?"
Semua pikiran buruk berkelebat dalam otak Mawar. Menimbulkan nyeri yang membuat kepalanya sakit.
"Kau bisa bercerita nanti." Irham mengambil butir-butir obat lalu menyerahkannya pada Mawar. "Istirahatlah." Irham menarik selimut hingga lehernya.
***
Sudah dua hari ia tergeletak di ranjang itu. Pria itu kadang pergi pagi-pagi sekali dan kembali sore hari. Mereka jarang terlibat obrolan tapi pria itu percaya bahwa Mawar tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Pria itu bahkan sering berpesan 'Aku akan mengunci pintu dan jangan bukakan siapapun yang mengetuk' saat ia pergi.
Mawar tidak tau ia berada pada orang yang salah atau benar.
Tapi saat Mawar keluar kamar dan melihat ke kamar pria itu yang tidak tertutup lalu melihat pria itu bersujud di atas sajadah, ia sadar bahwa ia berada dengan orang yang tepat.
Mawar masih berada di sana saat pria itu berada di akhir sholatnya lalu membaca doa sambil menengadahkan tangannya.
Air matanya menetes, merasa merindukan menghadap sang pencipta. Tapi apakah Tuhan masih ingin di temui olehnya.
"Hei, bagaimana keadaanmu?" Pria itu berbalik sambil melipat sajadahnya dan menghampiri Mawar yang berdiri di depan kamarnya.
***
Untuk pertama kalinya mereka duduk berdua di ruang makan. Menyelesaikan makan malam mereka dalam diam. Mawar mencuri pandang pada sosok tampan di depannya.
"Aku harap kamu cukup sehat untuk bercerita." Irham menengguk air di gelasnya hingga tandas.
Mawar terdiam lalu menarik napas panjang.
"Aku berasal dari Aceh." katanya membuka ceritanya. "Keluargaku meninggal dalam bencana tsunami 2004 yang lalu."
Irham menumpukkan kedua tangannya di atas meja memperhatikan gerak Mawar yang tampak gelisah.
"Satu tahun yang lalu aku dijanjikan pekerjaan di Jakarta." Irham bisa melihat air muka Mawar berubah getir. "Tapi aku malah masuk dalam jaringan perdagangan manusia."
Mawar tidak akan melupakan kejadian itu. Saat ia dan belasan gadis sebayanya di sekap dalam ruang pekat tanpa celah untuk melarikan diri selama berminggu- minggu. Ia diberi makan seadanya, bahkan sering mendapat perlakuan kasar saat mencoba melarikan diri. Mawar pernah merasakan dinginnya belati menggores lehernya saat ia mencoba melarikan diri.
Malam itu setelah mereka dibayang-bayangi ketakutan. Mimpi itu menjadi kenyataan. Ia dan yang lainnya di bawa ke bar untuk menemani pria hidung belang. Mereka secara paksa di bawa ke hotel oleh orang yang bersedia membeli tubuh mereka selama satu malam.
Mawar tidak tahu bagaimana nasib tamannya yang lain karena ia sendiri sudah terlalu takut memikirkan nasibnya. Ia di perkosa secara brutal oleh seorang pemuda berumur sekitar dua limaan karena tidak mau melayaninya dengan baik.
Pria itu tidak segan mencakar lengan Mawar saat Mawar berusaha menghindari sentuhannya dan yang paling menyakitkan adalah, pria itu meludahinya setelah berhasil mengambil keperawanan Mawar. Menyadarkanya bahwa ia benar-benar manusia tidak berguna.
Sejak saat itu kehidupan Mawar selalu dihantui mimpi buruk. Mereka kembali di sekap selama berminggu-minggu dan saat itu, saat ia mendengar bahwa mereka semua akan di bawa ke Jakarta lalu ke luar negeri. Mawar memutuskan untuk mengambil tindakan nekat. Ia kabur saat pria-pria berbadan besar yang selalu menjaga mereka kembali membawa mereka ke bar untuk kedua kalinya.
Saat turun dari mobil. Mawar ada dibarisan paling belakang dijaga oleh seorang pria berbadan tegap yang tampak sangar. Dan dengan keberanian penuh. Ia mencoba lari walau tangannya langsung dengan mudah di gapai oleh si pria. Mawar menggigit bahkan mencakar bagian mana saja yang bisa membuat tangan itu terlepas. Ia berlari melewati jalanan sepi. Terseok-seok menghindari si pengejar. Hingga akhirnya ia bisa lepas dan malah berakhir menjadi gelandangan.
Berbulan-bulan Mawar berjalan tanpa arah.  Ia sudah mencoba mencari pekerjaan tapi tidak ada orang yang cukup percaya melihat kondisi Mawar. Ia mengemis dan memakan apapun yang bisa ia makan. Kadang ia memakan makanan sisa yang bisa ia temukan di pinggir-pinggir jalan ataupun tempat sampah. Selama makanan itu belum basi, Mawar akan memakannya dengan lahap. Ia akan tidur di emperan toko yang tutup pada malam hari dan paginya, ia akan terbangun karena di tendang oleh si pemilik toko ataupun di siram dengan air satu ember. Tapi tidak selamanya buruk, karena terkadang, ada orang yang sekali dua kali pernah memberinya makanan. Makanan itu biasanya ia dapat dari penjual-penjual makanan pinggir jalan yang kasihan melihat Mawar.
Menahan lapar bukan hal aneh bagi Mawar. Terkadang ia hanya butuh minum agar membuat perutnya tak terus menerus berontak karena tidak di isi. Kalau tidak mendapat makanan sisa ia akan meringkuk di sudut kota. Berdoa agar ia bisa lekas tertidur untuk menahan laparnya hingga besok.
***
Suara dering ponsel memecah. Irham melihat nama Bunga di layarnya. Dan untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya. Ia secara sadar mematikan panggilan itu.
Mawar masih di depannya. Menangis menceritakan hidupnya yang juga membuat Irham meringis menahan nyeri.
"Kita bisa lapor polisi." kata Irham akhirnya. Mawar menggeleng cepat sambil menyeka air matanya. "Kenapa? Kita bisa membongkar jaringan itu. Mereka bisa dapet balasan yang setimpal." Mawar sekali lagi menggeleng.
"Aku tidak mau di penjara." kedua alis Irham bertaut. "Mereka yang akan di penjara Mawar. Bukan kamu."
"Kalau aku lapor polisi, aku juga akan di penjara karena aku berhasil lolos karena membunuh salah satu dari mereka."
Satu lagi mimpi buruk buat Mawar. Saat usaha melarikan dirinya terancam gagal ia terpaksa menusukkan pecahan botol yang berhasil ia simpan dari salah satu pertikaian di bar dan menusukkan ke perut di pengejar dan ia memastikan sendiri bahwa si pengejarnya sudah tidak bernapas. Mati dan ia yang membunuhnya.
Dia pelacur dan dia pembunuh. Sama sekali bukan gelar yang bagus untuk di sandang seorang remaja sepertinya.
Irham nyaris tidak percaya kalau ada kisah hidup semiris itu. Ia berpindah duduk di samping Mawar lalu mengusap pundaknya pelan.
"Kau sekarang aman bersamaku. Tenanglah."