buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Friday 15 April 2016

Dia Mawarku (Lembaran Baru)

Mawar terpaku melihat begitu banyak kantung plastik yang Irham bawa hari ini. Jam sudah menjukkan pukul tujuh malam, Irham sampai saat Mawar tengah menghabiskan hari di depan televisi ruang tamu. Melihat kedatangan Irham, Mawar masuk ke dapur dan kembali dengan segelas teh hangat. "Makasih, kamu nggak perlu repot-repot." kata Irham lalu menyesap teh itu pelan. Mereka duduk di ruang tamu. Irham mengeluarkan semua barang belanjaannya.
"Ini pakaian untukmu. Aku harap ukurannya pas." kata Irham. Mawar terhenyak melihat potongan-potongan baju yang di beli Irham. Tidak menyangka Irham akan sebaik ini. Dan dari sekian banyak pakaian yang teronggok di depannya, matanya terpaku pada satu buntelan berbalut tas kecil berwarna putih. Perlahan ia mengambilnya, sebuah mukena.
"Aku berharap kamu membutuhkannya." kata Irham. Karena ia sama sekali tidak tau bahwa Mawar seorang muslim atau bukan. Tapi kalau mengingat dari mana Mawar berasal seharusnya tebakannya tidak salah.
"Apa aku masih pantas menghadapnya?" Mawar melirih dan matanya berkaca-kaca.
"Kenapa?"
"Aku merasa terlalu kotor." Butiran bening itu jatuh. Ia tiba-tiba merindukan ayahnya yang selalu menjadi imam dalam keluarga selepas suara adzan berkumandang.
Irham mendongkak dan menatap Mawar baik-baik. "Allah maha pemaaf. Tidak ada yang sebaik dirinya. Dia menerima semua hambanya. Mantan koruptor, mantan pezinah, bahkan mantan pembunuh sekalipun asal mereka mau bertobat. Ingat, semua pendosa masih punya masa depan layaknya orang suci punya masa lalu. Apa yang bisa di perbaiki hari ini, perbaikilah. Mungkin kamu bisa mulai dengan shalat Isya."
Dada Mawar bergemuruh mendengar kata-kata Irham. Dan butiran bening itu makin deras mengucur dari matanya. Kata-kata Irham mendobrak dinding kesadarannya yang selama ini tertutup rapat. Tapi masih ada yang terasa mengganjal di pikirannya. Ia tidak hanya berasa kotor untuk shalat tapi kadang ia merasa Tuhan begitu jahat karena memberikan cobaan yang bertubi-tubi ke arahnya.
"Aku kadang merasa Tuhan begitu jahat dan tidak adil. Dia memberiku begitu banyak cobaan." katanya sambil tersengal menahan tangis.
"Allah memberikan cobaan karena ia tahu hambanya mampu melewati. Bisa jadi masalah itu pembersih maksiatmu, pencerahan otakmu agar terus mengingat Allah, obat tuli telingamu dari ayat-ayat Allah, pembakar sombongmu dan mungkin ia rindu mendengar munajatmu."
Kata-kata itu bagai mantra yang menyihir Mawar. Ia menatap Irham yang tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca. Perlahan ia merasakan dadanya mengembang dan terasa hangat.
"Kamu tau kenapa kita masih hidup sampai detik ini?" tanya Irham setelah mengahabiskan isi cangkirnya. Mawar menggeleng, ia bukan tidak tahu hanya saja pikirannya belum terkoneksi untuk menjawab pertanyaan tiba-tiba itu. Mawar punya banyak kemungkinan tapi ia tidak siap menjawab kali ini.
"Orang-orang punya banyak jawaban tapi aku cuma punya satu jawaban. Mungkin karena kita masih terlalu banyak dosa sehingga Allah masih memberi kesempatan untuk bertaubat."
Dan sekali lagi Mawar meluruh. Ia mencoba tersenyum kaku ke arah Irham.
***
Mawar tidak pernah tahu apa yang di kerjakan Irham. Pria itu berangkat pagi dan pulang sore hari atau kadang selepas magrib. Dan Mawar tidak punya kegiatan yang harus dilakukannya di rumah itu. Mawar membersihkan rumah itu. Memasak setiap pagi walaupun Irham akan bilang kalau Mawar tidak perlu repot-repot tapi Mawar selalu punya alasan untuk melakukan itu semua. Sampai saat ini Mawar menumpang di rumah itu dan Irham menampungnya tanpa meminta apapun.
Mawar tidak pernah memimpikan akan bertemu dengan sosok Irham. Dia laki-laki tampan, baik, dan yang pasti sosok yang begitu hangat. Mawar sering mendengar laki-laki itu menelpon sampai tengah malam. Ia kadang mendengar laki-laki itu tertawa renyah sampai menceritakan hari-harinya.
"Kau mau keluar?" tanya Irham di hari jumat itu. Mawar terdiam. Sejujurnya ia juga merasa jenuh terus-menerus di dalam rumah. Tapi ia terlalu takut untuk keluar seorang diri. 
***
Mereka tidak pergi jauh. Hanya ke taman kota yang tampak ramai sore itu. Untuk pertama kalinya, Mawar merasakan hawa kebebasan. Mencium bau dedaunan basah yang yang tertiup angin. Begitu lega.
Mereka duduk di bangku dan memegang es krim di masing-masing tangannya. Selama Mawar sibuk dengan es krim seperti anak kecil yang baru saja merasakan dingin, Irham memperhatikan wajah Mawar. Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung dan mata bening. Ia tidak menyangka bahwa gelandangan yang dibawanya beberapa hari yang lalu bisa berubah menjadi sosok Mawar yang tampak menarik. Irham tidak pernah bertanya mengenai umur dan kalau di taksir mawar mungkin masih berusia belasan. Mungkin enam belas atau tujuh belas tahun.
"Besok aku akan kembali ke Jakarta."
Bibir Mawar mengatup rapat secepat kilat. Ia menoleh dan menatap Irham yang juga tengah menatapnya. "Aku di sini hanya liburan."
Mawar masih diam. Ia hanya termangu menatap Irham yang masih sibuk merangkai kata-kata.
"Kau bisa ikut denganku atau tetap tinggal di sini." Irham membuang bungkusan ice creamnya dan kembali menatap Mawar yang masih juga terdiam. Ia bingung bagaimana harus menjawab. Apakah boleh ia memilih satu dari apa yang di tawarkan Irham. Apa ia pantas mendapatkan itu. Ia bahkan tidak mengenal Irham dengan jelas.
"Karena kamu tidak menjawab, sebaiknya kamu ikut ke Jakarta. Aku akan menyekolahkanmu. Berapa umurmu sekarang?"
Mawar berdehem pelan lalu menjawab. "Tujuh belas tahun."
"Tiga SMA?" Mawar mengangguk.
***
Mawar tidak pernah tahu seperti apa rupa kota Jakarta selain dari acara di televisi yang di tontonnya. Apa benar kota itu padat dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Apa benar begitu banyak kejahatan seperti yang ia lihat di berita.
Mereka menggunakan taksi. Mawar sibuk melihat ke luar jendela. Melihat gedung-gedung pencakar langit itu berdiri kokoh. Tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari yang namanya Jakarta. Benar kata orang, jakarta padat dengan kendaraan.
"Kamu tahu nggak kalau tiap hari banyak orang memaki sama kota ini." Mawar menoleh dan menatap Irham.
"Setiap hari orang mengeluh kota ini macet, penuh polusi, panas, penuh copet dan kejahatan lainnya." Irham ikut memandang keluar jendela.
"Tapi sebenci apapun mereka pada Jakarta, mereka tidak akan pernah pergi dari kota ini. Sebagaimanapun rupanya, Jakarta tetap menjadi kota yang akan selalu di rindukan." Mawar mengangguk, mengerti maksud dari kata-kata Irham.
***
Mereka sampai di apartemen. Dan Mawar sedikit terperangah. Apartemen itu mewah, berada di pusat kota di kelilingi bangunan-bangunan tinggi nan kokoh. "Ini apartemen aku, aku jarang ke sini karena aku juga punya rumah. Kamu bisa tinggal di sini." katanya sambil duduk di sofa. Mawar duduk di sebelahnya. Menatap lekat-lekat tiap sudut ruangan.
"Aku harus apa?" kata Mawar bingung.
"Harus apa gimana?" Irham tak kalah bingung.
"Kamu kasih aku tumpangan secara cuma-cuma." Irham terkekeh lalu berkata. "Kamu harus rajin belajar karena aku akan daftarin kamu sekolah." Mata Mawar membulat sempurna. Menatap Irham yang tampam tersenyum. "Kamu serius?" laki-laki itu mengangguk mantap.
"Aku masih kuliah, aku usahakan mampir ke sini kalau sempat. Itu kamarnya. Masih ada beberapa barangku tapi tidak berantakan. Kamu bisa tidur di sana karena itu satu-satunya kamar di sini." Irham menunjuk satu pintu tak jauh dari tempat duduk mereka.
***
Keesokan harinya Irham datang ke apartemen. Membawakan begitu banyak buku bacaan dan alat-alat tulis. "Kamu serius mau sekolahin aku?" hari ini Irham memakai kemeja hitam dengan sebuah ransel berisi laptop. Seperti baru pulang kuliah. "Iya."
"Cuma-cuma?" Mawar masih tidak percaya ada makhluk sebaik Irham.
"Aku cuma punya dua pesen sama kamu. Jangan tinggalin shalat dan belajar yang rajin."
Sejak detik itu, Mawar sadar Mawar menyukai Irham. Entahlah, mungkin sayang karena Irham begitu baik kepadanya.
Mereka menikmati makan malam mereka. Mawar yang memasak sendiri. "Enak." Mawar tersenyum mendengar pujian itu.
Mawar mencuri pandang ke arah Irham yang tengah sibuk dengan sendok garpunya. Menatap garis wajah Irham yang begitu hangat.
"Oia, aku punya sesuatu lagi buat kamu." Irham mengambil ransel di sampingnya dan mengeluarkan kotak yang masih terbungkus plastik. Mawar menerimanya dan menemukan sebuah ponsel di sana.
"Buatku?" Irham mengangguk. "Kalau ada apa-apa beritahu aku." kata Irham.
***
Mawar tidak pernah menyangka kalau dirinya masih punya kesempatan untuk memakai seragam putih abu-abu. Irham benar-benar menyekolahkannya. Ia kembali merasakan bangku sekolah, bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya meskipun ia bisa dibilang tidak mempunyai teman dekat. Sepulang sekolah, saat teman-teman sebayanya meluangkan waktu untuk sekedar jalan-jalan ataupun nonkrong di kafe, Mawar akan memilih langsung kembali ke apartemennya.
"Gimana sekolah kamu hari ini?" Irham menyesap teh yang sudah di sediakan Mawar. "Seperti biasa. Tidak ada yang terlalu menarik." kata Mawar acuh sambil menyendokkan nasi ke piring Irham. Irham terbiasa dengan kehadiran Mawar. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada waktu yang tunggu Mawar selain sore menjelang malam menunggu kehadiran Irham. Tidak ada yang membuat Irham bertahan lama di kampus karena ia selalu menantikan bertemu Mawar untuk mendengarkan cerita Mawar. Keluh kesah gadis itu di sekolahnya. Teman-teman yang menyebalkan, guru yang galak, tugas-tugas yang menumpuk sampai gosip-gosip di sekolahnya.
"Di sekolah ada yang cewek yang namanya Tata, denger-denger dia pacaran sama guru kesenian" cerita Mawar suatu waktu.
"Jangan suka ngegosip." Irham duduk disamping Mawar. Terpaku pada laptop dan tugas-tugas kuliahnya. Mawar yang juga sedang mengerjakan tugas berhenti sebentar. "Tapi aku liat sendiri mereka suka pulang bareng."
"Mungkin mereka emang pacaran."
"Masalahnya, guru keseniannya itu udah punya istri, baru nikah sebulan yang lalu." Irham yang sedang mengetikan jari-jarinya di keyboard berhenti dan menoleh. "Belajar yang bener ah kamu.. Jangan ghibah, nggak baik." Mawar mengerucutkan bibirnya lalu kembali ke buku yang ada didepannya tepat saat suara ponsel menggema. Irham merogoh saku celananya, melihat nama di layar lalu masuk ke dalam kamar. Menjauhi Mawar. Mawar hanya mengangkat bahu, hal seperti itu sering terjadi. Di mana Irham akan mengangkat pangilan dan berusaha agar Mawar tidak mendengarnya.
Mawar melirik laptop Irham yang menampilkan screen Irham dan seorang gadia cantik. Putih dengan rambut panjang yang menjuntai melewati bahu. Tiba-tiba hatinya terasa nyeri hingga ia sadar, ia mencintai Irham.

No comments:

Post a Comment