buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Tuesday 29 March 2016

Dia Mawarku (Tiga jam untuk Mawar)

Bunga memeluk figur Irham dalam sebuah bingkai foto. "Udah kak, mas Irham udah tenang." Bunga menoleh dan menatap adik semata wayangnya.
"Kakak nggak nyangka kalau Irham akan pergi secepat ini. Kakak ngerasa belum jadi istri yang baik buat dia." Raka memeluk Bunga. Mas Irham yang belum jadi suami yang baik buat kakak. Katanya dalam hati.
"Allah lebih sayang sama mas Irham." kata Raka. Atau Allah lebih sayang sama kakak supaya kakak nggak terus menerus di bohongi mas Irham.
"Kakak cinta banget sama dia." Raka mengelus pundak Bunga pelan. Mencoba mengalirkan ketenangan melalui sentuhannya. Setelah Irham meninggal memang Raka memutuskan untuk menemani kakaknya agar tidak kesepian. Apa kakak masih bisa bilang cinta kalau tahu ada sosok mawar diantara kalian?
"Udah kakak nggak boleh sedih lagi. Harus ikhlas biar mas Irham juga tenang. Nanti mama mau ke sini. Raka berangat kuliah dulu ya." Sekali lagi Raka mengusap pelan punggung Bunga lalu menghilang dari pandangan.
Bunga kembali menatap figur Irham yang tengah tersenyum tulus. Bagaimana ia bisa tanpa Irham. Tiap sudut rumah selalu di penuhi jejak Irham. Bayang-bayang Irham berkelebat cepat memenuhi sela-sela ruangan di rumah itu.
Bunga tidak pernah tau bahwa Irham bisa benar-benar pergi darinya. Dan sekarang ia harus memulai semuanya dari awal. Tanpa Irham.
"Aku juga suka sama kamu. Nanti kalau udah besar kita nikah ya?" seru Bunga sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Irham tersenyum lalu mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya. Menandakan janji yang tidak boleh diingkari oleh keduanya.
Irham tergesa-gesa menghampiri Bunga yang tengah terduduk di taman. "Maaf ya aku telat." kata Irham sambil duduk di samping Bunga yang sudah mengerucutkan bibirnya. "Ini udah jam berapa Irham?" Bunga menunjuk jam tangannya. Membuat senyum Irham melebar. "Iya iya maaf. Tadi aku keasikan maen basket. Aku traktir es krim ya." katanya sambil mencubit pipi Bunga. Dia tau, kalau Bunga tidak akan bisa menolak kalau sudah menyangkut es krim. "Nggak. Kamu udah kebiasaan telat mulu." Bunga mencebik kesal, membuat Irham semakin gemas. "Kan aku udah minta maaf. Es krimnya dua deh." bujuknya lagi.
"Oke kalo begitu. Ayuk beli es krim." kata Bunga sambil menggandeng tangan Irham ke toko es langganan mereka.
"Ham tau nggak, tadi Mika nembak aku." kata Bunga dengan antusias. Irham yang sedang memakan es krimnya terhenti lalu menatap Bunga yang tampak cuek. "Terus? Kamu nggak terima kan?" tanya Irham.
"Nggak lah, aku kan udah punya kamu." jawabnya sambil tersenyum lebar. Tidak sadar bahwa tetesan es krim mengenai dasi biru tuanya.
Irham dan Bunga saling mencintai. Itu yang mereka tahu sehingga bertahun-tahun lamanya mereka menutup hati mereka dari laki-laki atau wanita lain. Bunga hanya fokus pada Irham. Tidak peduli bahwa di luar sana ada yang bisa mencintainya lebih dari Irham, begitupun sebaliknya.
Mereka terikat janji sewaktu kecil dan sejak saat itu, Bunga dan Irham hanya punya satu cita-cita. Menikah dan hidup bahagia.
Bukankah terdengar mudah dan indah. Persahabatan mereka berubah menjadi cinta yang semakin mengikat mereka. Betapa Bunga begitu optimis walau mereka tidak pernah menyandang kata 'pacaran'. Yang Irham tahu, ia harus menikahi Bunga dan yang Bunga tahu, ia akan di nikahi Irham.
***
Mawar meringkuk di sofanya. Kesehatannya menurun akhir-akhir ini sehingga ia masih memutuskan untuk istirahat alih-alih ke kampus untuk meneruskan hidupnya. Ia sering pusing dan mual karena kurang menjaga kesehatannya. Ia tidak makan dan tidur dengan teratur karena masih terus sibuk dengan bayang-bayang Irham.
"Kita nggak perlu mendapatkan sesuatu yang besar dulu untuk dapat bersyukur. Setiap pagi kamu harus sadar kalau napas yang masih di berikan Allah dan hal besar yang juga harus kamu syukuri setiap harinya. Jadi mulai sekarang, jangan terpaku dengan apa yang tidak kamu punya atau kelemahan kamu, kamu harus tau bahwa kamu bisa hidup adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Jadi, jangan pernah sia-siakan untuk melulu terpuruk dalam kesedihan." Irham mengusap rambut Mawar sambil tersenyum.
Kepingan kejadian itu membuat Mawar sadar bahwa ia harus bangkit dan kembali melanjutkan hidupnya. Ia tahu kalau Irham akan kecewa melihatnya terus menerus terpuruk dalam kesedihan.
Bola matanya menyapu sekeliling ruangan. Ia menatap gambar Irham satu persatu. "Aku janji akan jadi orang hebat. Demi kamu. Makasih udah membiarkan aku merasakan hidup sampai saat ini." setetes air mata Mawar menitik.
***
Hari ini Raka membelokkan mobilnya ke kawasan apartemen Mawar karena tau sosok itu tidak akan dilihatnya di kampus.
Ia mengetuk pintu apartemen itu sampai sosok mawar berdiri di balik pintu. Raka menatapnya dari atas sampai bawah. Menyadari bahwa keadaan Mawar sudah lebih baik dari terakhir kali mereka bertemu.
"Kenapa lagi?" tanya Mawar, masih tidak memberi celah untuk Raka masuk ke apartemennya. "Kita perlu bicara?" kata Raka. "Bicara apa lagi?" Raka bisa mendengar nada putus asa dalam ucapan Mawar.
"Gue harus tau siapa lo dan sejak kapan lo kenal mas Irham."
Mawar menelan ludah dengan susah payah.
"Seperti yang lo tau. Gue simpanan, gue cuma simpanan Irham." sejujurnya Mawar malas kalau harus kembali bercerita mengenai pertemuannya dengan Irham. Terlalu panjang dan ia bahkan bingung harus memulai dari mana. Biarlah Raka berfikir kalau ia memang cuma simpanan.
Raka menggeleng pelan. "Jangan bohong, gue ada di samping mas Irham saat dia kecelakaan. Dia bilang lo bukan simpanan." Mawar terkejut mendengar pengakuan Raka. "Dia bilang apa aja?"
"Dia bilang lo istrinya." Mawar terhenyak. Untuk pertama kalinya Irham memberitahukan statusnya kepada orang lain. Rasa bahagia karena merasa diakui menyesap melalui sela-sela nadinya. Ia sadar bahwa kalau bisa, Irham mungkin akan bilang kalau kalau ia beruntung memiliki Mawar.
Mawar menarik napas panjang lalu pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh dan menyajikannya di depan Raka.
Raka terdiam lalu menatap cangkir itu tak acuh. Ia tidak butuh teh, ia hanya butuh Mawar menceritakan semuanya. Hingga ia tidak terus di hinggapi rasa penasaran dan rasa bersalah.
"Akan terlalu panjang kalau gue ceritain sama lo. Lebih baik gue jawab pertanyaan lo." Itu solusi yang di tawarkan Mawar agar ia tidak perlu lagi mengingat Irham yang semakin membuatnya sedih.
"Oke. Sejak kapan lo kenal mas Irham?"
"Tujuh tahun yang lalu, kurang lebih."
"Kapan kalian menikah?"
"Dua setengah tahun yang lalu." Raka merasakan kulitnya seperti terciprat minyak panas. Bagaimana mungkin, Bunga dan Irham bahkan baru menikah satu setengah tahun yang lalu. Jadi Mawar benar-benar istri pertama. Tapi baginya, Mawar tetap merebut Irham dari Bunga.
"Di mana lo ketemu sama mas Irham pertama kali?"
"Di Surabaya." Raka mengacak-acak rambutnya. Ini tidak akan berhasil, ia tidak mungkin menyatukan potongan-potongan jawaban Mawar menjadi satu cerita.
"Lo tau Irham udah punya Bunga? Mereka udah tunangan sebelum kalian nikah kan?"
Mawar mengangguk pelan dan hati Raka mencelos. "Lo emang pelacur, lo tau Irham udah punya Bunga, terus kenapa lo mau di nikahin Irham?"
Mawar terdiam. "Karena gue cinta sama dia." jawabnya akhirnya. Ia sudah terlanjur mencintai Irham. Sama seperti bagian tubuh yang sudah terlanjur diamputasi, bagian tubuh itu tidak akan bisa di kembalikan. Seperti perasannya pada Irham. Mawar tidak ingat sejak kapan, yang jelas rasa itu ada jauh sebelum Irham menyadari kalau ia juga mencintai Mawar.
"Lo sadar kalau cinta lo bikin Bunga sakit? Kalian sama-sama perempuan, apa lo nggak mikir gimana Bunga?"
Raka menajamkan tatapannya pada Mawar. Tapi gadis itu tampak lebih terkendali kali ini. Napasnya tampak teratur dan air mukanya tampak tenang.
"Yang sakit itu gue. Gue tau Bunga sedangkan Bunga nggak tau gue. Gue yang lebih harus memaklumi di sini."
"Gue istri pertamanya, tapi gue terima di jadikan yang kedua. Dalam satu hari, gue cuma punya waktu tiga jam sama Irham. Sedangkan Bunga, dia bisa merasakan setiap malam bergelung di pelukan Irham. Menyiapkan dia sarapan, berlaku sebagai seorang istri terbaik sedangkan gue? Gue cuma Mawar yang mungkin nggak lebih baik dari simpanan. Tapi gue sayang sama Irham, gue cinta sama dia. Gue nggak mau berharap banyak, cukup tiga jam sama dia."
"Bunga harus tau tentang lo." Mata Mawar membulat. Ia tersenyum sumbang. "Buat apa?"
"Jaga-jaga kalau Irham ninggalin warisan buat lo." Mawar tidak pernah peduli dengan harta yang Irham punya. Ia bahkan tidak berminat dengan aset-aset suaminya. Kalau boleh memilih, ia lebih baik miskin bersama Irham.
Raka hanya ingin Bunga tahu mengenai Mawar, jangan sampai nama itu di sebut dalam surat wasiat dan Bunga pingsan seketika. Perlahan, lama- kelamaan Bunga harus tahu. Meski ia akan mencaci-maki Mawar setelahnya. Meski ia harus sakit hati dan kecewa. Sekarang, Mawar harus menanggung kebencian dari Bunga. Raka akan pastikan itu.
"Pengacara akan bacakan surat wasiat itu sebulan lagi."
"Gue nggak butuh harta itu. Berikan saja semua sama Bunga." Ia bahkan rela meninggalkan apartemen ini kalau Raka menginginkannya. Ia hanya punya satu permintaan. Izinkan ia membawa semua figur Irham yang tercetak di sana. Foto-fotonya, bahkan post it-post it pesan cinta Irham pada Mawar.
"Oke terserah. Yang jelas, lo harus cerita dari awal lo ketemu sama mas Irham." kata Raka dengan nada keras. Membuat Mawar berpikir sejenak dari mana ia harus memulai ceritanya.
***
Irham merasakan sakit di sekujur tubuhnya. "Bunga harus tahu tentang Mawar." katanya dengan susah payah. Raka yang sedang sibuk menghalau air matanya terpaksa kembali fokus pada Irham yang tergolek lemah sementara ambulance itu melesak semakin cepat membelah kemacetan. Raka menggeleng, mana mungkin ia tega menghancurkan hati kakaknya dengan memberitahukan sosok Mawar.
"Aku meninggalkan beberapa warisan untuknya." Raka memberanikan diri mengusap pipi Irham yang sudah di penuhi oleh darah segar.
"Sampaikan maafku pada Bunga dan Mawar. Katakan aku mencintainya." Irham kembali memejamkan matanya. Raka tidak tahu siapa yang di maksud di cintai Irham. Bunga atau Mawar?

No comments:

Post a Comment