buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Tuesday 22 March 2016

Dia Mawarku (Mawar bukan Bunga)


"Gue bukan simpanan." Mawar menatap lekat laki-laki di depannya. Matanya menyalang tajam. Berusaha tidak menangis walau ia sadar kalau sudah ada lapisan bening di kedua bola matanya.
"Terus apa namanya kalau bukan simpanan? Dari mana lo bisa kuliah kalau lo aja nggak kerja, lo yatim piatu dan lo nggak punya siapa-siapa di sini, lo juga bukan mahasiswi pinter yang bisa dapet beasiswa." Mata Raka menyalang tajam dengan suara yang menyentak dan gadis di depannya tidak sanggup lagi karena sebulir air matanya lolos. Raka tersenyum, ia tidak menyadari bahwa ia baru saja menusukkan belati tepat ke hati Mawar. Tidak cukup, laki-laki itu mengoyaknya. Menciptakan luka menganga di hati Mawar.
"Dasar wanita murahan." Raka tersenyum kecut. Berusaha menyadarkan gadis di depannya bahwa ia tak lebih dari sampah. Tidak berguna, tidak patut ada dan ia harus tau bahwa Raka membencinya.
"GUE BUKAN SIMPANAN. Beribu kali pun lo bilang begitu. Gue nggak peduli." Mawar menegakkan bahunya dan mendorong bahu lebar Raka hingga menjauh dari laki-laki itu.
Raka menendang salah satu kaki meja di ruang kelasnya. Meruntuk kasar dan mengumpat mendengar kata-kata terakhir Mawar. "Lo harus tau kalau lo nggak lebih dari pelacur perusak rumah tangga orang."


***

Mawar menjatuhkan diri di taman di belakang kampusnya. Mencoba menarik nafas panjang hingga udara sore itu mulai memenuhi rongga pernapasannya. Kata-kata Raka terus terngiang di kepalanya. Berputar seperti sebuah slide yang sedang mempertontonkan rekamannya.

Raka salah, omongan Raka tidak benar. Hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Mawar untuk membantah semua tuduhan Raka. Raka tidak tahu apa-apa dan tidak seharusnya laki- laki itu mencampuri urusannya.
Raka tidak tahu apa-apa mengenai hidupnya. Dia tidak punya hak menodongkan jari telunjuknya untuk menghina Mawar.


***

Irham masuk ke apartemen itu dan menemukan Mawar tengah bersantai di rumah tamu dengan sebuah laptop di pangkuannya. "Di luar hujan deras." kata Irham sambil duduk di sebelah Mawar dan mengecup keningnya mesra. "Aku buatin teh hangat dulu." kata Mawar tapi belum sempat ia berdiri, tangan Irham mencekalnya. "Nanti aja." katanya lalu merengkuh Mawar dalam pelukannya. Terasa hangat. Batin Mawar. Pelukan yang sama dengan betahun-tahun lalu yang berhasil memporak-porandakan hati Mawar dalam hitungan detik. Mawar tidak pernah bosan biarpun laki-laki itu sudah memeluknya ratusan kali. Mawar selalu merindukannya, bahkan setiap malam.
"Ham, kamu pasti capek. Aku bikinin kamu teh sekalian makan malam ya." kata Mawar tepat di telinga Irham. Irham melepas pelukannya lalu mengangguk. "Kamu istirahat di kamar aja." kata Mawar sambil berlalu dari pandangan Irham menuju dapur.

Irham masuk ke satu-satunya kamar yang ada di apartemen itu. Kamar Mawar, kamarnya, kamar mereka berdua. Kamar yang menjadi saksi bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Tempat yang selalu membuat Irham ingin pulang tapi ia juga sadar bahwa rumahnya bukan di sini. Mawar bukan rumah yang menjadi tujuannya pulang.


Aroma harum yang menguar membuat Irham tergelitik untuk menghampiri Mawar di dapur. "Pas banget. Ayo makan." kata Mawar saat melihat Irham berdiri di ambang pintu.

"Gimana kuliah kamu?" tanya Irham sambil mengunyah. "Baik, skripsi juga udah tahap akhir." Mawar bercerita lugas. Menceritakan kesehariannya di kampus tentu saja minus mengenai kejadiannya bersama Raka. Kegiatan ini rutin mereka lakukan. Setelahnya, Irham akan menceritakan kesehariannya di kantor. Bercerita mengenai klien-kliennya yang menyebalkan.

Mawar sering berandai-andai kalau ia dan Irham bisa berbagi kisah setiap saat. Bukan hanya saat Irham pulang dari kantornya dan mampir ke apartemen Mawar.


Jam menunjukkan pukul delapan saat mereka masih terlihat asik berceloteh di meja makan. Suara denting pesan mengalihkan perhatian mereka. Irham merogoh ponselnya dan menemukan sebuah pesan di sana.

"Udah waktunya pulang?" kata Mawar. Irham tersenyum kecil lalu mengangguk. "Aku pulang dulu ya. Besok aku transfer uang bulanan kamu." kata Irham sambil mencium dahi Mawar lalu menghilang di balik pintu apartemen.

Secepat itu. Kehangatan di apartemen itu selalu menghilang tiap pintu apartemen menghilangkan sosok Irham. Kemewahan di apartemen itu tidak serta merta membuat tiap ruang di sana terasa hidup. Bagi Mawar, hanya Irham yang bisa memberikan hawa kehidupan di tempat tinggalnya itu.

Hanya jejak Irham yang masih menyisakan aroma tubuh pria itu. Di Sofa, dapur bahkan ranjang di kamarnya. Aroma Irham melekat begitu kuat seperti sengaja di tinggalkan agar saat Mawar merindukan pria itu, Mawar tidak akan pernah melupakan wangi khasnya.


***

Irham memarkirkan mobilnya di garasi dan melihat istrinya membukakan pintu. Irham mencoba tersenyum lalu mengecup pipi istrinya. "Kan aku udah bilang nggak usah nunggu aku pulang." kata Irham. Irham mengucapkannya dengan nada dingin tapi di telinga Bunga, kata itu begitu merdu dan hangat. "Aku buatin teh ya." kata Bunga sambil mengambil jas yang di sampirkan asal oleh Irham di sofa. "Nggak usah, langsung istirahat aja. Kamu pasti udah ngantuk." kata Irham sambil masuk ke dalam kamar.

Mata Bunga masih menyalang saat napas Irham mulai teratur, menandakan pria itu mulai lelap. Ia menelusurkan jarinya di wajah pria itu. Dari dahi ke mata, pipi, hidung lalu berakhir di dagunya. Ia terseyum, menyadari bahwa ia begitu mencintai suaminya.
Irham mengeratkan pelukannya pada Bunga. Membuat Bunga terkesiap. Irham merindukan Mawar. Hanya wanita itu yang selalu di pikirkan Irham sebelum tidur. Berharap mimpi bisa menghantarkannya bertemu dengan Mawar.


***

Hampir tiga tahun, sejak Raka menjadi mahasiswa baru di kampus Mawar. Mawar sudah terbiasa mendapat perlakuan buruk dari pria itu. Bukan sekali dua kali Mawar di permalukan oleh pria itu di depan orang banyak hingga bahkan mungkin sebagian dari mereka menganggap Mawar benar-benar wanita simpanan. Tapi sesering apapun Raka menderukan omongan itu tepat di telinga Mawar, Mawar akan langsung menulikan telinganya hingga kata-kata itu terasa seperti hembusan angin lalu. Hingga saat ia sudah kehilangan kesabaran, ia akan menangis. Seperti kemarin.



***

"Jadi udah di transfer berapa puluh juta?" teriak Raka saat melihat Mawar keluar dari bilik ATM di lingkungan kampusnya. Mawar berusaha tak acuh lalu kembali berjalan menuju kantin. Raka yang tidak pernah puas melangkah lebar-lebar mengejar Mawar hingga langkah mereka sejajar. "Jadi abis ini mau ke mana? Belanja barang ber-merk? Nonton? beli perhiasan? Ke salon? Atau malah cari om-om lagi?" Mawar berhenti. Mencoba mengusir bayang-bayar Raka dan senyum mengejeknya. "Apapun yang mau gue lakuin, itu bukan urusan lo." kata Mawar tegas. Berusaha tidak terintimidasi oleh tatapan Raka yang seakan menelanjanginya. Raka tersenyum lebar, menyadari bahwa Mawar sudah selangkah lebih maju karena berani menatapnya secara terang-terangan.

"Pelacur, gue bingung kenapa lo buang-buang waktu buat kuliah. Bukannya melacur nggak membutuhkan pendidikan yang tinggi?" Raka dan Mawar masih berhadapan. Di selimuti oleh amarah yang menguar dari kedua orang tersebut. Mawar merasakan darahnya bergejolak hebat hingga akhirnya satu tamparan mendarat di pipi Raka. Cukup kuat karena wajahnya sampai terpental ke belakang.
"Kalau lo nggak tau apa-apa tentang gue. Jangan pernah campuri urusan gue." kata Mawar dengan kilatan tajam di ke dua bola matanya. Raka mencekal tangan Mawar. "Jangan pernah sentuh gue dengan tangan lo yang kotor itu. Gue jijik." katanya sambil melempar lengan Mawar jauh-jauh.


***

Raka menatap Bunga yang tengah membuat kue di dapurnya. "Kamu tumben jam segini mampir." tanyanya pada Raka yang kini duduk di meja makan dan mencicipi cokelat cair yang ada di meja.

"Iya, dosennya tadi ada yang nggak masuk." jawabnya cepat lalu memperhatikan gerak Bunga yang lincah. "Kakak bikin buat mas Irham?" tanyanya dan melihat wanita itu mengangguk pelan. "Bukannya mas Irham pulangnya selalu malem?" Raka tau persis. Irham akan bilang bahwa ia lembur padahal pria itu tengah mengunjungi simpanannya sepulang kantor. "Iya sih, tapi tadi aku udah minta dia pulang lebih awal dan dia bilang dia akan usahakan." Raka terseyum sinis. Ia tidak pernah tau kalau cinta bisa begitu membodohi seseorang.
"Nggak sekali dua kali lho kak, mas Irham pulang malem. Kakak nggak curiga?" Bunga seketika menoleh dan mendapati Raka tak acuh dan masih sibuk dengan bola-bola cokelat di piringnya. "Kakak percaya sama mas Irham. Kamu kenapa ngomong begitu?" Raka mengangkat bahu. Bingung bagaimana menjawab pertanyaan kakaknya walau ia ingin sekali menunjukkan kebenaran di depan Bunga. Bahwa suami tercintanya, sahabat kecilnya, orang yang paling dia percaya telah berkhianat dan bermain api di belakangnya.


***

Bunga tidak pernah lelah menunggu untuk menyambut Irham sepulang kantor walau akhirnya ia harus mendesah pelan saat mobil Irham tak kunjung menderu di pelataran rumah mereka dan pesan singkat yang dikirimkan Irham selalu berhasil membuatnya tubuhnya lemas tak bertulang.

Bunga tidak tau bahwa persahabatannya dengan Irham yang akhirnya berubah menjadi ikatan suami istri bisa berubah begitu cepat. Dulu, Bunga akan selalu merajuk kalau Irham terlalu sibuk kuliah dan mengabaikannya. Tapi sekarang, Bunga harus menelan kata 'Maklum' bulat-bulat.
Irham nyaris tidak mempunyai waktu untuknya bahkan di saat weekend. Tapi Bunga sadar bahwa ini adalah konsekuensi menjadi istri seorang workaholic.


***

Raka duduk tenang di mobilnya. Menatap apartemen mewah di depannya. Malam bergelayut manja dan Raka berusaha mengusir bosan dengan menyetel musik di mobilnya.

"Dua menit lagi." lirihnya. Ia memfokuskan pandanganya. Sesuai dugaannya, dua menit kemudian seorang pria berpakaian lengkap dengan jas hitam yang sudah sangat ia kenal keluar dan berjalan cepat menuju fortuner yang terparkir di lingkungan apartemen itu.
"Bajingan." runtuknya sambil menyalakan mesin lalu mengikuti mobil itu hingga terparkir sempurna di rumah kakaknya, Bunga.
Ia berdiam sebentar. Mencoba menetralkan emosi yang sudah menguasainya.


***

"Mas Irham sayang sama ka Bunga?" Raka menatap pria yang tampak terkejut di depannya. Raka memang menemui Irham siang ini di kantornya.

"Tentu saja. Kenapa kamu tanya seperti itu?" Raka menyesap kopinya. Berusaha tidak terpancing emosinya.
"Terus kenapa mas Irham selingkuh?" Raka berusaha menatap Irham yang sekali lagi tampak terkejut. "Maksud kamu?"
"Mawar. Gadis simpanan mas Irham. Kenapa mas tega?" Raka melihat wajah Irham memucat seketika. Raka tidak tahu kalau apa yang baru saja dikatakannya mampu menembus dinding kesadaran Irham. Dadanya terasa di tonjok begitu keras.
"Ka Bunga kurang apalagi?" Irham mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Antara kaget, marah, bersalah bercampur menjadi satu dan ia sendiri tidak tau mana yang lebih mendominasi.
"Kamu nggak tau apa-apa tentang Mawar." katanya akhirnya. Ucapannya pelan, nyaris tidak terdengar.
"Raka emang nggak tau apa-apa. Raka cuma tau kalau mas Irham udah ngeduain ka Bunga, mas Irham udah selingkuh, mas Irham bajingan." Raka menadaskan isi gelasnya, lalu berdiri. Meninggalkan Irham yang masih berusaha mengendalikan emosinya.


***

Irham sadar bahwa suatu saat apapun yang ia sembunyikan akan terbongkar. Ia pikir ia bisa jujur pada Bunga mengenai sosok Mawar yang selama ini ada di tengah-tengah mereka.

Mawar si tokoh abu-abu yang selalu terlibat dalam hubungan Irham dan Bunga. Tapi ternyata ia terlambat karena sosok Mawar sudah lebih dulu ditemukan Raka, adik Bunga.
Sebelumnya Irham merasa ia hanya mencintai Bunga dan rasanya pada Mawar hanya rasa kasihan. Tapi ia salah, rasa untuk Mawar terus bertumbuh lalu mengakar begitu kuat. Tapi bagaimana bisa seseorang mencintai dua wanita berbeda di saat yang bersamaan. Irham mengalaminya, bagaimana ia mencintai Bunga dan Mawar diwaktu yang sama. Tentu saja ia tidak diam saja, ia tau bahwa apa yang ia lakukan akan menyakiti mereka berdua. Berbulan-bulan Irham menelaah perasaanya baik-baik dan bukankah memang ada yang harus dikorbankan agar dua-duanya tidak tersakiti.
Tapi pilihan Irham tidak pernah bisa ia eksekusi dengan tepat sehingga akhirnya ia terjebak seperti sekarang.


***

Irham masuk ke apartemen itu dan menemukan Mawar tengah berada di dapur. "Hei." kata Mawar saat melihat Irham berdiri di ambang pintu. Pria itu tersenyum lalu menghampiri meja makan. "Makasih." kata Irham saat Mawar menaruh secangkir teh hangat dengan uap yang masih mengepul di hadapannya.

"Pulang cepet? Kenapa?" tanya Mawar saat melihat jam dinding dan biasanya laki-laki itu baru sampai dua jam lagi.
"Adik Bunga udah tau tentang kamu." Mawar yang sedang menyesap tehnya tersedak kaget. "Kok bisa?" Mawar menatap Irham yang tampak dingin. "Tadi siang dia ke kantor dan bilang kalau dia tau aku punya simpanan."
Hati Mawar bergetar hebat lalu berdiri dan duduk di samping Irham. Ia tau ia tidak akan bisa menjadi seperti Bunga. Ia tidak sepadan dengan Irham meskipun ia memiliki hak atas Irham.
"Aku terima semua keputusan kamu." Mawar mengelus pundak Irham pelan. Berusaha membuat Irham berfikir bahwa ia akan baik-baik saja, walaupun di lubuk hatinya, jantungnya terasa di remas begitu kuat. Sesak.
"Kamu tau apa pilihan aku kan? Aku sayang sama kamu. Aku cinta kamu Mawar." Irham menatap wajah Mawar yang mencoba tersenyum kaku. Irham tau bahwa bukan hanya dirinya tapi Mawar juga dilanda ketakutan luar biasa.
Irham mengambil dagu Mawar untuk menatapnya. Ia tersenyum "Udah tenang aja. Kita pasti baik-baik aja." kata Irham lalu mengecup pelan dahi Mawar.


***

Hujan turun begitu derasnya. Membuat Bunga yang tengah terduduk di ruang tamu khawatir karena Irham belum juga pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Angin dan petir menghiasi hujan yang sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Suara dering telepon menggugah Bunga dan suara orang di seberang membuat tubuhnya kaku. Air matanya menetes seperti air hujan yang turun di luar. Kakinya lemas, butuh kekuatan agar bisa menopang dirinya sendiri.


***

Mawar nyaris menabrak semua orang yang menghalanginya. Ia membiarkan langkahnya terseok-seok dan gemuruh sumpah serapah mengiringi langkahnya. Yang ingin ia lakukan adalah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kebenaran pesan dari nomor asing yang masuk ke ponselnya.

"Irham kecelakaan. Dia di rumah sakit Medika center." Pesan itu masuk dan nyaris membuatnya tak sadarkan diri.
Dia berdiri di lorong UGD. Kakinya membeku di tempat. Di sana, dia melihat Bunga dan Raka tengah berdiri di ruang UGD. Raka? Kenapa Raka ada di sini? Sekelumit pembicaraannya dengan Irham perlahan muncul. Raka adiknya Bunga, Raka adik ipar Irham. Raka tau tentang Mawar dan itulah yang membuat Raka membenci Mawar.
Mawar masih membeku di tempat. Sama sekali tidak berani mendekat walau selangkah. Air matanya menetes dan ia mundur perlahan. Mengambil ponsel di sakunya dan mengetikan sebuah pesan ke nomor asing yang memberinya kabar mengenai kecelakan Irham.

Gimana keadaannya?

17 maret 2016. 23.25

Raka terkejut mendapati pesan itu di ponselnya. Ia masih memeluk Bunga, memberikan ketenangan untuk wanita itu.


Kritis. Jangan pernah ganggu hubungan Irham sama Bunga mulai detik ini. Lo bukan cuma pelacur tapi lo juga pembawa sial.

17 maret 2016. 23.29

Air mata Mawar mungkin tidak sebanding dengan air mata Bunga. Kesedihan Mawar mungkin tidak sebanding dengan kesedihan Bunga. Tapi bukankah ia juga punya hak atas Irham. Bukankah ia juga berhak ada di samping Irham untuk melewati masa kritis pria itu. Tubuh Mawar merosot ditembok. Ia terduduk dan memeluk lututnya yang terasa dingin. Ia terisak, menangis tanpa suara.



***

Mawar menahan keinginannya itu mendekat dan memeluk batu nisan yang tengah di kerubuti oleh pelayat yang hampir semua memakai baju hitam. Ia terus menangis, tidak peduli sudah berapa banyak air mata yang keluar dari matanya. Menahan dingin yang menyergap kulitnya. Angin berhembus kencang, menandakan sebentar lagi langit bersiap menumpahkan muatannya. Ia masih bertahan di sana saat rintik hujan mulai membasahi gundukan tanah itu. Menatap orang-orang yang perlahan pergi meninggalkan tempat peristirahatan Irham.

Setelah memastikan tidak ada sosok yang tertinggal, ia melangkah gontai dan meluruh memeluk tanah basah itu. Menangis sejadi-jadinya. Mengindahkan tubuhnya yang sudah basah diguyur hujan.
"Irham..." lirihnya nyaris tidak terdengar. Selama ini hanya Irham satu-satunya alasan untuk ia bertahan hidup. Tidak ada yang lain karena Mawar memang sudah tidak punya siapa-siapa.
"Kenapa kamu ninggalin aku." Mawar tidak menyadari bahwa bibirnya mulai berubah warna. Seluruh kulitnya nyaris memucat.
Mawar semakin terisak saat menyadari ia bahkan tidak sempat memeluk Irham sebelum sosok itu masuk ke liang lahat. Ia tidak berada di sisi Irham saat pria itu dalam masa kritis dan menghembuskan napas terakhir. Mawar bahkan tidak sempat walau sekadar melirik Irham di ruang UGD karena Bunga tidak pernah meninggalkan Irham walau sedetik.

Mawar terkesiap saat siluet tegap itu berdiri di belakangnya dan mengarahkan payung di atasnya hingga tetes hujan tidak lagi menyapu kulitnya.

Mawar mengangkat wajah dan terkejut melihat Raka menatapnya dingin, tanpa ekspresi sedikitpun.

Mawar tidak berarti tanpa Irham. Mawar tidak berharga tanpa Irham dan sekarang Mawar harus terseok-seok menjalani hidup tanpa Irham

No comments:

Post a Comment