buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Tuesday 29 March 2016

Dia Mawarku (Tiga jam untuk Mawar)

Bunga memeluk figur Irham dalam sebuah bingkai foto. "Udah kak, mas Irham udah tenang." Bunga menoleh dan menatap adik semata wayangnya.
"Kakak nggak nyangka kalau Irham akan pergi secepat ini. Kakak ngerasa belum jadi istri yang baik buat dia." Raka memeluk Bunga. Mas Irham yang belum jadi suami yang baik buat kakak. Katanya dalam hati.
"Allah lebih sayang sama mas Irham." kata Raka. Atau Allah lebih sayang sama kakak supaya kakak nggak terus menerus di bohongi mas Irham.
"Kakak cinta banget sama dia." Raka mengelus pundak Bunga pelan. Mencoba mengalirkan ketenangan melalui sentuhannya. Setelah Irham meninggal memang Raka memutuskan untuk menemani kakaknya agar tidak kesepian. Apa kakak masih bisa bilang cinta kalau tahu ada sosok mawar diantara kalian?
"Udah kakak nggak boleh sedih lagi. Harus ikhlas biar mas Irham juga tenang. Nanti mama mau ke sini. Raka berangat kuliah dulu ya." Sekali lagi Raka mengusap pelan punggung Bunga lalu menghilang dari pandangan.
Bunga kembali menatap figur Irham yang tengah tersenyum tulus. Bagaimana ia bisa tanpa Irham. Tiap sudut rumah selalu di penuhi jejak Irham. Bayang-bayang Irham berkelebat cepat memenuhi sela-sela ruangan di rumah itu.
Bunga tidak pernah tau bahwa Irham bisa benar-benar pergi darinya. Dan sekarang ia harus memulai semuanya dari awal. Tanpa Irham.
"Aku juga suka sama kamu. Nanti kalau udah besar kita nikah ya?" seru Bunga sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Irham tersenyum lalu mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya. Menandakan janji yang tidak boleh diingkari oleh keduanya.
Irham tergesa-gesa menghampiri Bunga yang tengah terduduk di taman. "Maaf ya aku telat." kata Irham sambil duduk di samping Bunga yang sudah mengerucutkan bibirnya. "Ini udah jam berapa Irham?" Bunga menunjuk jam tangannya. Membuat senyum Irham melebar. "Iya iya maaf. Tadi aku keasikan maen basket. Aku traktir es krim ya." katanya sambil mencubit pipi Bunga. Dia tau, kalau Bunga tidak akan bisa menolak kalau sudah menyangkut es krim. "Nggak. Kamu udah kebiasaan telat mulu." Bunga mencebik kesal, membuat Irham semakin gemas. "Kan aku udah minta maaf. Es krimnya dua deh." bujuknya lagi.
"Oke kalo begitu. Ayuk beli es krim." kata Bunga sambil menggandeng tangan Irham ke toko es langganan mereka.
"Ham tau nggak, tadi Mika nembak aku." kata Bunga dengan antusias. Irham yang sedang memakan es krimnya terhenti lalu menatap Bunga yang tampak cuek. "Terus? Kamu nggak terima kan?" tanya Irham.
"Nggak lah, aku kan udah punya kamu." jawabnya sambil tersenyum lebar. Tidak sadar bahwa tetesan es krim mengenai dasi biru tuanya.
Irham dan Bunga saling mencintai. Itu yang mereka tahu sehingga bertahun-tahun lamanya mereka menutup hati mereka dari laki-laki atau wanita lain. Bunga hanya fokus pada Irham. Tidak peduli bahwa di luar sana ada yang bisa mencintainya lebih dari Irham, begitupun sebaliknya.
Mereka terikat janji sewaktu kecil dan sejak saat itu, Bunga dan Irham hanya punya satu cita-cita. Menikah dan hidup bahagia.
Bukankah terdengar mudah dan indah. Persahabatan mereka berubah menjadi cinta yang semakin mengikat mereka. Betapa Bunga begitu optimis walau mereka tidak pernah menyandang kata 'pacaran'. Yang Irham tahu, ia harus menikahi Bunga dan yang Bunga tahu, ia akan di nikahi Irham.
***
Mawar meringkuk di sofanya. Kesehatannya menurun akhir-akhir ini sehingga ia masih memutuskan untuk istirahat alih-alih ke kampus untuk meneruskan hidupnya. Ia sering pusing dan mual karena kurang menjaga kesehatannya. Ia tidak makan dan tidur dengan teratur karena masih terus sibuk dengan bayang-bayang Irham.
"Kita nggak perlu mendapatkan sesuatu yang besar dulu untuk dapat bersyukur. Setiap pagi kamu harus sadar kalau napas yang masih di berikan Allah dan hal besar yang juga harus kamu syukuri setiap harinya. Jadi mulai sekarang, jangan terpaku dengan apa yang tidak kamu punya atau kelemahan kamu, kamu harus tau bahwa kamu bisa hidup adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Jadi, jangan pernah sia-siakan untuk melulu terpuruk dalam kesedihan." Irham mengusap rambut Mawar sambil tersenyum.
Kepingan kejadian itu membuat Mawar sadar bahwa ia harus bangkit dan kembali melanjutkan hidupnya. Ia tahu kalau Irham akan kecewa melihatnya terus menerus terpuruk dalam kesedihan.
Bola matanya menyapu sekeliling ruangan. Ia menatap gambar Irham satu persatu. "Aku janji akan jadi orang hebat. Demi kamu. Makasih udah membiarkan aku merasakan hidup sampai saat ini." setetes air mata Mawar menitik.
***
Hari ini Raka membelokkan mobilnya ke kawasan apartemen Mawar karena tau sosok itu tidak akan dilihatnya di kampus.
Ia mengetuk pintu apartemen itu sampai sosok mawar berdiri di balik pintu. Raka menatapnya dari atas sampai bawah. Menyadari bahwa keadaan Mawar sudah lebih baik dari terakhir kali mereka bertemu.
"Kenapa lagi?" tanya Mawar, masih tidak memberi celah untuk Raka masuk ke apartemennya. "Kita perlu bicara?" kata Raka. "Bicara apa lagi?" Raka bisa mendengar nada putus asa dalam ucapan Mawar.
"Gue harus tau siapa lo dan sejak kapan lo kenal mas Irham."
Mawar menelan ludah dengan susah payah.
"Seperti yang lo tau. Gue simpanan, gue cuma simpanan Irham." sejujurnya Mawar malas kalau harus kembali bercerita mengenai pertemuannya dengan Irham. Terlalu panjang dan ia bahkan bingung harus memulai dari mana. Biarlah Raka berfikir kalau ia memang cuma simpanan.
Raka menggeleng pelan. "Jangan bohong, gue ada di samping mas Irham saat dia kecelakaan. Dia bilang lo bukan simpanan." Mawar terkejut mendengar pengakuan Raka. "Dia bilang apa aja?"
"Dia bilang lo istrinya." Mawar terhenyak. Untuk pertama kalinya Irham memberitahukan statusnya kepada orang lain. Rasa bahagia karena merasa diakui menyesap melalui sela-sela nadinya. Ia sadar bahwa kalau bisa, Irham mungkin akan bilang kalau kalau ia beruntung memiliki Mawar.
Mawar menarik napas panjang lalu pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh dan menyajikannya di depan Raka.
Raka terdiam lalu menatap cangkir itu tak acuh. Ia tidak butuh teh, ia hanya butuh Mawar menceritakan semuanya. Hingga ia tidak terus di hinggapi rasa penasaran dan rasa bersalah.
"Akan terlalu panjang kalau gue ceritain sama lo. Lebih baik gue jawab pertanyaan lo." Itu solusi yang di tawarkan Mawar agar ia tidak perlu lagi mengingat Irham yang semakin membuatnya sedih.
"Oke. Sejak kapan lo kenal mas Irham?"
"Tujuh tahun yang lalu, kurang lebih."
"Kapan kalian menikah?"
"Dua setengah tahun yang lalu." Raka merasakan kulitnya seperti terciprat minyak panas. Bagaimana mungkin, Bunga dan Irham bahkan baru menikah satu setengah tahun yang lalu. Jadi Mawar benar-benar istri pertama. Tapi baginya, Mawar tetap merebut Irham dari Bunga.
"Di mana lo ketemu sama mas Irham pertama kali?"
"Di Surabaya." Raka mengacak-acak rambutnya. Ini tidak akan berhasil, ia tidak mungkin menyatukan potongan-potongan jawaban Mawar menjadi satu cerita.
"Lo tau Irham udah punya Bunga? Mereka udah tunangan sebelum kalian nikah kan?"
Mawar mengangguk pelan dan hati Raka mencelos. "Lo emang pelacur, lo tau Irham udah punya Bunga, terus kenapa lo mau di nikahin Irham?"
Mawar terdiam. "Karena gue cinta sama dia." jawabnya akhirnya. Ia sudah terlanjur mencintai Irham. Sama seperti bagian tubuh yang sudah terlanjur diamputasi, bagian tubuh itu tidak akan bisa di kembalikan. Seperti perasannya pada Irham. Mawar tidak ingat sejak kapan, yang jelas rasa itu ada jauh sebelum Irham menyadari kalau ia juga mencintai Mawar.
"Lo sadar kalau cinta lo bikin Bunga sakit? Kalian sama-sama perempuan, apa lo nggak mikir gimana Bunga?"
Raka menajamkan tatapannya pada Mawar. Tapi gadis itu tampak lebih terkendali kali ini. Napasnya tampak teratur dan air mukanya tampak tenang.
"Yang sakit itu gue. Gue tau Bunga sedangkan Bunga nggak tau gue. Gue yang lebih harus memaklumi di sini."
"Gue istri pertamanya, tapi gue terima di jadikan yang kedua. Dalam satu hari, gue cuma punya waktu tiga jam sama Irham. Sedangkan Bunga, dia bisa merasakan setiap malam bergelung di pelukan Irham. Menyiapkan dia sarapan, berlaku sebagai seorang istri terbaik sedangkan gue? Gue cuma Mawar yang mungkin nggak lebih baik dari simpanan. Tapi gue sayang sama Irham, gue cinta sama dia. Gue nggak mau berharap banyak, cukup tiga jam sama dia."
"Bunga harus tau tentang lo." Mata Mawar membulat. Ia tersenyum sumbang. "Buat apa?"
"Jaga-jaga kalau Irham ninggalin warisan buat lo." Mawar tidak pernah peduli dengan harta yang Irham punya. Ia bahkan tidak berminat dengan aset-aset suaminya. Kalau boleh memilih, ia lebih baik miskin bersama Irham.
Raka hanya ingin Bunga tahu mengenai Mawar, jangan sampai nama itu di sebut dalam surat wasiat dan Bunga pingsan seketika. Perlahan, lama- kelamaan Bunga harus tahu. Meski ia akan mencaci-maki Mawar setelahnya. Meski ia harus sakit hati dan kecewa. Sekarang, Mawar harus menanggung kebencian dari Bunga. Raka akan pastikan itu.
"Pengacara akan bacakan surat wasiat itu sebulan lagi."
"Gue nggak butuh harta itu. Berikan saja semua sama Bunga." Ia bahkan rela meninggalkan apartemen ini kalau Raka menginginkannya. Ia hanya punya satu permintaan. Izinkan ia membawa semua figur Irham yang tercetak di sana. Foto-fotonya, bahkan post it-post it pesan cinta Irham pada Mawar.
"Oke terserah. Yang jelas, lo harus cerita dari awal lo ketemu sama mas Irham." kata Raka dengan nada keras. Membuat Mawar berpikir sejenak dari mana ia harus memulai ceritanya.
***
Irham merasakan sakit di sekujur tubuhnya. "Bunga harus tahu tentang Mawar." katanya dengan susah payah. Raka yang sedang sibuk menghalau air matanya terpaksa kembali fokus pada Irham yang tergolek lemah sementara ambulance itu melesak semakin cepat membelah kemacetan. Raka menggeleng, mana mungkin ia tega menghancurkan hati kakaknya dengan memberitahukan sosok Mawar.
"Aku meninggalkan beberapa warisan untuknya." Raka memberanikan diri mengusap pipi Irham yang sudah di penuhi oleh darah segar.
"Sampaikan maafku pada Bunga dan Mawar. Katakan aku mencintainya." Irham kembali memejamkan matanya. Raka tidak tahu siapa yang di maksud di cintai Irham. Bunga atau Mawar?

Thursday 24 March 2016

Dia Mawarku (Pesan rindu untuk Mawar)

Raka melakukan kegiatannya seperti biasa. Menunggu Irham di depan apartemen Mawar dan mengikutinya hingga sampai di rumah. Di tengah hujan deras dan jarak pandang yang terbatas. Ia nyaris berteriak saat melihat mobil dari arah berlawanan melaju kencang dan menabrak mobil Irham. Suara deru tabrakan mengaung mengalahkan bunyi hujan. Ia dan orang di sekitar langsung keluar. Mencoba melihat kondisi si pemilik mobil.

"Mas Irham." teriaknya. Ia melihat Irham menatapnya lirih dengan darah yang sudah mengucur deras dari kepalanya. Tapi butuh waktu lebih dari setengah jam untuk menyelamatkan Irham dari posisinya yang terjepit dan mobilnya yang sudah terbalik. Setelah mobil ambulance datang dan sosok lemah itu berhasil di selamatkan, ia ikut menemani Irham di mobil ambulance.
Darah Raka berdesir melihat kondisi Irham. Wajahnya di penuhi darah segar yang tidak henti-hentinya mengalir.
"Raka." Raka memusatkan pandangannya pada Irham yang memejamkan matanya. Tapi ia yakin ia tidak salah dengar, Irham memanggilnya lirih. Raka lekas menggenggam tangan Irham. "Iya mas. Raka di sini." katanya dan ia melihat Irham membuka matanya dengan susah payah.
"Mawar.... Dia bukan simpanan... Dia istriku... Istri sahku... Istri pertamaku." kata Irham dengan terbata-bata, membuat Raka nyaris tidak percaya.
"Dia Mawarku... Tolong jaga dia... Kalau perlu nikahi dia.. Dia tidak punya siapa- siapa..." Irham kembali memejamkan matanya dan Raka memandanganya dengan tatapan kosong.
***
Untuk pertama kalinya ia mengirim pesan singat ke nomor yang sudah begitu lama ada di ponselnya tapi selalu ia abaikan. Ia lebih nikmat menghina Mawar di depan wajah gadis itu langsung dari pada menerornya melalui pesan. Reaksi Mawar bahkan tangisannya merupakan hiburan paling mewah buatnya. Salah satu tujuannya setelah mengetahui si tokoh abu-abu itu adalah menguarkan kebencian buat Mawar. Apapun yang bisa menyadarkan Mawar bahwa ia adalah wanita yang tidak punya harga diri. Dia adalah perempuan murahan. Dia tak lebih dari pelacur perusak rumah tangga orang. Rumah tangga kakaknya, Bunga dan Irham.
Siapa yang harus menanggung dosa rasa tak terbalaskan kakaknya pada Irham? Mawar
Siapa yang harus menanggung sikap dingin Irham pada Bunga? Mawar
Siapa yang bertanggung jawab atas tatapan kesedihan Bunga tiap menunggu Irham pulang? Mawar
Siapa penyebab renggangnya hubungan Irham dan Bunga? Mawar
Siapa yang patut disalahkan atas waktu yang tidak pernah diberikan Irham pada Bunga? Mawar
Mawar adalah jawabannya. Mawar adalah dalang di balik semua ini. Dan yang pasti Mawar adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas kerikil tajam dalam rumah tangga kakaknya.
"Mawar.... Dia bukan simpanan... Dia istriku... Istri sahku... Istri pertamaku."
Kata itu terus berulang seperti sengaja di putar di telinga Raka. Membuat kepala Raka pusing.
Tubuh Raka mulai menggigil. Tapi bagaimana mungkin sosok yang kini tengah memeluk gundukan tanah itu seolah mati rasa. Apa ia tidak merasakan angin dingin yang menusuk tulang ataupun cipratan air yang membuat kulitnya membeku.
"Aku nggak bisa tanpa kamu." Raka bisa mendengar suara gadis itu bergetar. Entah sudah kalimat ke berapa ribu, yang jelas Mawar tidak bosan menggumamkan bagaimana ia mencintai Irham dan tidak bisa hidup tanpa pria itu. Membuat Dahi Raka berkerut dalam. Sebegitu cintanyakah?
Raka menggeleng pelan. Mawar hanya merasa kehilangan sosok yang selalu menyuplai kebutuhannya. Tidak ada yang sanggup menandingi cinta Bunga pada Irham. Hanya Bunga, kakaknya.
"Dia nggak akan bangun sekalipun lo nangis darah." kata-kata itu sekali lagi menyadarkan Mawar bahwa ia tidak sendiri. Ada Raka yang masih berdiri di sampingnya.
"Gue cuma mau di sini." Mawar makin erat menyerukkan tangannya ke tanah. Membuat kemeja hitam panjangnya berlumuran tanah.
"Gue nggak mau dua kali jadi saksi mata kematian." Mawar mendongkak. Menatap sepasang iris mata Raka yang tampak dingin. Mawar bangun perlahan. Mengibaskan tanah yang sudah menempel di kemeja dan celananya.
Pandangan mereka bertemu, Raka menyadari bahwa mata Mawar merah dan membengkak. Gadis itu menarik nafas panjang lalu mengusap sisa air mata di pipinya.
"Makasih udah bolehin gue ke sini. Makasih karena lo nggak ngusir gue." Air mata Mawar kembali lolos dan ia berjalan meninggalkan Raka yang masih terpaku di tempat. Raka berbalik, melihat siluet Mawar keluar dari area pemakaman. Menembus hujan yang semakin deras.
***
Mawar terpaku mendengar bel di pintu apartemennya. Ia melirik jam dindingnya. Tepat seperti biasa. "Irham." katanya sambil berlari ke pintu dan terkejut melihat Raka yang berdiri di depan apartemennya. Hatinya mencelos seketika. Bodohnya, bagaimana mungkin ia bisa berpikir bahwa Irham yang memencet bel padahal pria itu sudah tenang di surga. Sudah empat hari sejak kematian Irham, Mawar masih berada di antara alam sadarnya.
Sore, terkadang ia masih mengharap Irham datang tapi setelah melihat waktu bergulir dan tak juga mendatangkan sosok Irham, saat itulah ia benar-benar sadar bahwa Irham sudah meninggalkannya.
"Ada apa?" tanyanya lemah. Ia tidak peduli lagi pada Raka. Ia tidak peduli kalau laki-laki itu mau menghinanya. Ia bahkan rela jika Raka membalas dendam sakit hati Bunga dengan membunuhnya kalau saja hal itu bisa mempertemukannya dengan Irham. Pria yang dicintainya.
"Kita perlu bicara." kata Raka. Ia tahu ia datang di saat yang tidak tepat karena melihat keadaan Mawar yang acak-acakan. Wajahnya kuyu dengan lingkar mata yang menghitam ditambah kantung mata yang membuatnya semakin tidak terurus. Ia bahkan tidak tahu sudah berapa hari gadis itu tidak membersihkan diri.
"Nggak ada yang perlu di bicarakan." kata Mawar datar. Kematian Irham berhasil membawa setengah jiwa Mawar.
"Ada." kata Raka sambil menerobos masuk dan tertegun melihat apartemen Mawar. Bukan kemewahan yang menyita perhatiannya. Tapi ada puluhan foto Irham dan Mawar yang tertempel di dinding, di frame-frame di atas meja. Foto Mawar dan Irham dalam berbagai kesempatan.
Delapan buah album foto tergeletak di meja dan sofa ruang tamu. Apartemen itu penuh dengan jejak kenangan Irham dan Mawar.
Raka menarik napas panjang lalu duduk di sofa. Mengambil salah satu album foto yang ada di atas meja. Foto Irham dan Mawar hanya foto sederhana. Bukan foto dengan latar belakang tempat liburan ataupun kafe mahal. Foto itu diambil di dalam apartemen Mawar. Salah satu foto berhasil menyita perhatiannya. Foto Irham dan Mawar yang masih berseragam SMA dan tanggal yang tercetak di pojok kanan bawah lembar foto itu membuat matanya membulat.
15 Juli 2009
Enam tahun yang lalu. Sudah selama itu? Betapa pintar Irham menyembunyikan rahasianya.
***
Mawar masih diam saat ia duduk di depan Raka yang juga terdiam. Bingung mau memulai dari mana. Yang jelas Raka harus tau sudah sejak kapan hubungan Mawar dengan Irham.
"Kalau lo dateng ke sini buat menghina gue. Maaf tapi gue masih dalam keadaan berduka." Mawar menunduk, mengambil satu album foto itu dan mengusap pelan wajah Irham. "Sejak kapan lo kenal mas Irham?" tanya Raka. Ia sudah tidak tahan berdiam diri.
"Tujuh tahun, mungkin. Entahlah, sepertinya sudah lama sekali." katanya terbata-bata. Mawar menekuk kakinya dan memeluknya, membuat Raka mendesah pelan. Menyadari bahwa ia berada dalam situasi yang tidak tepat.
Suara denting pesan menggema. Membuat Mawar terjaga dan langsung menyambar ponselnya di atas meja. Ia kembali menunduk saat menyadari bahwa bunyi itu bukan berasal dari ponselnya. Jam segini biasanya Irham akan mengiriminya pesan hanya untuk menanyakan bagaimana keadaanya, sedang apa atau perhatian-perhatian kecil lainnya.
Raka merogoh ponselnya saat menyadari bunyi itu berasal dari ponselnya. Menemukan sebuah pesan di sana. Mengabaikan pesan itu, Raka menatap Mawar yang nampak belum sepenuhnya menerima bahwa Irham sudah tidak ada.
"Mawar." katanya. Wanita itu bergeming. Masih memeluk lututnya dengan posesif.
Raka menelan ludah lalu memberanikan diri duduk di samping Mawar. "Mawar." katanya lebih keras tapi suaranya terdengar seperti hembusan angin di telinga Mawar.
"Lo harus jelasin semuanya sama gue." kata Raka dan memang itu tujuan ia menginjakkan kaki di tempat ini.
"Irham." Mawar melirih. Raka masih menatapnya dengan tatapan bingung lalu menyentuh bahu Mawar. Gadis itu tersentak dan langsung menoleh ke sebelah. Menatap Raka dengan tatapan sulit di artikan. "Irham." katanya lagi lalu bergerak memeluk Raka. Raka terkejut, tapi ia hanya diam saat merasakan pelukan Mawar semakin mengerat. Gadis itu diam, hanya memeluk Raka. Mencari kehangatan yang biasanya ia dapatkan dari Irham hingga akhirnya ia memejamkan matanya dan tertidur.
Raka terpaksa menggendong Mawar yang sudah pulas ke satu-satunya kamar yang ada di sana. Kamar itu luas dan di dominasi warna pastel yang menyejukkan. Perlahan ia menjatuhkan tubuh Mawar dan menidurkannya di ranjang. Ia menatap sekeliling. Foto-foto Irham terhampar hampir di setiap sudut dan yang paling membuatnya ternganga ada foto Irham dan Mawar yang di cetak dengan ukuran besar. Terpampang di dinding dengan senyum sumringah, tidak hanya itu, mereka berdua tengah memegang buku nikah di tangan masing-masing. Irham memakai stelan jas lengkap dengan kopiah sedangkan Mawar tampak cantik dengan kebaya sederhana. Raka mencoba menelaah senyum mereka. Senyum Bahagia, sangat bahagia. Walaupun ia bukan mahasiswa psikologi, ia masih bisa membedakan antara cinta dan tidak. Ia bisa membedakan senyum Irham yang tercetak di tiap foto bersama Mawar dengan senyum yang ia berikan untuk Bunga, istrinya. Senyum itu berbeda. Membuat hatinya tiba-tiba terasa sakit.
Matanya menyapu ruangan itu. Ia tidak bisa membayangkan apa yang sudah di lakukan Irham dan Mawar di kamar ini. Membuat tangannya terkepal secara refleks. Bayangan bagaimana tatapan cemas Bunga setiap menanti Irham menguasainya. Berkeliling mesra di otaknya.
Ia mendekat ke meja belajar dan menyalakan laptop yang bertengger di sana. Lagi-lagi foto Irham dan Mawar menghiasi dekstop background. Dengan lancang ia membuka menu my picture dan hatinya terasa di hantam batu begitu keras. Di sana, ia melihat lebih banyak foto Mawar dan Irham. Tidak sanggup lagi, ia menutup laptop itu dan membaca beberapa post it yang tertempel di meja itu.
-Mawar harus rajin belajar ya.-
-Mawar nggak sendiri. Ada aku yang akan selalu ada buat kamu.-
-Selamat sayang atas kelulusannya.-
-Besok aku beli kaset DVD film terbaru biar kamu tetep update.-
-Layaknya mawar putih yang tidak akan pernah bisa menjadi mawar merah. Kamu tidak butuh menjadi orang lain untuk di cintai.-
Dan catatan-catatan kecil lainnya yang di tulis Irham untuk Mawar. Raka menelan ludah. Menyadari bahwa Mawar mungkin benar-benar kehilangan Irham. Tidak kuat dengan sebagian kebenaran yang berputar di otaknya. Ia memutuskan untuk keluar dari apartemen itu dan memutuskan akan kembali lain kali.
***
"Siapa bilang kamu nggak punya alasan untuk hidup?" Irham menatap Mawar yang terdiam kaku. "Kamu harus inget kalau kamu punya aku. Kamu Mawarku dan kamu harus hidup supaya bisa terus sama aku." Irham mengelus rambut Mawar sambil tersenyum. "Kamu tau kalau Untuk benar-benar menjadi besar, seseorang harus berdampingan dengan orang lain, bukan di atas orang lain." Mawar mendongkak. Menatap bola mata bening milik Irham. "Kamu tau kalau aku ingin jadi besar dan aku butuh kamu. Kalau kamu nggak butuh aku nggak apa-apa. Tapi kamu harus ingat kalau aku butuh kamu. Apa itu cukup buat jadi alasan kamu untuk tetap bertahan hidup?" kebekuan hati Mawar mencair dan ia memberanikan diri memeluk Irham. 
Sekelebat bayang-bayang itu menyusup masuk ke pikiran Mawar. Kalau dulu Ia bertahan hidup untuk Irham dan Irham bertahan hidup untuknya. Apa sekarang ia masih punya alasan untuk hidup?
Hujan turun hampir setiap hari. Langit seakan tahu kalau Mawar masih menginginkan kehadiran Irham. Tetesan hujan yang membasahi bumi seperti bukti alam kalau Mawar masih sangat berduka. Sampai detik ini. 
Ia menatap tetesan hujan yang membasahi kaca kafe tempatnya merenung. Berharap tiap tetesan hujan itu menghantar rindunya pada Irham. Masih begitu sulit menerima kenyataan yang bahkan sudah terpampang nyata di depannya. 
Mawar menarik napas panjang. Mencoba menahan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya. 
"Kamu tau kalau hujan adalah penghantar rindu paling mujarab." Irham mengeratkan pelukannya pada Mawar. "Ada orang yang percaya kalau tiap hujan turun, tetesan itu menghantarkan pesan rindu dari orang yang ia sayang." Irham melanjutkan. "Jadi percayalah, saat aku nggak ada di samping kamu dan saat itu turun hujan. Tuhan sedang menyampaikan rinduku padamu."
Mawar terlalu lemah. Air mata itu jatuh juga. Seperti air yang meresap dalam tanah. Hujan pesan rindu yang disampaikan Irham sudah sampai ke hatinya. Menyesap begitu dalam. 
Mawar sudah lama tidak merasakan kehilangan orang yang disayanginya. Dan ternyata rasanya masih sama. Begitu perih dan menyakitkan. Lebih sakit dari kulitnya yang beradu dengan dinginnya belati dan bahkan lebih perih dari luka luar yang di teteskan jeruk nipis. Mawar bersumpah dari semua kesakitan masa lalunya, ini jauh lebih sakit. Berpuluh-puluh kali lipat lebih sakit dan Mawar tau bahwa obat yang berhasil menyembuhkan luka lamanya telah tiada. 
Dan sekarang, ia harus meminta penawar luka ini pada siapa? 
"Aku tidak sanggup tuhan." lirihnya sambil menyeka air matanya dengan tisu. Tidak peduli beberapa pasang mata secara terang-terangan menatapnya.
Memandangnya dengan bingung dan kasihan. Tapi Mawar tidak peduli. Ia hanya ingin menatap pesan rindu yang dikirimkan Irham lewat hujan.

Tuesday 22 March 2016

Dia Mawarku (Mawar bukan Bunga)


"Gue bukan simpanan." Mawar menatap lekat laki-laki di depannya. Matanya menyalang tajam. Berusaha tidak menangis walau ia sadar kalau sudah ada lapisan bening di kedua bola matanya.
"Terus apa namanya kalau bukan simpanan? Dari mana lo bisa kuliah kalau lo aja nggak kerja, lo yatim piatu dan lo nggak punya siapa-siapa di sini, lo juga bukan mahasiswi pinter yang bisa dapet beasiswa." Mata Raka menyalang tajam dengan suara yang menyentak dan gadis di depannya tidak sanggup lagi karena sebulir air matanya lolos. Raka tersenyum, ia tidak menyadari bahwa ia baru saja menusukkan belati tepat ke hati Mawar. Tidak cukup, laki-laki itu mengoyaknya. Menciptakan luka menganga di hati Mawar.
"Dasar wanita murahan." Raka tersenyum kecut. Berusaha menyadarkan gadis di depannya bahwa ia tak lebih dari sampah. Tidak berguna, tidak patut ada dan ia harus tau bahwa Raka membencinya.
"GUE BUKAN SIMPANAN. Beribu kali pun lo bilang begitu. Gue nggak peduli." Mawar menegakkan bahunya dan mendorong bahu lebar Raka hingga menjauh dari laki-laki itu.
Raka menendang salah satu kaki meja di ruang kelasnya. Meruntuk kasar dan mengumpat mendengar kata-kata terakhir Mawar. "Lo harus tau kalau lo nggak lebih dari pelacur perusak rumah tangga orang."


***

Mawar menjatuhkan diri di taman di belakang kampusnya. Mencoba menarik nafas panjang hingga udara sore itu mulai memenuhi rongga pernapasannya. Kata-kata Raka terus terngiang di kepalanya. Berputar seperti sebuah slide yang sedang mempertontonkan rekamannya.

Raka salah, omongan Raka tidak benar. Hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Mawar untuk membantah semua tuduhan Raka. Raka tidak tahu apa-apa dan tidak seharusnya laki- laki itu mencampuri urusannya.
Raka tidak tahu apa-apa mengenai hidupnya. Dia tidak punya hak menodongkan jari telunjuknya untuk menghina Mawar.


***

Irham masuk ke apartemen itu dan menemukan Mawar tengah bersantai di rumah tamu dengan sebuah laptop di pangkuannya. "Di luar hujan deras." kata Irham sambil duduk di sebelah Mawar dan mengecup keningnya mesra. "Aku buatin teh hangat dulu." kata Mawar tapi belum sempat ia berdiri, tangan Irham mencekalnya. "Nanti aja." katanya lalu merengkuh Mawar dalam pelukannya. Terasa hangat. Batin Mawar. Pelukan yang sama dengan betahun-tahun lalu yang berhasil memporak-porandakan hati Mawar dalam hitungan detik. Mawar tidak pernah bosan biarpun laki-laki itu sudah memeluknya ratusan kali. Mawar selalu merindukannya, bahkan setiap malam.
"Ham, kamu pasti capek. Aku bikinin kamu teh sekalian makan malam ya." kata Mawar tepat di telinga Irham. Irham melepas pelukannya lalu mengangguk. "Kamu istirahat di kamar aja." kata Mawar sambil berlalu dari pandangan Irham menuju dapur.

Irham masuk ke satu-satunya kamar yang ada di apartemen itu. Kamar Mawar, kamarnya, kamar mereka berdua. Kamar yang menjadi saksi bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Tempat yang selalu membuat Irham ingin pulang tapi ia juga sadar bahwa rumahnya bukan di sini. Mawar bukan rumah yang menjadi tujuannya pulang.


Aroma harum yang menguar membuat Irham tergelitik untuk menghampiri Mawar di dapur. "Pas banget. Ayo makan." kata Mawar saat melihat Irham berdiri di ambang pintu.

"Gimana kuliah kamu?" tanya Irham sambil mengunyah. "Baik, skripsi juga udah tahap akhir." Mawar bercerita lugas. Menceritakan kesehariannya di kampus tentu saja minus mengenai kejadiannya bersama Raka. Kegiatan ini rutin mereka lakukan. Setelahnya, Irham akan menceritakan kesehariannya di kantor. Bercerita mengenai klien-kliennya yang menyebalkan.

Mawar sering berandai-andai kalau ia dan Irham bisa berbagi kisah setiap saat. Bukan hanya saat Irham pulang dari kantornya dan mampir ke apartemen Mawar.


Jam menunjukkan pukul delapan saat mereka masih terlihat asik berceloteh di meja makan. Suara denting pesan mengalihkan perhatian mereka. Irham merogoh ponselnya dan menemukan sebuah pesan di sana.

"Udah waktunya pulang?" kata Mawar. Irham tersenyum kecil lalu mengangguk. "Aku pulang dulu ya. Besok aku transfer uang bulanan kamu." kata Irham sambil mencium dahi Mawar lalu menghilang di balik pintu apartemen.

Secepat itu. Kehangatan di apartemen itu selalu menghilang tiap pintu apartemen menghilangkan sosok Irham. Kemewahan di apartemen itu tidak serta merta membuat tiap ruang di sana terasa hidup. Bagi Mawar, hanya Irham yang bisa memberikan hawa kehidupan di tempat tinggalnya itu.

Hanya jejak Irham yang masih menyisakan aroma tubuh pria itu. Di Sofa, dapur bahkan ranjang di kamarnya. Aroma Irham melekat begitu kuat seperti sengaja di tinggalkan agar saat Mawar merindukan pria itu, Mawar tidak akan pernah melupakan wangi khasnya.


***

Irham memarkirkan mobilnya di garasi dan melihat istrinya membukakan pintu. Irham mencoba tersenyum lalu mengecup pipi istrinya. "Kan aku udah bilang nggak usah nunggu aku pulang." kata Irham. Irham mengucapkannya dengan nada dingin tapi di telinga Bunga, kata itu begitu merdu dan hangat. "Aku buatin teh ya." kata Bunga sambil mengambil jas yang di sampirkan asal oleh Irham di sofa. "Nggak usah, langsung istirahat aja. Kamu pasti udah ngantuk." kata Irham sambil masuk ke dalam kamar.

Mata Bunga masih menyalang saat napas Irham mulai teratur, menandakan pria itu mulai lelap. Ia menelusurkan jarinya di wajah pria itu. Dari dahi ke mata, pipi, hidung lalu berakhir di dagunya. Ia terseyum, menyadari bahwa ia begitu mencintai suaminya.
Irham mengeratkan pelukannya pada Bunga. Membuat Bunga terkesiap. Irham merindukan Mawar. Hanya wanita itu yang selalu di pikirkan Irham sebelum tidur. Berharap mimpi bisa menghantarkannya bertemu dengan Mawar.


***

Hampir tiga tahun, sejak Raka menjadi mahasiswa baru di kampus Mawar. Mawar sudah terbiasa mendapat perlakuan buruk dari pria itu. Bukan sekali dua kali Mawar di permalukan oleh pria itu di depan orang banyak hingga bahkan mungkin sebagian dari mereka menganggap Mawar benar-benar wanita simpanan. Tapi sesering apapun Raka menderukan omongan itu tepat di telinga Mawar, Mawar akan langsung menulikan telinganya hingga kata-kata itu terasa seperti hembusan angin lalu. Hingga saat ia sudah kehilangan kesabaran, ia akan menangis. Seperti kemarin.



***

"Jadi udah di transfer berapa puluh juta?" teriak Raka saat melihat Mawar keluar dari bilik ATM di lingkungan kampusnya. Mawar berusaha tak acuh lalu kembali berjalan menuju kantin. Raka yang tidak pernah puas melangkah lebar-lebar mengejar Mawar hingga langkah mereka sejajar. "Jadi abis ini mau ke mana? Belanja barang ber-merk? Nonton? beli perhiasan? Ke salon? Atau malah cari om-om lagi?" Mawar berhenti. Mencoba mengusir bayang-bayar Raka dan senyum mengejeknya. "Apapun yang mau gue lakuin, itu bukan urusan lo." kata Mawar tegas. Berusaha tidak terintimidasi oleh tatapan Raka yang seakan menelanjanginya. Raka tersenyum lebar, menyadari bahwa Mawar sudah selangkah lebih maju karena berani menatapnya secara terang-terangan.

"Pelacur, gue bingung kenapa lo buang-buang waktu buat kuliah. Bukannya melacur nggak membutuhkan pendidikan yang tinggi?" Raka dan Mawar masih berhadapan. Di selimuti oleh amarah yang menguar dari kedua orang tersebut. Mawar merasakan darahnya bergejolak hebat hingga akhirnya satu tamparan mendarat di pipi Raka. Cukup kuat karena wajahnya sampai terpental ke belakang.
"Kalau lo nggak tau apa-apa tentang gue. Jangan pernah campuri urusan gue." kata Mawar dengan kilatan tajam di ke dua bola matanya. Raka mencekal tangan Mawar. "Jangan pernah sentuh gue dengan tangan lo yang kotor itu. Gue jijik." katanya sambil melempar lengan Mawar jauh-jauh.


***

Raka menatap Bunga yang tengah membuat kue di dapurnya. "Kamu tumben jam segini mampir." tanyanya pada Raka yang kini duduk di meja makan dan mencicipi cokelat cair yang ada di meja.

"Iya, dosennya tadi ada yang nggak masuk." jawabnya cepat lalu memperhatikan gerak Bunga yang lincah. "Kakak bikin buat mas Irham?" tanyanya dan melihat wanita itu mengangguk pelan. "Bukannya mas Irham pulangnya selalu malem?" Raka tau persis. Irham akan bilang bahwa ia lembur padahal pria itu tengah mengunjungi simpanannya sepulang kantor. "Iya sih, tapi tadi aku udah minta dia pulang lebih awal dan dia bilang dia akan usahakan." Raka terseyum sinis. Ia tidak pernah tau kalau cinta bisa begitu membodohi seseorang.
"Nggak sekali dua kali lho kak, mas Irham pulang malem. Kakak nggak curiga?" Bunga seketika menoleh dan mendapati Raka tak acuh dan masih sibuk dengan bola-bola cokelat di piringnya. "Kakak percaya sama mas Irham. Kamu kenapa ngomong begitu?" Raka mengangkat bahu. Bingung bagaimana menjawab pertanyaan kakaknya walau ia ingin sekali menunjukkan kebenaran di depan Bunga. Bahwa suami tercintanya, sahabat kecilnya, orang yang paling dia percaya telah berkhianat dan bermain api di belakangnya.


***

Bunga tidak pernah lelah menunggu untuk menyambut Irham sepulang kantor walau akhirnya ia harus mendesah pelan saat mobil Irham tak kunjung menderu di pelataran rumah mereka dan pesan singkat yang dikirimkan Irham selalu berhasil membuatnya tubuhnya lemas tak bertulang.

Bunga tidak tau bahwa persahabatannya dengan Irham yang akhirnya berubah menjadi ikatan suami istri bisa berubah begitu cepat. Dulu, Bunga akan selalu merajuk kalau Irham terlalu sibuk kuliah dan mengabaikannya. Tapi sekarang, Bunga harus menelan kata 'Maklum' bulat-bulat.
Irham nyaris tidak mempunyai waktu untuknya bahkan di saat weekend. Tapi Bunga sadar bahwa ini adalah konsekuensi menjadi istri seorang workaholic.


***

Raka duduk tenang di mobilnya. Menatap apartemen mewah di depannya. Malam bergelayut manja dan Raka berusaha mengusir bosan dengan menyetel musik di mobilnya.

"Dua menit lagi." lirihnya. Ia memfokuskan pandanganya. Sesuai dugaannya, dua menit kemudian seorang pria berpakaian lengkap dengan jas hitam yang sudah sangat ia kenal keluar dan berjalan cepat menuju fortuner yang terparkir di lingkungan apartemen itu.
"Bajingan." runtuknya sambil menyalakan mesin lalu mengikuti mobil itu hingga terparkir sempurna di rumah kakaknya, Bunga.
Ia berdiam sebentar. Mencoba menetralkan emosi yang sudah menguasainya.


***

"Mas Irham sayang sama ka Bunga?" Raka menatap pria yang tampak terkejut di depannya. Raka memang menemui Irham siang ini di kantornya.

"Tentu saja. Kenapa kamu tanya seperti itu?" Raka menyesap kopinya. Berusaha tidak terpancing emosinya.
"Terus kenapa mas Irham selingkuh?" Raka berusaha menatap Irham yang sekali lagi tampak terkejut. "Maksud kamu?"
"Mawar. Gadis simpanan mas Irham. Kenapa mas tega?" Raka melihat wajah Irham memucat seketika. Raka tidak tahu kalau apa yang baru saja dikatakannya mampu menembus dinding kesadaran Irham. Dadanya terasa di tonjok begitu keras.
"Ka Bunga kurang apalagi?" Irham mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Antara kaget, marah, bersalah bercampur menjadi satu dan ia sendiri tidak tau mana yang lebih mendominasi.
"Kamu nggak tau apa-apa tentang Mawar." katanya akhirnya. Ucapannya pelan, nyaris tidak terdengar.
"Raka emang nggak tau apa-apa. Raka cuma tau kalau mas Irham udah ngeduain ka Bunga, mas Irham udah selingkuh, mas Irham bajingan." Raka menadaskan isi gelasnya, lalu berdiri. Meninggalkan Irham yang masih berusaha mengendalikan emosinya.


***

Irham sadar bahwa suatu saat apapun yang ia sembunyikan akan terbongkar. Ia pikir ia bisa jujur pada Bunga mengenai sosok Mawar yang selama ini ada di tengah-tengah mereka.

Mawar si tokoh abu-abu yang selalu terlibat dalam hubungan Irham dan Bunga. Tapi ternyata ia terlambat karena sosok Mawar sudah lebih dulu ditemukan Raka, adik Bunga.
Sebelumnya Irham merasa ia hanya mencintai Bunga dan rasanya pada Mawar hanya rasa kasihan. Tapi ia salah, rasa untuk Mawar terus bertumbuh lalu mengakar begitu kuat. Tapi bagaimana bisa seseorang mencintai dua wanita berbeda di saat yang bersamaan. Irham mengalaminya, bagaimana ia mencintai Bunga dan Mawar diwaktu yang sama. Tentu saja ia tidak diam saja, ia tau bahwa apa yang ia lakukan akan menyakiti mereka berdua. Berbulan-bulan Irham menelaah perasaanya baik-baik dan bukankah memang ada yang harus dikorbankan agar dua-duanya tidak tersakiti.
Tapi pilihan Irham tidak pernah bisa ia eksekusi dengan tepat sehingga akhirnya ia terjebak seperti sekarang.


***

Irham masuk ke apartemen itu dan menemukan Mawar tengah berada di dapur. "Hei." kata Mawar saat melihat Irham berdiri di ambang pintu. Pria itu tersenyum lalu menghampiri meja makan. "Makasih." kata Irham saat Mawar menaruh secangkir teh hangat dengan uap yang masih mengepul di hadapannya.

"Pulang cepet? Kenapa?" tanya Mawar saat melihat jam dinding dan biasanya laki-laki itu baru sampai dua jam lagi.
"Adik Bunga udah tau tentang kamu." Mawar yang sedang menyesap tehnya tersedak kaget. "Kok bisa?" Mawar menatap Irham yang tampak dingin. "Tadi siang dia ke kantor dan bilang kalau dia tau aku punya simpanan."
Hati Mawar bergetar hebat lalu berdiri dan duduk di samping Irham. Ia tau ia tidak akan bisa menjadi seperti Bunga. Ia tidak sepadan dengan Irham meskipun ia memiliki hak atas Irham.
"Aku terima semua keputusan kamu." Mawar mengelus pundak Irham pelan. Berusaha membuat Irham berfikir bahwa ia akan baik-baik saja, walaupun di lubuk hatinya, jantungnya terasa di remas begitu kuat. Sesak.
"Kamu tau apa pilihan aku kan? Aku sayang sama kamu. Aku cinta kamu Mawar." Irham menatap wajah Mawar yang mencoba tersenyum kaku. Irham tau bahwa bukan hanya dirinya tapi Mawar juga dilanda ketakutan luar biasa.
Irham mengambil dagu Mawar untuk menatapnya. Ia tersenyum "Udah tenang aja. Kita pasti baik-baik aja." kata Irham lalu mengecup pelan dahi Mawar.


***

Hujan turun begitu derasnya. Membuat Bunga yang tengah terduduk di ruang tamu khawatir karena Irham belum juga pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Angin dan petir menghiasi hujan yang sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Suara dering telepon menggugah Bunga dan suara orang di seberang membuat tubuhnya kaku. Air matanya menetes seperti air hujan yang turun di luar. Kakinya lemas, butuh kekuatan agar bisa menopang dirinya sendiri.


***

Mawar nyaris menabrak semua orang yang menghalanginya. Ia membiarkan langkahnya terseok-seok dan gemuruh sumpah serapah mengiringi langkahnya. Yang ingin ia lakukan adalah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kebenaran pesan dari nomor asing yang masuk ke ponselnya.

"Irham kecelakaan. Dia di rumah sakit Medika center." Pesan itu masuk dan nyaris membuatnya tak sadarkan diri.
Dia berdiri di lorong UGD. Kakinya membeku di tempat. Di sana, dia melihat Bunga dan Raka tengah berdiri di ruang UGD. Raka? Kenapa Raka ada di sini? Sekelumit pembicaraannya dengan Irham perlahan muncul. Raka adiknya Bunga, Raka adik ipar Irham. Raka tau tentang Mawar dan itulah yang membuat Raka membenci Mawar.
Mawar masih membeku di tempat. Sama sekali tidak berani mendekat walau selangkah. Air matanya menetes dan ia mundur perlahan. Mengambil ponsel di sakunya dan mengetikan sebuah pesan ke nomor asing yang memberinya kabar mengenai kecelakan Irham.

Gimana keadaannya?

17 maret 2016. 23.25

Raka terkejut mendapati pesan itu di ponselnya. Ia masih memeluk Bunga, memberikan ketenangan untuk wanita itu.


Kritis. Jangan pernah ganggu hubungan Irham sama Bunga mulai detik ini. Lo bukan cuma pelacur tapi lo juga pembawa sial.

17 maret 2016. 23.29

Air mata Mawar mungkin tidak sebanding dengan air mata Bunga. Kesedihan Mawar mungkin tidak sebanding dengan kesedihan Bunga. Tapi bukankah ia juga punya hak atas Irham. Bukankah ia juga berhak ada di samping Irham untuk melewati masa kritis pria itu. Tubuh Mawar merosot ditembok. Ia terduduk dan memeluk lututnya yang terasa dingin. Ia terisak, menangis tanpa suara.



***

Mawar menahan keinginannya itu mendekat dan memeluk batu nisan yang tengah di kerubuti oleh pelayat yang hampir semua memakai baju hitam. Ia terus menangis, tidak peduli sudah berapa banyak air mata yang keluar dari matanya. Menahan dingin yang menyergap kulitnya. Angin berhembus kencang, menandakan sebentar lagi langit bersiap menumpahkan muatannya. Ia masih bertahan di sana saat rintik hujan mulai membasahi gundukan tanah itu. Menatap orang-orang yang perlahan pergi meninggalkan tempat peristirahatan Irham.

Setelah memastikan tidak ada sosok yang tertinggal, ia melangkah gontai dan meluruh memeluk tanah basah itu. Menangis sejadi-jadinya. Mengindahkan tubuhnya yang sudah basah diguyur hujan.
"Irham..." lirihnya nyaris tidak terdengar. Selama ini hanya Irham satu-satunya alasan untuk ia bertahan hidup. Tidak ada yang lain karena Mawar memang sudah tidak punya siapa-siapa.
"Kenapa kamu ninggalin aku." Mawar tidak menyadari bahwa bibirnya mulai berubah warna. Seluruh kulitnya nyaris memucat.
Mawar semakin terisak saat menyadari ia bahkan tidak sempat memeluk Irham sebelum sosok itu masuk ke liang lahat. Ia tidak berada di sisi Irham saat pria itu dalam masa kritis dan menghembuskan napas terakhir. Mawar bahkan tidak sempat walau sekadar melirik Irham di ruang UGD karena Bunga tidak pernah meninggalkan Irham walau sedetik.

Mawar terkesiap saat siluet tegap itu berdiri di belakangnya dan mengarahkan payung di atasnya hingga tetes hujan tidak lagi menyapu kulitnya.

Mawar mengangkat wajah dan terkejut melihat Raka menatapnya dingin, tanpa ekspresi sedikitpun.

Mawar tidak berarti tanpa Irham. Mawar tidak berharga tanpa Irham dan sekarang Mawar harus terseok-seok menjalani hidup tanpa Irham

Monday 21 March 2016

ELEGI (DUA)

Terkadang Cinta tidak hanya butuh pengakuan, tapi juga pembuktian
 "Bam, menurut lo Ivi gimana?" Fery berbisik pada Ibam lalu melirik Ivi yang sedang membicaraan pekerjaan dengan Adam di meja Iren. "Gimana apanya?" tanyanya balik, berusaha tak acuh walau ekor matanya terus menangkap gerik-gerik Ivi.
"Muda, cantik, mapan, jomblo lagi." kata Fery dengan semangat. "Jutek." Ibam berkata tegas lalu kembali membolak-balik surat di depannya. "Tapi kalo dia sama Adam cocok juga ya bro." Fery kembali melirik ke arah Ivi yang tengah jalan berdampingan dengan Adam menuju ruang meeting kecil yang ada di sana. "Nggak cocok. Cocokan sama gue." katanya sambil tertawa membuat sebuah gulungan kertas mengenai kepalanya.
Ibam: Jangan terlalu deket sama Adam.
Ivi membuka pesan itu di tengah-tengah meeting dan sukses membuat dahinya berkerut dalam.
Ivi : kenapa?
Ibam : kamu makin keliatan cocok kalo keseringan deket sama dia.
Ivi tersenyum. Menyadari bahwa isi sms Ibam itu seperti berbunyi 'aku cemburu sama dia.'
Kalau dilihat Adam yang menjabat sebagai Manager Akunting memang begitu cocok jika disandingnkan dengan Vivian Wijaksana yang juga menjabat sebagai Manager keuangan di umurnya yang masih dua puluh lima tahun. Kombinasi tampan dan mapan harusnya membuat keduanya menjadi pasangan yang sempurna.
Ivi keluar dari ruang meeting jam tiga lewat lalu menghampiri meja Lisa. "Lis, saya minta dokumen ini ya. Saya udah bilang sama Pak Adam. Minta tolong besok sebelum jam makan siang kamu kasih ke saya." katanya pada Lisa yang langsung mengangguk. "Siap mbak." jawabnya lalu menghampiri Fery. "Fer, Dokumen yang waktu itu di minta urgent sama pak Arsan udah di selesaikan belum. Udah mau diproses nih?" Ivi menyanggah tangannya di partisi meja Fery. "Oh, itu sama Ibam Vi." katanya sambil menoleh ke arah Ibam yang nampak cuek. "Ibam, mana dokumennya?" kata Ivi, kini ia mendekati Ibam. "Dokumen yang mana?" tanya Ibam. "Itu yang kemarin lo urus. Dokumen perizinannya juga sama elo kan?"
"Oh yang itu." Ibam berdiri. Membuka lemarinya dan mengambil satu map putih. "Ini itu dokumen urgent. Saya kena omel sama pak Arsan karena dikira belum jalanin." Ivi menatap Ibam yang menujukkan wajah tanpa dosa. "Baru clear kemarin malem kok. Emang dikira ini dokumen nggak pake di cek dulu." katanya lalu kembali duduk di kursinya. Membuat Fery geleng-geleng kepala. "Kalau di omelin pak Arsan. Bilang suruh ngomong sama saya." kata Ibam enteng. Ivi menggeram kesal. Bener-bener hari sialnya. Dateng mepet, diburu kerjaan, diomelin sana-sini. "Pit, tolong proses ini ya." katanya pada Pipit lalu kembali ke ruangannya.
Ibam : ntar jangan lembur lagi. Pulang jam lima bareng aku.
Ivi : nggak bisa jawab sekarang. Lagi ngerjain laporan buat pak Arsan.
Ibam : harus
Ivi menaruh ponselnya tanpa membalas. Ia sadar bahwa percuma berdebat dengan Ibam. Hanya membuang-buang waktu karena tau Ibam begitu keras kepala dan tidak mau mengalah padanya sedikitpun. Lebih baik waktu yang akan digunakan untuk berdebat ia gunakan utuk mengerjakan laporan yang diminta Pak Arsan, Direktur keuangannya agar cepet selesai.
Ibam melirik ke ruangan Ivi yang masih tenang. Sepertinya belum ada tanda-tanda orang di dalam mau keluar padahal sudah lewat setengah jam dari jam pulang. "Ayo balik Bam." Fery menepuk pundak Ibam sambil menyanggah ranselnya. "Duluan deh, gue bentar lagi." katanya.
"Ibam ayo pulang. Gue nebeng yah." kata Lisa tepat saat Ivi keluar dari ruangannya. "Eh mbak Ivi. Pulang duluan mbak." katanya ramah pada Ivi yang masih berdiri di depan pintu ruangannya. "Ayo Bam. Gue nebeng boleh kan?"
"Gue belum mau pulang Lis. Lo duluan aja."
"Terus lo balik jam berapa? Kalo nggak lama gue tungguin aja." katanya sambil berjalan menghampiri Ibam. Tidak menyadari bahwa Ivi masih berdiri di sana memperhatikan. "Lama pokoknya. Udah lo duluan aja." katanya, membuat Lisa merengut. "Yaudah gue duluan kalo gitu." Lisa beranjak keluar dari ruangan.
"Belum mau pulang?" tanya Ibam pelan saat berjalan menghampiri Ivi karena melihat Ivi masih membawa sebuah map dan bukan tas. "Mau kasih laporan ke Pak Arsan dulu." jawabnya sambil berjalan keluar ruangan masih dengan nada berbisik. "Ngasih laporan doang tapi bisa ampe berjam-jam. Susah kalo jadi anak buah kesayangan mah." tanpa menoleh Ibam berbelok ke toilet sedangkan Ivi naek ke lantai atas.
Dugaan Ibam benar. Ivi tertahan hampir satu jam padahal niatnya hanya kasih laporan yang diminta Pak Arsan. Ia mulai bosan saat atasannya itu masih saja memberondongnya dengan pertanyaan-pertannyaan mengenai laporan itu. Baca dulu kek pak laporannya, baru kalo ada yang nggak jelas tanya. Percuma saya kasih hard copy sama soft copy kalo ujung-ujungnya saya kudu presentasi gini. runtuknya dalam hati.
Saat kembali ke ruangannya ia melihat meja Ibam sudah rapi. Komputernya juga sudah dimatikan.
Ivi : udah pulang?
Ibam : udah selesai?
Kebiasaan. Ditanya malah balik nanya. Kata Ivi dalam hati
Ivi : udah
Ibam : aku di coffe shop biasa. Aku tunggu di depan lima menit lagi.
Ivi bergegas membereskan barang-barangnya lalu keluar dari ruangannya. "Mau pulang Vi?" Ivi berhenti lalu berbalik, melihat Adam yang baru saja turun dari tangga. "Iya nih, gue duluan ya." katanya sambil masuk ke dalam lift.
Ia perlu melewati tiga gedung kantor untuk bisa melihat motor Ibam menepi di depan sebuah coffe shop. "bener kan? Ngasih laporan aja berjam-jam." katanya sambil menyerahkan helm ke arah Ivi. "Kamu tau banget sih." Ivi balik meledek. Lalu duduk di belakang Ibam.
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan kala Ibam dan Ivi terduduk di taman belakang rumah Ivi. "Maaf ya tadi aku sinis sama kamu." kata Ibam sambil merangkul pundak Ivi. "kamu emang selalu menyebelin kalo di kantor." Ivi mengerucutkan bibirnya. "Aku kena semprot sama Pak Arsan karena dikira belum jalanin itu dokumen." Ivi merebahkan kepalannya di bahu Ibam. Mencari kenyamanan disana. "Dokumen itu baru selesai aku cek tadi malem. Lain kali kalo emang kamu nggak salah jangan mau diomelin. Suruh dia ngomong langsung sama yang bersangkutan."
"Kamu kayak nggak kenal Pak Arsan aja sih Bam. Udahlah, males banget ngomongin kerjaan."
Ibam tertawa lalu merengkuh tubuh Ivi lebih erat. "Jadi gimana? Belum mau ngalah?" tanya Ibam
"kamu yang harus ngalah Bam." sungutnya jengkel.
"besok mau bareng aku atau bawa mobil?" Ibam melepas pelukannya, bersiap pulang. "Bawa mobil aja. Kalo bareng kamu pulangnya di buru-buru terus."
"Biar nggak bareng sama aku kamu tetep nggak boleh pulang malem. Jaga kesehatan kamu Vi." katanya sambil mencubit pipi Ivi gemas. "iya bawel."
***
"Ivi sehat Bam, kok jarang maen sih?" Ibam yang sedang sarapan melihat ibunya yang tengah sibuk mengaduk-aduk tehnya. "Sehat. Lagi sibuk baget bun, ntar klo sempet aku ajak kesini deh."
"Terus kamu kapan mau ada kemajuan sama Ivi?" kali ini ayahnya menimpali
"Nanti yah, ini juga udah lagi di pikirin kok."
Setelah menyelesaikan sarapannya Ibam manuju garasi untuk mengambil motornya. Kondisi Jakarta yang macetnya nggak ketulungan ngebuat Ibam lebih memilih motor maticnya daripada mobil. Alasannya cuma satu karena butuh waktu tiga kali lebih banyak jika ia memutuskan untuk membawa benda beroda empat itu.
Suasana kantor pagi ini terasa beda bagi Ibam. Entahlah, suasana terasa lebih ramai dari biasanya. "Ada apa sih?" tanya Ibam pada Fery saat menyadari hampir semua pasang mata karyawan disana menatap satu pintu. Pintu ruangan Ivi.
"Ada anak magang baru. Anaknya Pak Arsan. Jadi bagian keuangan. Satu ruangan sama Ivi." jawabnya penuh semangat. "Cuma itu?"
"Lo belum liat tampang anaknya Pak Arsan. Ganteng Bam. Anak-anak udah yakin banget kalo Ivi bakal nyangkut sama tuh cowok."
"HAH?" Ibam secara tidak sadar mengucapkan itu keras-keras. Membuat Fery heran. "Lebay lo, biasa aja. Tampangnya nggak ada mirip-miripnya sama pak Arsan. Ini asli kayak anak pungut."
Ibam bergerak gelisan dimejanya. Matanya diam-diam melirik pintu ruangan Ivi. Berharap pintu itu terbuka dan menujukkan sosok anak baru yang sedang menjadi hits di seantero kantornya.
Ivi termangu di mejanya. Merasa risih karena sedari tadi Erga terus menatapnya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. "Papa sering cerita banyak tentang mbak Ivi. Katanya mbak orang kepercayaan papa." Erga entah sudah berapa puluh kali membuyarkan konsetrasi Ivi karena selalu bertanya atau lebih tepatnya curhat masalah nggak penting kaya gini. Membuat Ivi tidak tau harus menanggapinya seperti apa.
"Mbak Ivi hebat ya. Baru umur dua lima udah bisa jadi manager disini."
"Panggil Ivi aja. Nggak usah terlalu kaku. Semua yang ada disini nggak terlalu formal kok kalo nggak terpaut umur jauh. Lo dua tiga kan? Dulu gue kuliah sambil kerja. Ya kira-kira udah tujuh tahunan. Dan kebetulan udah dari awal jadi anak buahnya pak Arsan."
Ivi melirik Erga yang mengangguk-angguk lalu kembali terfokus ke komputernya.
Ibam : Ada anak magang di ruangan kamu?
Ivi : Iya, Anaknya pak Arsan
Ibam : Kamu jangan terlalu deket sama dia.
Ivi : Kenapa?
Ibam : cewek disini banyak yang naksir. Takut kamu di keroyok. Udah deket sama Adam deket sama dia juga. Kasih kesempatan buat yang lain.
Ivi : Cemburu?
Ibam : Nggak lah, kamu kan nggak mungkin bisa lepas dari aku.
Ibam tidak tau kalau yang disebut Erga itu adalah pria tinggi atletis dengan wajah yang bisa dibilang ganteng pake banget. Ia menelan ludah saat melihat Erga dan Ivi keluar dari ruangan untuk makan siang. "Makan dimana Vi?" Pipit mendekat sementara Ivi sadar bahwa banyak pasang mata kini menatapnya atau lebih tepatnya menatap Erga yang ada disampingnya. "belum tau." Ivi melihat Ibam sekilas. "Makan dimana Bam?" tanyanya. Ia mendongkak, memutar matanya lalu berkata. "Soto ayam dibelakang aja yuk." Ibam mendekati Ivi lalu melirik Erga sekilas. "Ibam." katanya sambil mengulurkan sebelah tangannya. "Eh? Erga." Erga menjabat mantap uluran tangan Ibam.
***
"Bener anaknya pak Arsan?" tanya Ibam saat ia dan enam rekan kerjanya yang lain termasuk Ivi dan Erga selesai menyantap makan siangnya. Pria berumur dua puluh tiga tahun itu mengangguk. "Kok nggak mirip Pak Arsan ya?" tanyanya sambil tertawa kecil, membuat yang lain ikut tertawa. Alih-alih merasa tersinggung Erga justru ikut terkekeh ringan. "Banyak nurun dari nyokap kalo muka sih."
Acara singkat makan siang membuat Ibam langsung bisa menyimpulkan bahwa Erga memang punya rasa yang lebih sama Ivi. Ibam bisa melihat dari caranya menatap Ivi ataupun berbicara pada wanita itu. Fix, Erga naksir sama Ivi.