buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Tuesday 27 October 2015

KARENA NYAWA KAMU LEBIH BERHARGA DARI APAPUN


Note: Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor dijalan."
Orang pernah bilang Jakarta tidak pernah tidur. Mungkin itu benar. Jakarta memang terlihat lebih lenggang waktu menunjukkan hampir tengah malam. Tapi untuk tempat-tempat tertentu, keriuhan masih tetap ada. Fella masih disana. Dengan kaus hitam dan celana pendek membungkus tubuhnya. Mengindahkan dingin yang menyergap kulit mulusnya.
“Ayooo Dion.” Katanya sambil berteriak keras dan berjingkrak-jingkrak. Gadis-gadis sebayanya ikut berteriak seakan memberikan semangat untuk dua pria yang sedang bersiap-siap di pacuan. Dion menoleh. Tersenyum pada Fella. Lalu beralih pada seorang wanita dengan bendera yang berada ditengah-tengah. Diantara dirinya dan lawannya. “SIAP….SATU…DUA… TIGA…” bendera di tegakkan dan dalam hitungan detik setelah kata tiga diucapkan, Dion menarik gasnya, melaju dengan motor gedenya, meninggalkan kepulan asap dengan segala keriuhan para penonton balapan liar itu.
Ini bukan kali pertama. Ini adalah rutinitas Dion hampir setiap malam. Menjelajahi sudut ibukota hanya untuk sekedar beradu di lintasan. Menggesekan karet ban motornya dengan aspal dan melaju sekencang mungkin untuk mendapatkan predikat juara dan hari ini pun sepertinya akan menjadi milikknya karena ia sampai beberapa detik lebih dulu dari lawannya.
“aku tidak tau siapa yang bisa mengalahkanmu?” Fella menjabat tangan Dion dan memeluknya sekilas. Memberi ucapan selamat karena ia tau bahwa Dion sangat ahli dalam hal ini. “ayo kita rayakan.” Katanya. Fella naik ke motor dan mereka melaju menuju salah satu klab malam di daerah kemang. Rambut panjang Fella berkibar ditiup angin dan dingin yang menyelimuti malam itu sepertinya tidak menggugah mereka walau hanya untuk memakai helm ataupun jaket.
***
Fella tercekat mendengar alarmnya berbunyi dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “MATI AKU.” ia terlonjak dari ranjangnya mengingat ia ada kuis hari ini dan itu artinya ia hanya punya waktu kurang dari setengah jam untuk sampai dikampusnya.
Ia menyambar ponselnya dan masuk ke kamar mandi. “Dion, aku tunggu dirumah sepuluh menit lagi.PENTING.” katanya langsung menutup telepon tanpa membiarkan suara diujung hanya untuk sekedar menyapa. Ia membuka bajunya dan mandi dengan kilat. Keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian. Memilih baju dengan asal dan langsung menyambar tasnya saat mendengar suara klakson dari luar pagar rumahnya.
Dion menyeringai melihat Fella mengunci rumahnya dengan tergesa-gesa. “kesiangan lagi? Kebiasaan.” katanya saat Fella sampai didepannya dengan nafas tersengal. “lupa kalau ada kuis pak Dekas hari ini.” katanya lalu naik ke atas motor Dion. “ayo buru.” katanya sambil menepuk pundak Dion dan roda ban motornya mulai berputar.
“pegangan Fell.” katanya dan tepat saat itu Fella hampir saja terlonjak dari motor karena Dion baru saja menaiki sebuah trotar. Jalanan memang sedang macet parah, padat merayap karena memang memasuki jam orang kantoran dan Dion tidak punya pilihan selain mengambil jalur pejalan kaki untuk sampai lebih cepat ke kampusnya. “nyantai dong.” katanya sambil menepuk pelan pundak Dion lalu mengeratkan tangannya di pinggang laki-laki itu. “katanya telat.” Dion membunyikan klaksonya untuk meminta beberapa pejalan kaki untuk minggir dan memberinya jalan yang langsung diprotes oleh makian dari para pejalan kaki.
Masih ada lima menit sebelum kelas dimulai dan setelah mengucapkan terima kasih ia berlari. “tunggu dikantin ya.” kata Dion berteriak sambil melambaikan tangan. Fella menoleh sebentar tanpa berhenti lalu mengacungkan ibu jarinya.
“kebiasaan. Makannya jangan dugem mulu.” Fella langsung duduk disebelah Vanya sambil mengatur nafasnya yang belum teratur. Belum sempat Fella menjawab Pak Dekas masuk ke ruangan.
Firman mengamati Fella dari belakang. Memandang rambutnya yang digulung asal-asalan. Gadis itu kesiangan lagi hari ini dan sebenarnya ia hampir selalu telat di setiap mata kuliah pertama. Apakah ia tidak punya alarm. Pikirnya. Tapi ia tau kalau bukan hanya alarm alasannya. Ia tau bahwa Fella bukan gadis rumahan yang akan mengumpat dibalik selimut saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam, berjaga-jaga agar tidak kesiangan. Fella menyukai dunia malam, gemerlap lampu dan kebisingan dijalanan dan mungkin ia juga menyukai Dion. Mereka dekat dan Firman tidak pernah bisa mengartikan kedekatan mereka. Pacarankah? Atau hanya sebatas sahabat?
Firman dan Fella menjadi murid di sekolah menengah yang sama. Firman mengenal Fella dengan baik tapi sepertinya tidak untuk sebaliknya. Hey.. Fella itu cinta pertamaku. Katanya dalam hati. Cinta lama yang bahkan belum sempat terucapkan olehnya. Fella terlalu jauh darinya. Mereka terlalu berbeda dan mereka berdua tidak akan pernah berada dalam lingkaran pergaulan yang sama. Bahkan saat mereka satu kelas di kampus yang sama pun mungkin Fella tidak menyadari bahwa mereka pernah satu SMA.
“nanti malem kemana?” tanya Vanya sambil membereskan catatannya. “ikut Dion. Balapan palingan.” katanya acuh sambil melihat ponselnya. “punya ide lain?” tanya Fella tanpa melepas pandangannya dari telepon genggamnya. “ke salon gimana?” Fella menoleh, sepertinya tidak buruk. “boleh juga.” mereka berdua beriringan menuju kantin masih ada setengah jam sebelum mata kuliah selanjutnya.
“nanti malem aku ke salon ya sama Vanya.” mereka bedua menghampiri Dion yang sedang asik bermain game dalam ponselnya. “nggak nememin aku balapan?” laki-laki itu meneguk botol air mineral yang dibawa Fella dan melihat Fella menggeleng. “besok aja lagi ya.” Dion mengganguk lalu berdiri setelah mendengar salah satu temannya memanggil, Mengacungkan bola oranye. “yaudah kalo gitu. Hati-hati.” katanya sambil mengusap pelan puncuk kepala Fella.
“Nggak jelas.” Vanya mendengus sambil menyeruput jus jeruk pesanannya yang baru datang. “siapa?” Fella menatap Vanya dengan heran. Lalu bangkit dan mengambil teh botol di kulkas dari salah satu kantin dan menengguknya pelan. “kalian berdua. Kesana kemari berdua tapi status nggak jelas. Pacaran tapi bilangnya sahabatan, sahabatan tapi kayak pacaran.” Fella tergelak, tidak menyangka Vanya akan mengeluarkan kata-kata ajaibnya dan sebentar lagi ia pasti aka bilang 'kamu mau aja di PHP-in'
Vanya memang tidak terlalu suka pada Dion. Dion jauh dari kata 'baik' dalam pandagannya. “udah deh, nggak usah cemberut gitu. Kita cuma sahabatan kok.” katanya sambil menyentuhkan ujung jari telunjukkan pada dagu gadis didepannya. “mending cari pacar yang ketauan baik Fell. Dari pada luntang-lantung ikut-ikutan Dion balapan liar sama dugem tiap malem.”
“dia baik kok.” katanya tidak mau kalah. “iya, tapi dia nggak bikin kamu jadi pribadi yang lebih baik Fell. Kamu tiap mata kuliah pagi selalu kesiangan. Lagian apa enaknya sih nonton balapan liar. Diciduk polisi baru tau rasa deh semuanya.” Vanya menggerutu sementara Fella terus terkikik. “dibilangin malah ketawa lagi nih anak. Ngeledek aja.” katanya sambil memukul pundak Fella dengan botol plastik kosong.
Dion memang bukan good boy.Dion hanya lebih menyukai kebisingan di tengah malam dimana suara gas motor gedenya sukses memekik diatara kerumunan orang yang ada disekitarnya. Ia bisa dibilang sahabat baik Fella. Mereka pertama kali bertemu saat Fella berada di salah satu klub dibilangan bintaro dan semakin dekat saat tau bahwa mereka satu kampus. Fella hanya tinggal dijakarta sendiri. Orangtuanya pindah ke kota palembang dua tahun yang lalu dan dengan kesendiriannya bisa dibilang hanya Dion yang bisa diandalkan. Walaupun menurut Fella, Dion memang sedikit urakan. Laki-laki itu menyukai kebebasan, dalam hal apapun. Hobi, berpendapat dan sejauh ini Dion merupakan partner yang baik untuk Fella.
***
Mereka keluar dari Mall saat jam menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Setelah keluar dari salon mereka menghabiskan waktu direstoran jepang masih di mall yang sama. “kamu langsung pulang kan Fell?” Tanya Vanya saat ia menyelinap dibalik kemudi. “nggak tau nih. aku tanya dulu Dion dimana yaa? Biar dia ntar yang jemput. Jadi kamu nggak usah nganterin sampe rumah.”
“Nggak usah, aku anter kamu kerumah aja langsung.” Fella menoleh dan melihat Vanya cemberut. Ia tau kalau sahabat wanitanya ini tidak suka dengan semua yang berbau DION. “segitu nggak sukanya sama Dion.” Fella melirik sahabatnya. Ia mengenal Vanya dengan baik seperti halnya mengenal Dion. Mereka dekat saat mereka sadar bahwa mereka lahir di kota yang sama. Vanya bergeming, enggan menanggapi kata-kata sahabatnya. “gimana kalau kamu sekali-kali ikut liat. Lagian nggak bosen apa tiap malem cuma tidur.” Vanya menoleh. “Fella…. Malem itu emang waktunya tidur, istirahat. Bukan kelayapan dijalanan.”
Fella tertawa .”berhenti Van.” katanya. Vanya berhenti mendadak. “kenapa?” tanyanya heran. “barusan ada kucing lewat. Kayanya kamu tabrak deh.” wajah Vanya memucat. “yang bener?” tanyanya lagi. Fella mengangguk. Vanya langsung membuka pintu mobilnya dan melihat ke depan mobilnya lalu menunduk melongok ke kolong mobilnya. Kosong, tidak ada apapun dan akhirnya bernapas lega. Ia tau mitos yang membicarakan mengenai kesialan yang akan didapat kalau mereka menabrak kucing.
Ia menatap Fella yang kini sudah terduduk dibelakang setir. Menggantikan posisinya sebelumnya dan ia tersenyum lebar. Senyum penuh kemenangan. ia mendekati Fella. Mengetuk kaca dan berkata “iseng banget sih.” saat Fella membuka kaca. “udah ayo masuk. Ikut aku ya.” katanya sambil mengedikkan bahu ke kursi penumpang disebelahnya. “mau kemana? Jangan macem-macem ya Fell.” Ancamnya saat roda mobilnya sudah berputar. Fella tertawa. “nggak macem-macem kok. Cuma satu macem.” sahutnya.
Fella melihat Vanya cemberut. Ia sepertinya sadar akan dibawa kemana oleh Fella. Mobilnya berhenti. Fella keluar sementara Vanya masih terduduk manis ditempatnya. “ayo keluar aahh.” bujuknya. Vanya masih bergeming. Melirik kesekitar. Sepi, tapi ia bisa melihat kerumunan orang tak jauh dari tempatnya sekarang. “mau ngapain sih?” tanyanya ketus. “cari suasana baru aja buat kamu.” Fella membuka pintu mobil dan setengah menariknya keluar dari mobil.
Fella tersenyum dan setengah menyeret Vanya yang terlihat acuh mendekati kerumunan itu. Dan seperti biasa. Dion sudah berada pada posisinya. Siap beradu dengan lawan yang berbeda dari yang kemarin. Mata Vanya membulat seketika. Menatap Dion dari atas sampai bawah. Bibirnya menganga heran sampai dua orang bermotor itu hilang dari pandangan. Menyisakan keriuhan mereka.
Senggolan dari Fella-lah yang akhirnya membuyarkan lamunanya. “kenapa? Terpesona?” godanya. “HAH? GILA. Mana mungkin.” jawabnya cepat. “trus ngapain bengong ampe begitu?”
“kamu nggak liat. Balapan liar dan Dion nggak pake helm, nggak pake jaket, dan Cuma pake celana pendek. dia nggak takut mati apa?” Fella tersentak, Vanya yang dikiranya terpesona malah mengungkapkan sesuatu yang tidak diduganya. “jangan-jangan dijalan juga ugal-ugalan lagi.”
Fella diam dan berfikir sejenak. Dion memang tidak pernah memakai helm. Dia mungkin punya, tapi sepertinya dia lebih suka menyimpannya dirumah. “tapi dia nggak pernah kenapa-kenapa kok.”
“iya, sekarang nggak kenapa-kenapa. Tapi entar, nyawa manusia kan nggak ada yang tau Fell.”
“jujur ya. Dia pasti bukan pengendara yang baik. Dia suka nerobos lampu merah, dia suka masuk trotoar, dya suka berhenti ditempat yang nggak seharusnya.” katanya pada Fella sambil menarik tangan gadis itu menjauh dari kerumunan orang yang masih terus bersorak-sorai menanti pemenang malam ini.
“kalau lagi buru-buru doang kok.” jawabnya.
“kalo setiap hari aja kamu kesiangan berarti hampir setiap hari dong kamu diajak ugal-ugalan dijalan sama dia.” Fella diam. Kehabisan kata-kata. Semua kata-kata Vanya benar. Tapi bukankah ia baik-baik saja. Ia tidak pernah mempermasalahkan keamanan berkendara Dion karena memang dia tau Dion memang seperti itu, sejak dulu. “kamu tuh tinggal dijakarta sendiri Fell, sama kaya aku. Makannya kamu harus bisa jaga diri baik-baik.” Katanya lagi sambil masuk ke mobilnya. Fella mengikuti dan duduk di sebelahnya. “Vanya, Dion itu baik kok.”
“iya aku tau dia baik. Tapi dia harusnya bisa jagain kamu. Paling nggak ngasih suatu keamanan buat kamu.” Oke, Fella mulai tidak bisa embantah kata-kata Vanya karena dia sadar Vanya benar.
***
Hari ini Fella tidak kesiangan karena ia punya waktu yang cukup untuk tidur tadi malam akibat Vanya yang terus-menerus mengomelinya masalah keamanan berkendara. Ia menyisir rambutnya yang masih basah lalu mengambil tasnya diatas meja dan keluar dari rumahnya. Butuh waktu kurang dari lima belas menit untuk sampai di depan komplek perumahannya agar bisa menaiki angkutan menuju kampusnya. Ia menyumpal telinganya dengan earphone bervolume rendah lalu berjalan pelan menyusuri komplek perumahannya.
Suara klakson itu memekakan telinga. Menukik gendang telinga Fella yang bahkan sudah disumpal dengan bundalan yang mengeluarkan suara musik. Fella menoleh dan tepat saat itu sebuah motor berhenti disampingnya. Fella tidak tau siapa karena ia memakai helm Full face dan saat pria itu membuka kaca helmnya, Fella masih ragu kalau ia mengenal pria itu. “mau ke kampus?” tanyanya. Fella mengangguk dan melihat kebingungan Fella, pria itu membuka helmnya. Menunjukkan wajahnya sepenuhnya. Fella mengernyit lalu berkata. “anak desain juga ya?” katanya sambil menunjuk ajah pria itu. ia merasa ajah pria itu familiar di tapi tidak benar-benar mengenalnya. Pria itu mengangguk. “Firman.” Ia menyodorkan sebelah tangannya. Fella menggapainya sambil tersenyum.
Ia memang bisa dibilang tidak terlalu memperhatikan siapa teman-teman sekalasnya. Yang benar-benar dia tau hanya Vanya dan beberapa teman yang cukup popular dikelasnya. “bareng yuk. Aku juga mau ke kampus. Mata kuliah pagi pak ihsan kan?” tanyanya. Fella sekali lagi mengangguk dan terpesona saat melihat pria itu tersenyum. Dia memang tidak terlalu tampan namun cukup manis dengan lesung pipinya. “Fell.” Pria itu menggoyang-goyangkan telapak tangannya didepan wajah Fella yang sedang melamun. “eehh iya.. kenapa?” katanya tergagap dan hanya bisa tersipu menyadari bahwa pria didepannya tertawa melihat tingkah konyol Fella. “berangkat bareng yuk.” Katanya lagi. “boleh.” Jawabnya singkat sambil mengangguk. pria itu lalu memberikan helm yang digantungkan dimotornya. “nih.” Katanya menyerahkan pada Fella. Fella terdiam dan mengambil helm itu. “rambutku masih basah, nggak usah pake helm ya. Lagian nggak akan ada polisi juga.” Katanya sambil menyerahkan kembali helm itu. pria didepannya terkekeh. “Fella, helm itu bukan cuma buat menghidari polisi. Helm itu untuk keamanan. Kalau nanti kenapa-kenapa dijalan, helm itu bisa menyelamatkan kepala kamu dari benturan keras. Tapi bukan berarti aku mendoakan yang macam-macam. Hanya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Aku akan tetap berhati-hati.” Fella termangu. Menyerap baik-baik kata-kata Firman. Lalu tersenyum malu. Ia merasa seperti anak kecil yang baru saja diberi ceramah oleh gurunya. “tapikan kita nggak akan kenapa-kenapa kalo kamu hati-hati.” Katanya lagi, mencoba mencari celah. Pria itu tersenyum. “jalanan itu nggak bisa di prediksi Fella. Kecelakaan itu bukan cuma karena kita nggak hati-hati. Tapi bisa juga karena orang lain nggak hati-hati. Itulah kenapa kita butuh yang namanya safety riding. Karena nyawa kamu lebih berharga dari apapunFella kembali merona karena malu pada Firman yaahh, ia sadar bahwa semua kata-kata Firman benar. Firman memakaikan helm itu ke kepala Fella.
Dan perjalanan dengan Firman seperti sesuatu yang baru baginya. Firman jelas berbeda dengan Dion. Fiman lebih taat peraturan. Ia menjalankan sepeda motornya tidak dengan kecepatan tinggi meskipun dibeberapa jalan memang terlihat lenggang. Ia berhenti disetiap lampu merah, tidak pernah menerobos meskipun tidak ada kendaraan dari arah lain. Dia tidak mengambil jalur pejalanan kaki semacet apapun jalanan yang mereka lewati. Firman memakai helm, memakai jaket dan sepatu. Tidak seperti Dion yang terkadang bahkan memakai sandal.
thanks ya.” Kata Fella sambil memberikan helmnya pada Firman. Firman tersenyum. Membuka helm dan jaketnya. Memperlihatkan sosoknya yang hanya berbalut kemaja hitam yang digulung sampai lengan dan Fella baru menyadari bahwa mungkin ia menyukai Firman. Bodohnya ia karena selama mereka satu kelas ia tidak pernah melirik ke arah Firman sedikitpun.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas dan langsung disambut tatapan heran dari Vanya. “bareng Firman? Atau ketemu didepan?” Tanya Vanya dan hanya disambut oleh sebuah senyum oleh Fella yang langsung duduk disebelahnya. “ketemu dikomplek. Ditawarin bareng. Yaudah.” Fella tida bisa menyembunyikan raut bahagianya yang membuatnya terus menerus diledek oleh Vanya. “dia itu rajin masuk nggak sih Van? Kok aku jarang liat ya.” Katanya sedikit berbisik pada Vanya karena seorang dosen sudah mulai berceloteh didepan kelas. “rajinlah. Nggak kaya kamu. IPKnya diatas 3.6” Fella langsung membulatkan matanya. Lalu mengangguk pelan. “kenapa? Mulai naksir.” Vanya terkikik sepelan mungkin membuat pipi Fella merona.
“mau pulang bareng lagi?” Fella dan Vanya yang sedang makan dikagetkan dengan kedatangan sosok Firman yang langsung duduk disamping Vanya, tepat didepan Fella. Firman tidak tau bagaimana bisa ia manjadi terlalu percaya diri untuk mengajak Fella pulang bareng padahal sebelunya jangankan berbicara, menatapnya pun ia tidak berani.
“Nggak usah, aku bareng Dion aja nanti.” Katanya. “ngapain bareng Dion? Emang itu orang daritadi batang hidunya keliatan?” Vanya menyambar. “udah deh, bareng Firman aja.” Katanya lagi. Dari tadi pagi memang Fella belum sama sekali melihat Dion. Ponselnya pun tidak aktif. “yaudah deh kalo nggak ngerepotin.” Katanya dengan senyum simpul.
Fella buka tipe wanita yang mudah jatuh cinta makannya kali ini ia bingung bagaimana mendeskripsikan perasaanya pada Fiman. Ia pikir selama ini ia menyukai pria seperti Dion. Tapi ternyata ia salah. Hanya dengan kata-kata Firman dan itu bisa langsung menghipnotisnya.
Kata-kata itu terus berputar diotak kecilnya. Dan ia tersenyum sementara Firman fokus ke jalanan yang ramai sore ini. suara dering ponsel membuatnya tersentak dan ia meraihnya dari dalam tas. “iya… kenapa… APA? aku kesana sekarang.”
“Firman, kita kerumah sakit dulu ya.” Katanya sambil mengucapkan nama rumah sakit yang dimaksud. “kenapa Fell?” Tanyanya pada Fella setelah mengangguk. tapi yang ia lihat dari kaca spionnya adalah Fella yang wajahnya memucat dan dalam hitungan detik airmatanya turun.
Firman tidak bertanya lebih lanjut dan kembali fokus pada jalanan. Saat sampai di parkiran. Fella langsung turun dan memberikan helm yang dipakainya kepada Firman dan melesak masuk ke rumah sakit. Firman mencoba mengejar Fella yang setengah berlari. “sus, kamar atas nama Dion Setya Nugraha.” Katanya pada suster yang berjaga di depan. Masih mencoba mengahalau airmata yang berusaha terjun bebas melewati kelopak matanya. “Dion kenapa Fell?” Tanya Firman sementara suster mencari data atas pasien atas nema Dion. “Dion kecelakaan.” Dan air mata itu turun lagi. Firman mengarahkan buku-buku jarinya untuk mengapus air mata itu. “kamar mawar nomor 205 dilantai dua.” Fella secara tidak sadar langsung menggadeng tangan Firman menuju tangga setelah mengucapkan terima kasih pada suster. Dan matanya terpaku pada sosok orang yang terbaring diranjang kamar nomor 205. Ia masih berdiri didepan. Hanya melihat dari kaca yang ada ditengah pintu. Ia bisa melihat hampir seluruh tubuh Dion dibalut perban. Sebelah kakinya di gips dan tergantung agak keatas. Perban itu juga menyilang dari bahu kiri sampai ke pinggang kanan Dion. Kepalanya juga di perban dan wajahnya, Fella bisa melihat pipi sebelah kanan Dion luka. Sepertinya terkena aspal.
Bibir Fella bergetar dan ia menagis tanpa suara. Ia membalik badanya dan memeluk Firman. “itu Dion Firman, itu Dion” katanya sabil menangis didada Firman. Firman mengelus pundak Fella. Mencoba memberikan ketenangan untuk gadis itu. “Fella.” Yang dipanggil menoleh dan mendapati Adnan menghampiri mereka. Adnan adalah salah satu sahabat Dion yang ia kenal. “Adnan, Dion nggak kenapa-kenapa kan? Kenapa bisa jadi begini?” Fella sesenggukan sementara Adnan hanya memandang nya dengan kesedihan yang sama. “Dion tabrakan Fell, dia nerobos lampu merah jam tiga pagi. Dia nggak nggak sadar ada mobil yang melaju kencang dari arah lain.” Fella menutup mulutnya. “dia nggak pake helm jadi kerangka otaknya pecah dan sekarang dia koma.” Hati Fella mencelos seketika. Ia menatap Fimran dan sekelebat bayangan saat dirinya naik motor bersama Dion berputar bagai slide. Hanya Dion, bagaimana kalau saat itu dirinya bersama Dion. apa yang akan terjadi padanya.

Fella, helm itu bukan cuma buat menghidari polisi. Helm itu untuk keamanan. Kalau nanti kenapa-kenapa dijalan, helm itu bisa menyelamatkan kepala kamu dari benturan keras. Tapi bukan berarti aku mendoakan yang macam-macam. Hanya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Aku akan tetap berhati-hati.”

jalanan itu nggak bisa di prediksi Fella. Kecelakaan itu bukan cuma karena kita nggak hati-hati. Tapi bisa juga karena orang lain nggak hati-hati. Itulah kenapa kita butuh yang namanya safety riding. Karena nyawa kamu lebih berharga dari apapun