Orang pernah bilang Jakarta tidak
pernah tidur. Mungkin itu benar. Jakarta memang terlihat lebih
lenggang waktu menunjukkan hampir tengah malam. Tapi untuk
tempat-tempat tertentu, keriuhan masih tetap ada. Fella masih disana.
Dengan kaus hitam dan celana pendek membungkus tubuhnya. Mengindahkan
dingin yang menyergap kulit mulusnya.
“Ayooo Dion.” Katanya sambil
berteriak keras dan berjingkrak-jingkrak. Gadis-gadis sebayanya ikut
berteriak seakan memberikan semangat untuk dua pria yang sedang
bersiap-siap di pacuan. Dion menoleh. Tersenyum pada Fella. Lalu
beralih pada seorang wanita dengan bendera yang berada
ditengah-tengah. Diantara dirinya dan lawannya. “SIAP….SATU…DUA…
TIGA…” bendera di tegakkan dan dalam hitungan detik setelah kata
tiga diucapkan,
Dion menarik gasnya, melaju dengan motor gedenya, meninggalkan
kepulan asap dengan segala keriuhan para penonton balapan liar itu.
Ini bukan kali pertama. Ini
adalah rutinitas Dion hampir setiap malam. Menjelajahi sudut ibukota
hanya untuk sekedar beradu di lintasan. Menggesekan karet ban
motornya dengan aspal dan melaju sekencang mungkin untuk mendapatkan
predikat juara dan hari ini pun sepertinya akan menjadi milikknya
karena ia sampai beberapa detik lebih dulu dari lawannya.
“aku tidak tau siapa yang bisa
mengalahkanmu?” Fella menjabat tangan Dion dan memeluknya sekilas.
Memberi ucapan selamat karena ia tau bahwa Dion sangat ahli dalam hal
ini. “ayo kita rayakan.” Katanya. Fella naik ke motor dan mereka
melaju menuju salah satu klab malam di daerah kemang. Rambut panjang
Fella berkibar ditiup angin dan dingin yang menyelimuti malam itu
sepertinya tidak menggugah mereka walau hanya untuk memakai helm
ataupun jaket.
***
Fella tercekat mendengar alarmnya
berbunyi dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “MATI
AKU.” ia terlonjak dari ranjangnya mengingat ia ada kuis hari ini
dan itu artinya ia hanya punya waktu kurang dari setengah jam untuk
sampai dikampusnya.
Ia menyambar ponselnya dan masuk
ke kamar mandi. “Dion, aku tunggu dirumah sepuluh menit
lagi.PENTING.” katanya langsung menutup telepon tanpa membiarkan
suara diujung hanya untuk sekedar menyapa. Ia membuka bajunya dan
mandi dengan kilat. Keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian.
Memilih baju dengan asal dan langsung menyambar tasnya saat
mendengar suara klakson dari luar pagar rumahnya.
Dion menyeringai melihat Fella
mengunci rumahnya dengan tergesa-gesa. “kesiangan lagi? Kebiasaan.”
katanya saat Fella sampai didepannya dengan nafas tersengal. “lupa
kalau ada kuis pak Dekas hari ini.” katanya lalu naik ke atas motor
Dion. “ayo buru.” katanya sambil menepuk pundak Dion dan roda ban
motornya mulai berputar.
“pegangan Fell.” katanya
dan tepat saat itu Fella hampir saja terlonjak dari motor karena Dion
baru saja menaiki sebuah trotar. Jalanan memang sedang macet parah,
padat merayap karena memang memasuki jam orang kantoran dan Dion
tidak punya pilihan selain mengambil jalur pejalan kaki untuk sampai
lebih cepat ke kampusnya. “nyantai dong.” katanya sambil menepuk
pelan pundak Dion lalu mengeratkan tangannya di pinggang laki-laki
itu. “katanya telat.” Dion membunyikan klaksonya untuk meminta
beberapa pejalan kaki untuk minggir dan memberinya jalan yang
langsung diprotes oleh makian dari para pejalan kaki.
Masih ada lima menit sebelum
kelas dimulai dan setelah mengucapkan terima kasih ia berlari.
“tunggu dikantin ya.” kata Dion berteriak sambil melambaikan
tangan. Fella menoleh sebentar tanpa berhenti lalu mengacungkan ibu
jarinya.
“kebiasaan. Makannya jangan
dugem mulu.” Fella langsung duduk disebelah Vanya sambil mengatur
nafasnya yang belum teratur. Belum sempat Fella menjawab Pak Dekas
masuk ke ruangan.
Firman mengamati Fella dari
belakang. Memandang rambutnya yang digulung asal-asalan. Gadis itu
kesiangan lagi hari ini dan sebenarnya ia hampir selalu telat di
setiap mata kuliah pertama. Apakah ia tidak punya alarm. Pikirnya.
Tapi ia tau kalau bukan hanya alarm alasannya. Ia tau bahwa Fella
bukan gadis rumahan yang akan mengumpat dibalik selimut saat jam
menunjukkan pukul sepuluh malam, berjaga-jaga agar tidak kesiangan.
Fella menyukai dunia malam, gemerlap lampu dan kebisingan dijalanan
dan mungkin ia juga menyukai Dion. Mereka dekat dan Firman tidak
pernah bisa mengartikan kedekatan mereka. Pacarankah? Atau hanya
sebatas sahabat?
Firman dan Fella menjadi murid
di sekolah menengah yang sama. Firman mengenal Fella dengan baik tapi
sepertinya tidak untuk sebaliknya. Hey.. Fella itu cinta pertamaku.
Katanya dalam hati. Cinta lama yang bahkan belum sempat terucapkan
olehnya. Fella terlalu jauh darinya. Mereka terlalu berbeda dan
mereka berdua tidak akan pernah berada dalam lingkaran pergaulan yang
sama. Bahkan saat mereka satu kelas di kampus yang sama pun mungkin
Fella tidak menyadari bahwa mereka pernah satu SMA.
“nanti malem kemana?” tanya
Vanya sambil membereskan catatannya. “ikut Dion. Balapan palingan.”
katanya acuh sambil melihat ponselnya. “punya ide lain?” tanya
Fella tanpa melepas pandangannya dari telepon genggamnya. “ke salon
gimana?” Fella menoleh, sepertinya tidak buruk. “boleh juga.”
mereka berdua beriringan menuju kantin masih ada setengah jam sebelum
mata kuliah selanjutnya.
“nanti malem aku ke salon ya
sama Vanya.” mereka bedua menghampiri Dion yang sedang asik bermain
game dalam ponselnya. “nggak nememin aku balapan?” laki-laki itu
meneguk botol air mineral yang dibawa Fella dan melihat Fella
menggeleng. “besok aja lagi ya.” Dion mengganguk lalu berdiri
setelah mendengar salah satu temannya memanggil, Mengacungkan bola
oranye. “yaudah kalo gitu. Hati-hati.” katanya sambil mengusap
pelan puncuk kepala Fella.
“Nggak jelas.” Vanya
mendengus sambil menyeruput jus jeruk pesanannya yang baru datang.
“siapa?” Fella menatap Vanya dengan heran. Lalu bangkit dan
mengambil teh botol di kulkas dari salah satu kantin dan menengguknya
pelan. “kalian berdua. Kesana kemari berdua tapi status nggak
jelas. Pacaran tapi bilangnya sahabatan, sahabatan tapi kayak
pacaran.” Fella tergelak, tidak menyangka Vanya akan mengeluarkan
kata-kata ajaibnya dan sebentar lagi ia pasti aka bilang 'kamu
mau aja di PHP-in'
Vanya memang tidak terlalu suka
pada Dion. Dion jauh dari kata 'baik'
dalam pandagannya.
“udah deh, nggak usah cemberut gitu. Kita cuma sahabatan kok.”
katanya sambil menyentuhkan ujung jari telunjukkan pada dagu gadis
didepannya. “mending cari pacar yang ketauan baik Fell. Dari pada
luntang-lantung ikut-ikutan Dion balapan liar sama dugem tiap
malem.”
“dia baik kok.” katanya
tidak mau kalah. “iya, tapi dia nggak bikin kamu jadi pribadi yang
lebih baik Fell. Kamu tiap mata kuliah pagi selalu kesiangan. Lagian
apa enaknya sih nonton balapan liar. Diciduk polisi baru tau rasa deh
semuanya.” Vanya menggerutu sementara Fella terus terkikik.
“dibilangin malah ketawa lagi nih anak. Ngeledek aja.” katanya
sambil memukul pundak Fella dengan botol plastik kosong.
Dion memang bukan good
boy.Dion hanya lebih
menyukai kebisingan di tengah malam dimana suara gas motor gedenya
sukses memekik diatara kerumunan orang yang ada disekitarnya. Ia bisa
dibilang sahabat baik Fella. Mereka pertama kali bertemu saat Fella
berada di salah satu klub dibilangan bintaro dan semakin dekat saat
tau bahwa mereka satu kampus. Fella hanya tinggal dijakarta sendiri.
Orangtuanya pindah ke kota palembang dua tahun yang lalu dan dengan
kesendiriannya bisa dibilang hanya Dion yang bisa diandalkan.
Walaupun menurut Fella, Dion memang sedikit urakan. Laki-laki itu
menyukai kebebasan, dalam hal apapun. Hobi, berpendapat dan sejauh
ini Dion merupakan partner yang baik untuk Fella.
***
Mereka keluar dari Mall saat jam
menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Setelah keluar dari salon
mereka menghabiskan waktu direstoran jepang masih di mall yang sama.
“kamu langsung pulang kan Fell?” Tanya Vanya saat ia menyelinap
dibalik kemudi. “nggak tau nih. aku tanya dulu Dion dimana yaa?
Biar dia ntar yang jemput. Jadi kamu nggak usah nganterin sampe
rumah.”
“Nggak usah, aku anter kamu
kerumah aja langsung.” Fella menoleh dan melihat Vanya cemberut. Ia
tau kalau sahabat wanitanya ini tidak suka dengan semua yang berbau
DION. “segitu
nggak sukanya sama Dion.” Fella melirik sahabatnya. Ia mengenal
Vanya dengan baik seperti halnya mengenal Dion. Mereka dekat saat
mereka sadar bahwa mereka lahir di kota yang sama. Vanya bergeming,
enggan menanggapi kata-kata sahabatnya. “gimana kalau kamu
sekali-kali ikut liat. Lagian nggak bosen apa tiap malem cuma tidur.”
Vanya menoleh. “Fella…. Malem itu emang waktunya tidur,
istirahat. Bukan kelayapan dijalanan.”
Fella tertawa .”berhenti Van.”
katanya. Vanya berhenti mendadak. “kenapa?” tanyanya heran.
“barusan ada kucing lewat. Kayanya kamu tabrak deh.” wajah Vanya
memucat. “yang bener?” tanyanya lagi. Fella mengangguk. Vanya
langsung membuka pintu mobilnya dan melihat ke depan mobilnya lalu
menunduk melongok ke kolong mobilnya. Kosong, tidak ada apapun dan
akhirnya bernapas lega. Ia tau mitos yang membicarakan mengenai
kesialan yang akan didapat kalau mereka menabrak kucing.
Ia menatap Fella yang kini sudah
terduduk dibelakang setir. Menggantikan posisinya sebelumnya dan ia
tersenyum lebar. Senyum penuh kemenangan. ia mendekati Fella.
Mengetuk kaca dan berkata “iseng banget sih.” saat Fella membuka
kaca. “udah ayo masuk. Ikut aku ya.” katanya sambil mengedikkan
bahu ke kursi penumpang disebelahnya. “mau kemana? Jangan
macem-macem ya Fell.” Ancamnya saat roda mobilnya sudah berputar.
Fella tertawa. “nggak macem-macem kok. Cuma satu macem.”
sahutnya.
Fella melihat Vanya cemberut. Ia
sepertinya sadar akan dibawa kemana oleh Fella. Mobilnya berhenti.
Fella keluar sementara Vanya masih terduduk manis ditempatnya. “ayo
keluar aahh.” bujuknya. Vanya masih bergeming. Melirik kesekitar.
Sepi, tapi ia bisa melihat kerumunan orang tak jauh dari tempatnya
sekarang. “mau ngapain sih?” tanyanya ketus. “cari suasana baru
aja buat kamu.” Fella membuka pintu mobil dan setengah menariknya
keluar dari mobil.
Fella tersenyum dan setengah
menyeret Vanya yang terlihat acuh mendekati kerumunan itu. Dan
seperti biasa. Dion sudah berada pada posisinya. Siap beradu dengan
lawan yang berbeda dari yang kemarin. Mata Vanya membulat seketika.
Menatap Dion dari atas sampai bawah. Bibirnya menganga heran sampai
dua orang bermotor itu hilang dari pandangan. Menyisakan keriuhan
mereka.
Senggolan dari Fella-lah yang
akhirnya membuyarkan lamunanya. “kenapa? Terpesona?” godanya.
“HAH? GILA. Mana mungkin.” jawabnya cepat. “trus ngapain
bengong ampe begitu?”
“kamu nggak liat. Balapan liar
dan Dion nggak pake helm, nggak pake jaket, dan Cuma pake celana
pendek. dia nggak takut mati apa?” Fella tersentak, Vanya yang
dikiranya terpesona malah mengungkapkan sesuatu yang tidak diduganya.
“jangan-jangan dijalan juga ugal-ugalan lagi.”
Fella diam dan berfikir sejenak.
Dion memang tidak pernah memakai helm. Dia mungkin punya, tapi
sepertinya dia lebih suka menyimpannya dirumah. “tapi dia nggak
pernah kenapa-kenapa kok.”
“iya, sekarang nggak
kenapa-kenapa. Tapi entar, nyawa manusia kan nggak ada yang tau
Fell.”
“jujur ya. Dia pasti bukan
pengendara yang baik. Dia suka nerobos lampu merah, dia suka masuk
trotoar, dya suka berhenti ditempat yang nggak seharusnya.” katanya
pada Fella sambil menarik tangan gadis itu menjauh dari kerumunan
orang yang masih terus bersorak-sorai menanti pemenang malam ini.
“kalau lagi buru-buru doang
kok.” jawabnya.
“kalo setiap hari aja kamu
kesiangan berarti hampir setiap hari dong kamu diajak ugal-ugalan
dijalan sama dia.” Fella diam. Kehabisan kata-kata. Semua kata-kata
Vanya benar. Tapi bukankah ia baik-baik saja. Ia tidak pernah
mempermasalahkan keamanan berkendara Dion karena memang dia tau Dion
memang seperti itu, sejak dulu. “kamu tuh tinggal dijakarta sendiri
Fell, sama kaya aku. Makannya kamu harus bisa jaga diri baik-baik.”
Katanya lagi sambil masuk ke mobilnya. Fella mengikuti dan duduk di
sebelahnya. “Vanya, Dion itu baik kok.”
“iya aku tau dia baik. Tapi
dia harusnya bisa jagain kamu. Paling nggak ngasih suatu keamanan
buat kamu.” Oke, Fella mulai tidak bisa embantah kata-kata Vanya
karena dia sadar Vanya benar.
***
Hari ini Fella tidak kesiangan
karena ia punya waktu yang cukup untuk tidur tadi malam akibat Vanya
yang terus-menerus mengomelinya masalah keamanan berkendara. Ia
menyisir rambutnya yang masih basah lalu mengambil tasnya diatas meja
dan keluar dari rumahnya. Butuh waktu kurang dari lima belas menit
untuk sampai di depan komplek perumahannya agar bisa menaiki angkutan
menuju kampusnya. Ia menyumpal telinganya dengan earphone bervolume
rendah lalu berjalan pelan menyusuri komplek perumahannya.
Suara klakson itu memekakan
telinga. Menukik gendang telinga Fella yang bahkan sudah disumpal
dengan bundalan yang mengeluarkan suara musik. Fella menoleh dan
tepat saat itu sebuah motor berhenti disampingnya. Fella tidak tau
siapa karena ia memakai helm Full
face dan saat pria itu
membuka kaca helmnya, Fella masih ragu kalau ia mengenal pria itu.
“mau ke kampus?” tanyanya. Fella mengangguk dan melihat
kebingungan Fella, pria itu membuka helmnya. Menunjukkan wajahnya
sepenuhnya. Fella mengernyit lalu berkata. “anak desain juga ya?”
katanya sambil menunjuk ajah pria itu. ia merasa ajah pria itu
familiar di tapi tidak benar-benar mengenalnya. Pria itu mengangguk.
“Firman.” Ia menyodorkan sebelah tangannya. Fella menggapainya
sambil tersenyum.
Ia memang bisa dibilang tidak
terlalu memperhatikan siapa teman-teman sekalasnya. Yang benar-benar
dia tau hanya Vanya dan beberapa teman yang cukup popular dikelasnya.
“bareng yuk. Aku juga mau ke kampus. Mata kuliah pagi pak ihsan
kan?” tanyanya. Fella sekali lagi mengangguk dan terpesona saat
melihat pria itu tersenyum. Dia memang tidak terlalu tampan namun
cukup manis dengan lesung pipinya. “Fell.” Pria itu
menggoyang-goyangkan telapak tangannya didepan wajah Fella yang
sedang melamun. “eehh iya.. kenapa?” katanya tergagap dan hanya
bisa tersipu menyadari bahwa pria didepannya tertawa melihat tingkah
konyol Fella. “berangkat bareng yuk.” Katanya lagi. “boleh.”
Jawabnya singkat sambil mengangguk. pria itu lalu memberikan helm
yang digantungkan dimotornya. “nih.” Katanya menyerahkan pada
Fella. Fella terdiam dan mengambil helm itu. “rambutku masih basah,
nggak usah pake helm ya. Lagian nggak akan ada polisi juga.”
Katanya sambil menyerahkan kembali helm itu. pria didepannya
terkekeh. “Fella, helm itu bukan cuma buat menghidari polisi. Helm
itu untuk keamanan. Kalau nanti kenapa-kenapa dijalan, helm itu bisa
menyelamatkan kepala kamu dari benturan keras. Tapi bukan berarti aku
mendoakan yang macam-macam. Hanya untuk berjaga-jaga kalau terjadi
sesuatu. Aku akan tetap berhati-hati.” Fella termangu. Menyerap
baik-baik kata-kata Firman. Lalu tersenyum malu. Ia merasa seperti
anak kecil yang baru saja diberi ceramah oleh gurunya. “tapikan
kita nggak akan kenapa-kenapa kalo kamu hati-hati.” Katanya lagi,
mencoba mencari celah. Pria itu tersenyum. “jalanan itu nggak bisa
di prediksi Fella. Kecelakaan itu bukan cuma karena kita nggak
hati-hati. Tapi bisa juga karena orang lain nggak hati-hati. Itulah
kenapa kita butuh yang namanya safety
riding. Karena
nyawa kamu lebih berharga dari apapun”
Fella kembali merona
karena malu pada Firman yaahh, ia sadar bahwa semua kata-kata Firman
benar. Firman memakaikan helm itu ke kepala Fella.
Dan perjalanan dengan Firman
seperti sesuatu yang baru baginya. Firman jelas berbeda dengan Dion.
Fiman lebih taat peraturan. Ia menjalankan sepeda motornya tidak
dengan kecepatan tinggi meskipun dibeberapa jalan memang terlihat
lenggang. Ia berhenti disetiap lampu merah, tidak pernah menerobos
meskipun tidak ada kendaraan dari arah lain. Dia tidak mengambil
jalur pejalanan kaki semacet apapun jalanan yang mereka lewati.
Firman memakai helm, memakai jaket dan sepatu. Tidak seperti Dion
yang terkadang bahkan memakai sandal.
“thanks
ya.” Kata Fella
sambil memberikan helmnya pada Firman. Firman tersenyum. Membuka helm
dan jaketnya. Memperlihatkan sosoknya yang hanya berbalut kemaja
hitam yang digulung sampai lengan dan Fella baru menyadari bahwa
mungkin ia menyukai Firman. Bodohnya ia karena selama mereka satu
kelas ia tidak pernah melirik ke arah Firman sedikitpun.
Mereka berjalan beriringan
menuju kelas dan langsung disambut tatapan heran dari Vanya. “bareng
Firman? Atau ketemu didepan?” Tanya Vanya dan hanya disambut oleh
sebuah senyum oleh Fella yang langsung duduk disebelahnya. “ketemu
dikomplek. Ditawarin bareng. Yaudah.” Fella tida bisa
menyembunyikan raut bahagianya yang membuatnya terus menerus diledek
oleh Vanya. “dia itu rajin masuk nggak sih Van? Kok aku jarang liat
ya.” Katanya sedikit berbisik pada Vanya karena seorang dosen sudah
mulai berceloteh didepan kelas. “rajinlah. Nggak kaya kamu. IPKnya
diatas 3.6” Fella langsung membulatkan matanya. Lalu mengangguk
pelan. “kenapa? Mulai naksir.” Vanya terkikik sepelan mungkin
membuat pipi Fella merona.
“mau pulang bareng lagi?”
Fella dan Vanya yang sedang makan dikagetkan dengan kedatangan sosok
Firman yang langsung duduk disamping Vanya, tepat didepan Fella.
Firman tidak tau bagaimana bisa ia manjadi terlalu percaya diri untuk
mengajak Fella pulang bareng padahal sebelunya jangankan berbicara,
menatapnya pun ia tidak berani.
“Nggak usah, aku bareng Dion
aja nanti.” Katanya. “ngapain bareng Dion? Emang itu orang
daritadi batang hidunya keliatan?” Vanya menyambar. “udah deh,
bareng Firman aja.” Katanya lagi. Dari tadi pagi memang Fella belum
sama sekali melihat Dion. Ponselnya pun tidak aktif. “yaudah deh
kalo nggak ngerepotin.” Katanya dengan senyum simpul.
Fella buka tipe wanita yang
mudah jatuh cinta makannya kali ini ia bingung bagaimana
mendeskripsikan perasaanya pada Fiman. Ia pikir selama ini ia
menyukai pria seperti Dion. Tapi ternyata ia salah. Hanya dengan
kata-kata Firman dan itu bisa langsung menghipnotisnya.
Kata-kata itu terus berputar
diotak kecilnya. Dan ia tersenyum sementara Firman fokus ke jalanan
yang ramai sore ini. suara dering ponsel membuatnya tersentak dan ia
meraihnya dari dalam tas. “iya… kenapa… APA? aku kesana
sekarang.”
“Firman, kita kerumah sakit
dulu ya.” Katanya sambil mengucapkan nama rumah sakit yang
dimaksud. “kenapa Fell?” Tanyanya pada Fella setelah mengangguk.
tapi yang ia lihat dari kaca spionnya adalah Fella yang wajahnya
memucat dan dalam hitungan detik airmatanya turun.
Firman tidak bertanya lebih
lanjut dan kembali fokus pada jalanan. Saat sampai di parkiran. Fella
langsung turun dan memberikan helm yang dipakainya kepada Firman dan
melesak masuk ke rumah sakit. Firman mencoba mengejar Fella yang
setengah berlari. “sus, kamar atas nama Dion Setya Nugraha.”
Katanya pada suster yang berjaga di depan. Masih mencoba mengahalau
airmata yang berusaha terjun bebas melewati kelopak matanya. “Dion
kenapa Fell?” Tanya Firman sementara suster mencari data atas
pasien atas nema Dion. “Dion kecelakaan.” Dan air mata itu turun
lagi. Firman mengarahkan buku-buku jarinya untuk mengapus air mata
itu. “kamar mawar nomor 205 dilantai dua.” Fella secara tidak
sadar langsung menggadeng tangan Firman menuju tangga setelah
mengucapkan terima kasih pada suster. Dan matanya terpaku pada sosok
orang yang terbaring diranjang kamar nomor 205. Ia masih berdiri
didepan. Hanya melihat dari kaca yang ada ditengah pintu. Ia bisa
melihat hampir seluruh tubuh Dion dibalut perban. Sebelah kakinya di
gips dan tergantung agak keatas. Perban itu juga menyilang dari bahu
kiri sampai ke pinggang kanan Dion. Kepalanya juga di perban dan
wajahnya, Fella bisa melihat pipi sebelah kanan Dion luka. Sepertinya
terkena aspal.
Bibir Fella bergetar dan ia
menagis tanpa suara. Ia membalik badanya dan memeluk Firman. “itu
Dion Firman, itu Dion” katanya sabil menangis didada Firman. Firman
mengelus pundak Fella. Mencoba memberikan ketenangan untuk gadis itu.
“Fella.” Yang dipanggil menoleh dan mendapati Adnan menghampiri
mereka. Adnan adalah salah satu sahabat Dion yang ia kenal. “Adnan,
Dion nggak kenapa-kenapa kan? Kenapa bisa jadi begini?” Fella
sesenggukan sementara Adnan hanya memandang nya dengan kesedihan yang
sama. “Dion tabrakan Fell, dia nerobos lampu merah jam tiga pagi.
Dia nggak nggak sadar ada mobil yang melaju kencang dari arah lain.”
Fella menutup mulutnya. “dia nggak pake helm jadi kerangka otaknya
pecah dan sekarang dia koma.” Hati Fella mencelos seketika. Ia
menatap Fimran dan sekelebat bayangan saat dirinya naik motor bersama
Dion berputar bagai slide. Hanya Dion, bagaimana kalau saat itu
dirinya bersama Dion. apa yang akan terjadi padanya.
“Fella, helm itu bukan cuma
buat menghidari polisi. Helm itu untuk keamanan. Kalau nanti
kenapa-kenapa dijalan, helm itu bisa menyelamatkan kepala kamu dari
benturan keras. Tapi bukan berarti aku mendoakan yang macam-macam.
Hanya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Aku akan tetap
berhati-hati.”
“jalanan itu nggak bisa di
prediksi Fella. Kecelakaan itu bukan cuma karena kita nggak
hati-hati. Tapi bisa juga karena orang lain nggak hati-hati. Itulah
kenapa kita butuh yang namanya safety riding. Karena
nyawa kamu lebih berharga dari apapun”