buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Wednesday 9 December 2015

Aku si ODHA


Surat ini tidak aku tujukan untuk siapa-siapa, atau setidaknya aku tidak akan mengacungkan telunjukku didepan wajah kalian. Kalian tau bahwa aku terlalu malu, terlalu merasa hina. Aku hanya ingin berbagi sepenggal kisah hidupku yang sama sekali tidak akan pernah ingin dialami orang anak-anak muda lainnya.

            Sekilas, mungkin kalian tidak akan melihat perbedaan dengan diriku. Bagi kalian Aku mungkin hanya terlihat begitu kurus. Tapi yang lainnya, aku dan kalian tampak sama. Aku bisa berjalan sama seperti kalian, bahkan berlari. Aku bisa berbicara lantang, seperti kalian. Tapi ada sesuatu mematikan dalam tubuhku yang membedakanku dengan kalian. Yaahh.. kalian yang mengetahui apa itu akan langsung menjauhiku. Menganggapku begitu hina, menganggapku seperti sampah yang harus kalian buang.

            Kalian tau. Aku tidak pernah ingin mengalami ini semua. Penyesalah bertubi-tubi bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup tidak hanya sekali-dua kali terlintas dalam pikiranku. Tapi saat keinginan itu begitu kuat, aku tidak pernah benar-benar menyerahkan nyawaku karena aku sadar diriku sepenuhnya milik tuhan. Hanya Dia lah yang berhak atas diriku. Aku menyadari bahwa mungkin aku terlambat mengenal yang namanya “TUHAN”. Aku menghabiskan waktu selama dua puluh satu tahun tanpa mengenal tuhan dan tiga tahun terakhir menjadikan obat-obatan terlarang sebagai tuhan.

            Semua berawal dari cinta. Yaahh.. cinta yang kata orang begitu indah, sama sekali tidak berlaku buatku. Tapi untuk yang bilang cinta itu buta, aku bisa pastikan seratus persen benar. Aku mengenal pria itu lewat salah satu temanku. Aku memang tidak bisa dibilang gadis baik-baik karena aku lebih menyukai hingar bingar dunia malam. Tapi saat itu aku masih bisa menjaga diri dan hanya berkutat dengan rokok dan minuman keras yang tidak seberapa.

            Tapi malam itu, yaah, aku tidak akan melupakan malam itu. Malam saat aku melihat seorang pria yang sibuk memainkan piringan hitam dan menghasilkan alunan musik yang memenuhi ruangan. Pria yang baru kali pertama aku lihat ada di bar itu.

            Namanya Argan, pria berkulit kuning langsat itu dalam seketika berhasil menarik perhatianku. Dan melalui seorang teman, aku berhasil selangkah lebih dekat dengannya. Dia pria yang sangat menarik juga begitu humoris. Tapi saat aku merasakan semakin mencintainya, aku baru mengetahui bahwa ia adalah seorang pemakai. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri ia sedang menyuntikkan cairah ke tubuhnya. Mungkin narkoba jenis morfin. Dan setelah itu entah untuk alasan cinta atau sekedar keingintahuan. Aku ikut terseret kedalamnya.

            Aku mulai mengenal yang namanya, ganja, morfin, opion, heroin, kokain dan yang lainnya. Argan juga mengenalkanku dengan seorang badar narkoba yang menjadi langganannya. Aku yang masih berstatus mahasiswi disalah satu universitas negeri terpaksa harus menguras keuangan orangtuaku yang memang tidak tinggal satu kota denganku.  Aku rela berbohong hanya untuk mendapatkan uang dan membeli barang haram itu. Barang yang membuatku kecanduan. Barang yang membuatku melupakan semuanya. Kuliah, orang tua, adik dan kakakku.

            tiga tahun aku masih bergelut dengan Argan dan dunianya. Alkohol, obat-obatan terlarang, Bandar narkoba. Tubuhku semakin hari terlihat semakin tidak terurus. Dan aku tidak pernah memperhatikannya.

            Dan akhirnya hari itu, sabtu pagi dipertengahan bulan juni. Aku menemukan Argan dalam kondisi tidak bernyawa karena overdosis. Aku melihat bagaimana tubuhnya yang kurus tergeletak dilantai dengan wajah pucat dan mulut berbusa. Mengerikan, tak berdaya, tak beryawa karena barang-barang itu.

            Aku hancur seketika. Bukan hanya karena kehilangan Argan, pria yang aku cintai. Tapi juga menyadari bahwa aku bisa bernasib sama seperti Argan.

            Belajar dari pengalaman Argan. Aku bertekad untuk kembali ke kampung halaman dan berusaha lepas dari obat-obatan. Aku memberanikan diri menghadap kedua orangtuaku dan rekasi mereka begitu terkejut melihat keadaan ku. Mereka bilang aku begitu kurus, pucat dan berantakan. Dan dengan keberanian penuh aku memberitahu mereka bahwa aku kini bergantung pada barang haram itu. Dalam hitungan detik ibuku menangis dan ayahku sempat menamparku beberapa kali sebelum akhirnya kakak laki-lakiku menghalangi.

            Keesokan harinya, setelah kedua orangtuaku kembali tenang. Mereka mengantarku memeriksakan diri ke dokter sebelum mengantarku ke pusat rehabilitasi. Dan saat itulah bencana itu muncul.  hasil tes darah menyatakan aku positif HIV AIDS. Aku merasakan langit seakan runtuh di depan mataku saat itu juga. Bagaimana mungkin? Penyakit mematikan itu kini bersarang ditubuhku yang lemah. Penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Kedua orangtuaku menangis begitu juga dengan kakak dan adikku. Dan saat itu yang terlintas dalam pikiranku hanyalah KEMATIAN. Bahwa aku si ODHA. Hanya perlu menunggu kematian menjemputku. Karena jarum suntik yang aku gunakan? Pasti. karena aku pastikan aku belum pernah berhubungan badan bahkan dengan Argan sekalipun. Aku hanya punya dua kata. AKU FRUSTASI
***
            Rumah bercat putih itu begitu asri. Pepohonan tumbuh subur memberi sumber kehidupan untuk semua penghuninya. Di panti rehabilitasi itulah akhirnya aku menghabiskan hari-hariku selanjutnya. Aku berkenalan dengan sama-sama mantan pemakai. Tapi hanya akulah satu-satunya pengidap HIV / AIDS. Dan hari itu juga aku merasakan yang namanya PENOLAKAN yang terasa begitu menyakitkan. Tidak ada orang yang bersedia dekat denganku bahkan disatukan satu kamar denganku. Mereka selalu memandangku seperti seonggok daging busuk yang memang harus mereka jauhkan. seperti virusku bisa menular hanya dengan kita bertatapan muka ataupun bersentuhan tangan.

            Aku menempati salah satu kamar seorang diri. Disaat kamar dihuni beberapa orang aku hanya menempati kamar itu seorang diri. Di Pusat rehabilitas itulah aku akhirnya menjalani hari-hari-ku kemudian. Siang-siang yang menyakitkan, malam-malam penuh penderitaan hanya untuk lepas dari jerat barang haram itu.

            Setiap hari aku harus meminum beberapa obat dan dokter tidak ada henti-hentinya menyuntikan cairan-cairan ke tubuhku. Terkadang pada tengah malam aku harus merasakan menggigil yang begitu hebat, pusing juga mual. Disana aku menjalani berbagai terapi. Dan yang paling penting. Aku harus mengkonumsi ARV setiap 12 jam sekali. Kata perawat obat itu bisa memperlambat virus mematikan itu. Yaahh.. hanya memperlambat, tidak untuk menghilangkan virus itu. tapi aku cukup optimis untuk tetap hidup. Bagaimanapun juga, aku masih ingin berkumpul bersama keluarga dan orang-orang yang aku cintai.

            Satu tahun kemudian aku keluar dari rehabilitasi itu. Menghirup udara yang begitu segar dibanding tempat rehabilitasi itu. Aku memang sudah tidak menjadi pecandu namun aku masih membawa penyakit mematikan itu di tubuhku, kemana-mana, tentu saja, penyakit itu menyatu dalam darahku.

            Dan seminggu kemudian aku kembali lagi ke panti rehabilitasi itu. Bukan, bukan karena aku kembali terjerat obat-obatan haram tapi karena aku memutuskan untuk menjadi bagian dari panti itu. Keluarga menerima kepulanganku, tentu saja. Tapi tidak dengan orang disekitarku. Kabar bahwa aku menderita HIV AIDS sudah menyebar luas dan tentu saja menyulitkanku untuk bersosialisasi.  Pikiran mereka masih terlalu sempit. Mereka tidak mengerti bagaimana virus-virus ini bias menular. Mereka tidak tau bahwa aku tidak akan menularkan virus ini jika hanya berjabat tangan dengan mereka. Iya, mereka tidak mengerti dan yang mereka lakukan hanya menjauhi ku. Mencari aman.

            Selain dipanti rehabilitasi itu. Aku aktif memberikan penyuluhan di beberapa tempat. Forum-forum kesehatan dan kampus-kampus. Menekan rasa malu memberitahu mereka bahwa aku menderita penyakit menjijikan itu. Tapi aku bersumpah bahwa aku tidak ingin ada lagi aku-aku yang lain. aku ingin memberitahu mereka bahwa pengaruh obat-obatan itu jauh lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan dan sebaiknya tidak mereka coba karena alasan apapun. Bahkan juga alasan klise karena keingintahuan atau penasaran. Masih begitu banyak hal yang harus mereka ketahui daripada penasaran akan bentuk ganja, rasa morfin, nikmatinya heroin dan barang-barang laknat yang lainnya.

            Jangan pernah mengorbankan masa muda kalian hanya untuk penasaran pada hal-hal tidak berguna yang bisa merusak kalian. Kalian terlalu berharga bagi orang tua, sahabat bahkan Negara jika rusak karena barang mematikan itu. Karena barang itu seperti memberikan lorong gelap. Kau akan melupakan segalannya. Yang kau inginkan hanya terus-menerus berlari untuk mencari jalan keluar tapi kalian sadar bahwa jalan itu buntu, bahkan setitik cahayapun tidak akan kalian temukan. Kalian ada kehilangan kesadaran dan yang paling terpenting, kalian tidak akan pernah bisa memutar waktu.
           
           
            

Tuesday 10 November 2015

REVIEW - Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas



Judul : Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas
Penulis : Eka Kurniawan
Genre : Fiksi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 242 Halaman
Cetakan Pertama : Mei 2014


Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jangan pernah tertipu dengan covernya yang unyu-unyu itu yah.

saya menemukan buku ini diantara rak toko buku gramedia Blok.M. dan pernah beberapa kali mampir di blognya si penulis, Ekakurniawan.com . Seorang sastrawan lulusan UGM. Buku ini terbit tahun lalu dengan jarak cukup jauh dari novel sebelumnya, Lelaki Harimau.

Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidpan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya

Seperti dendam Rindu dibayar tuntas menceritakan keseharian Ajo kawir dan sahabatnya, Si Tokek yang hobi berkelahi semenjak “burung” Ajo kawir tidak bisa bangun. Ajo kawir sudah mencoba berbagai cara untuk membuat burungya kembali seperti semula namun gagal. Mulai dari mengoleskan cabai,menyengatnya dengan lebah, pergi ke tempat pelacuran sampai hampir memotong burungnya dengan kapak. Burungnya tetap teguh pada pendiriannya. Tetap tertidur tenang dan tidak ada tanda-tanda ingin bangun.

tidak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri.” Hal 40

Rasa frustasinya kembali menjadi-jadi kala ia menyukai seorang gadis, Iteung. Iteung yang sudah kadung cinta mati sama Ajo kawir akhirnya mau menerima kekurangan Ajo kawir.

"Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang tak bisa ngaceng?” Tanya Ajo kawir. “aku akan mengawininya” hal 90

Mereka menikah dan hidup bahagia

Hidupku mungkin tidak sempurna. Aku tak memiliki kemaluan yang bisa berdiri. Tapi aku memiliki pernikahan yang indah. Dan akan ada keluarga yang bahagia. –Ajo kawir. Hal 114

sampai pada kenyataan bahwa Iteung Hamil. Iteung hamil oleh laki-laki lain dan akhirnya Ajo Kawir memutuskan untuk berekelana menjadi supir truk Jawa-Sumatra. Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah tulisan dibelakang truk Ajo Kawir. Saat menjadi supir truk-lah Ajo Kawir mulai meninggalkan kebiasaannya untuk berkelahi. Ia mulai bisa menerima jika burungnya memang tidak ingin bangun. Itulah yang akhirnya dijadikan filosofi hidupnya. Burung itu menginginkan kedamaian juga dalam hidup Ajo Kawir. Hingga akhirnya ia mamutuskan untuk berhenti berkelahi walaupun Si Kumbang sangat ingin berduel dengannya ataupun saat Mono Ompong hampir mati karena berkelahi dengan Si kumbang.

Hidup dalam kesunyian. Tanpa kekerasan, tanpa kebencian. aku berhenti berkelahi untuk apapun. Aku mendengar apa yang diajarkan Si Burung” – Ajo Kawir. Hal 123

Kenapa saya tertarik dengan buku ini? Karena saya tau bahwa karya Eka Kurniawan yang lain (Cantik itu luka dan lelaki Harimau) sudah di terjemahkan ke beberapa bahasa asing. walaupun saya juga belum membaca kedua novel itu. :D

buku ini tidak terlalu tebal. Hanya 242 halaman dan saya selesaikan dalam waktu dua hari. Eka Kurniawan memilih Cover yang begitu apik untuk menggambarkan isinya. burung yang tertidur pulas.

Penulis menyediakan tema yang Unik dengan latar belakang yang juga Unik. Bayangkan saja. Bagaimana mungkin “Burung” Ajo Kawir tidak bisa bangun hanya karena melihat Si Rona Merah di perkosa oleh dua orang Polisi. Sesuatu yang terasa ganjil namun bisa menjadi realitas dalam novel ini.

Eka Kurniawan juga menyuguhkan Tokoh yang begitu berkarakter dan unik sehingga pembaca tidak akan dibuat bingung oleh banyaknya pemain. Ajo Kawir, Si Tokek (sahabatnya Ajo Kawir), Rona Merah, iwan Angsa, Wa Sami, Si Macan, Iteung, Janda Muda, Budi Baik, Mono Ompong dan nama-nama unik lainnya akan kalian jumpai di buku ini

Plot yang dibuat secara maju-mundur-maju-mundur Cantik membuat saya tidak terlalu kesulitan untuk menangkap karena tiap kalimatnya dibuat sepadat mungkin. Tidak terlalu banyak ataupun boros kata. Mudah sekali dicerna, bahkan saya seperti membaca sebuah dongeng.

namun yang perlu diperhatikan adalah, buku ini termasuk katagori buku dewasa. Dibelakang buku ini akan kalian temukan angka 21+. yang artinya hanya boleh dibaca oleh orang diatas umur 21 tahun. karena memang dalam buku ini tersebar beberapa kata yang mungkin menurut orang agak kurang pantas.

“Hanya orang yang nggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati”

Cukup Frontal untuk dijadikan kalimat pembuka. Tapi itulah Eka Kurniawan.Jika penulis-penulis lain mencoba mencari kata-kata yang lebih pantas untuk menggambar sesuatu, lain halnya dengan Eka Kurniawan. Eka kurniawan memberikan sesuatu yang terasa bebas, tidak di tahan-tahan, tidak berusaha diperbaiki dengan bahasa halus dan benar-benar orisinil. makannya jangan heran kalau dalam novel ini banyak kata-kata umpatan ataupun kata-kata yang terkesan jorok yang pastinya tidak untuk dibaca oleh anak-anak kecil.

Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupaka otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala”- Ajo Kawir. Hal 126

Untuk kalian yang hanya sekedar suka baca atau mungkin tidak suka baca tapi iseng membaca novel ini. Mungkin kalian akan berfikir bahwa novel ini semacam stensil murahan. Tapisaya akan bilang bahwa novel ini bagus. Eka Kurniawan memiliki keberanian yang tidak dimiliki oleh penulis-penulis lain mulai dari tema, tokoh dan pemilihan kata.

Eka kurniawan menyuarakan kebebasan dalam setiap penggalan katanya. Saya sedikit berfikir apakah editor akan tetap menerbitkan buku ini seandainya ini bukanlah karya Eka Kurniawan yang sudah sukses dengan Cantik Itu Luka dan Lelaki Hariamunya.?Apakah Editor perlu berfikir panjang untuk menerbitkan buku ini tanpa merubah satupun kata dalam buku ini?

dunia memang tidak adil. Dan jika kita tahu ada cara membuatnya adil, kita layak untuk membuatnya jadi adil. – Iwan Angsa. Hal 48

Kita tidak bisa menghentikan seseorang dari jatuh cinta. bahkan orang yang jatuh cinta itu sendiri. Jatuh cinta itu seperti penyakit. Ia bisa datang kapan saja, seperti kilat dan geledek, dan bisa tanpa sebab apapun. – Si Tokek. Hal 64

Tidak ada yang lebih indah didunia ini jika kau bisa mati ditangan orang yang kau cintai. –Si Tokek. Hal 83




Tuesday 27 October 2015

KARENA NYAWA KAMU LEBIH BERHARGA DARI APAPUN


Note: Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor dijalan."
Orang pernah bilang Jakarta tidak pernah tidur. Mungkin itu benar. Jakarta memang terlihat lebih lenggang waktu menunjukkan hampir tengah malam. Tapi untuk tempat-tempat tertentu, keriuhan masih tetap ada. Fella masih disana. Dengan kaus hitam dan celana pendek membungkus tubuhnya. Mengindahkan dingin yang menyergap kulit mulusnya.
“Ayooo Dion.” Katanya sambil berteriak keras dan berjingkrak-jingkrak. Gadis-gadis sebayanya ikut berteriak seakan memberikan semangat untuk dua pria yang sedang bersiap-siap di pacuan. Dion menoleh. Tersenyum pada Fella. Lalu beralih pada seorang wanita dengan bendera yang berada ditengah-tengah. Diantara dirinya dan lawannya. “SIAP….SATU…DUA… TIGA…” bendera di tegakkan dan dalam hitungan detik setelah kata tiga diucapkan, Dion menarik gasnya, melaju dengan motor gedenya, meninggalkan kepulan asap dengan segala keriuhan para penonton balapan liar itu.
Ini bukan kali pertama. Ini adalah rutinitas Dion hampir setiap malam. Menjelajahi sudut ibukota hanya untuk sekedar beradu di lintasan. Menggesekan karet ban motornya dengan aspal dan melaju sekencang mungkin untuk mendapatkan predikat juara dan hari ini pun sepertinya akan menjadi milikknya karena ia sampai beberapa detik lebih dulu dari lawannya.
“aku tidak tau siapa yang bisa mengalahkanmu?” Fella menjabat tangan Dion dan memeluknya sekilas. Memberi ucapan selamat karena ia tau bahwa Dion sangat ahli dalam hal ini. “ayo kita rayakan.” Katanya. Fella naik ke motor dan mereka melaju menuju salah satu klab malam di daerah kemang. Rambut panjang Fella berkibar ditiup angin dan dingin yang menyelimuti malam itu sepertinya tidak menggugah mereka walau hanya untuk memakai helm ataupun jaket.
***
Fella tercekat mendengar alarmnya berbunyi dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “MATI AKU.” ia terlonjak dari ranjangnya mengingat ia ada kuis hari ini dan itu artinya ia hanya punya waktu kurang dari setengah jam untuk sampai dikampusnya.
Ia menyambar ponselnya dan masuk ke kamar mandi. “Dion, aku tunggu dirumah sepuluh menit lagi.PENTING.” katanya langsung menutup telepon tanpa membiarkan suara diujung hanya untuk sekedar menyapa. Ia membuka bajunya dan mandi dengan kilat. Keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian. Memilih baju dengan asal dan langsung menyambar tasnya saat mendengar suara klakson dari luar pagar rumahnya.
Dion menyeringai melihat Fella mengunci rumahnya dengan tergesa-gesa. “kesiangan lagi? Kebiasaan.” katanya saat Fella sampai didepannya dengan nafas tersengal. “lupa kalau ada kuis pak Dekas hari ini.” katanya lalu naik ke atas motor Dion. “ayo buru.” katanya sambil menepuk pundak Dion dan roda ban motornya mulai berputar.
“pegangan Fell.” katanya dan tepat saat itu Fella hampir saja terlonjak dari motor karena Dion baru saja menaiki sebuah trotar. Jalanan memang sedang macet parah, padat merayap karena memang memasuki jam orang kantoran dan Dion tidak punya pilihan selain mengambil jalur pejalan kaki untuk sampai lebih cepat ke kampusnya. “nyantai dong.” katanya sambil menepuk pelan pundak Dion lalu mengeratkan tangannya di pinggang laki-laki itu. “katanya telat.” Dion membunyikan klaksonya untuk meminta beberapa pejalan kaki untuk minggir dan memberinya jalan yang langsung diprotes oleh makian dari para pejalan kaki.
Masih ada lima menit sebelum kelas dimulai dan setelah mengucapkan terima kasih ia berlari. “tunggu dikantin ya.” kata Dion berteriak sambil melambaikan tangan. Fella menoleh sebentar tanpa berhenti lalu mengacungkan ibu jarinya.
“kebiasaan. Makannya jangan dugem mulu.” Fella langsung duduk disebelah Vanya sambil mengatur nafasnya yang belum teratur. Belum sempat Fella menjawab Pak Dekas masuk ke ruangan.
Firman mengamati Fella dari belakang. Memandang rambutnya yang digulung asal-asalan. Gadis itu kesiangan lagi hari ini dan sebenarnya ia hampir selalu telat di setiap mata kuliah pertama. Apakah ia tidak punya alarm. Pikirnya. Tapi ia tau kalau bukan hanya alarm alasannya. Ia tau bahwa Fella bukan gadis rumahan yang akan mengumpat dibalik selimut saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam, berjaga-jaga agar tidak kesiangan. Fella menyukai dunia malam, gemerlap lampu dan kebisingan dijalanan dan mungkin ia juga menyukai Dion. Mereka dekat dan Firman tidak pernah bisa mengartikan kedekatan mereka. Pacarankah? Atau hanya sebatas sahabat?
Firman dan Fella menjadi murid di sekolah menengah yang sama. Firman mengenal Fella dengan baik tapi sepertinya tidak untuk sebaliknya. Hey.. Fella itu cinta pertamaku. Katanya dalam hati. Cinta lama yang bahkan belum sempat terucapkan olehnya. Fella terlalu jauh darinya. Mereka terlalu berbeda dan mereka berdua tidak akan pernah berada dalam lingkaran pergaulan yang sama. Bahkan saat mereka satu kelas di kampus yang sama pun mungkin Fella tidak menyadari bahwa mereka pernah satu SMA.
“nanti malem kemana?” tanya Vanya sambil membereskan catatannya. “ikut Dion. Balapan palingan.” katanya acuh sambil melihat ponselnya. “punya ide lain?” tanya Fella tanpa melepas pandangannya dari telepon genggamnya. “ke salon gimana?” Fella menoleh, sepertinya tidak buruk. “boleh juga.” mereka berdua beriringan menuju kantin masih ada setengah jam sebelum mata kuliah selanjutnya.
“nanti malem aku ke salon ya sama Vanya.” mereka bedua menghampiri Dion yang sedang asik bermain game dalam ponselnya. “nggak nememin aku balapan?” laki-laki itu meneguk botol air mineral yang dibawa Fella dan melihat Fella menggeleng. “besok aja lagi ya.” Dion mengganguk lalu berdiri setelah mendengar salah satu temannya memanggil, Mengacungkan bola oranye. “yaudah kalo gitu. Hati-hati.” katanya sambil mengusap pelan puncuk kepala Fella.
“Nggak jelas.” Vanya mendengus sambil menyeruput jus jeruk pesanannya yang baru datang. “siapa?” Fella menatap Vanya dengan heran. Lalu bangkit dan mengambil teh botol di kulkas dari salah satu kantin dan menengguknya pelan. “kalian berdua. Kesana kemari berdua tapi status nggak jelas. Pacaran tapi bilangnya sahabatan, sahabatan tapi kayak pacaran.” Fella tergelak, tidak menyangka Vanya akan mengeluarkan kata-kata ajaibnya dan sebentar lagi ia pasti aka bilang 'kamu mau aja di PHP-in'
Vanya memang tidak terlalu suka pada Dion. Dion jauh dari kata 'baik' dalam pandagannya. “udah deh, nggak usah cemberut gitu. Kita cuma sahabatan kok.” katanya sambil menyentuhkan ujung jari telunjukkan pada dagu gadis didepannya. “mending cari pacar yang ketauan baik Fell. Dari pada luntang-lantung ikut-ikutan Dion balapan liar sama dugem tiap malem.”
“dia baik kok.” katanya tidak mau kalah. “iya, tapi dia nggak bikin kamu jadi pribadi yang lebih baik Fell. Kamu tiap mata kuliah pagi selalu kesiangan. Lagian apa enaknya sih nonton balapan liar. Diciduk polisi baru tau rasa deh semuanya.” Vanya menggerutu sementara Fella terus terkikik. “dibilangin malah ketawa lagi nih anak. Ngeledek aja.” katanya sambil memukul pundak Fella dengan botol plastik kosong.
Dion memang bukan good boy.Dion hanya lebih menyukai kebisingan di tengah malam dimana suara gas motor gedenya sukses memekik diatara kerumunan orang yang ada disekitarnya. Ia bisa dibilang sahabat baik Fella. Mereka pertama kali bertemu saat Fella berada di salah satu klub dibilangan bintaro dan semakin dekat saat tau bahwa mereka satu kampus. Fella hanya tinggal dijakarta sendiri. Orangtuanya pindah ke kota palembang dua tahun yang lalu dan dengan kesendiriannya bisa dibilang hanya Dion yang bisa diandalkan. Walaupun menurut Fella, Dion memang sedikit urakan. Laki-laki itu menyukai kebebasan, dalam hal apapun. Hobi, berpendapat dan sejauh ini Dion merupakan partner yang baik untuk Fella.
***
Mereka keluar dari Mall saat jam menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Setelah keluar dari salon mereka menghabiskan waktu direstoran jepang masih di mall yang sama. “kamu langsung pulang kan Fell?” Tanya Vanya saat ia menyelinap dibalik kemudi. “nggak tau nih. aku tanya dulu Dion dimana yaa? Biar dia ntar yang jemput. Jadi kamu nggak usah nganterin sampe rumah.”
“Nggak usah, aku anter kamu kerumah aja langsung.” Fella menoleh dan melihat Vanya cemberut. Ia tau kalau sahabat wanitanya ini tidak suka dengan semua yang berbau DION. “segitu nggak sukanya sama Dion.” Fella melirik sahabatnya. Ia mengenal Vanya dengan baik seperti halnya mengenal Dion. Mereka dekat saat mereka sadar bahwa mereka lahir di kota yang sama. Vanya bergeming, enggan menanggapi kata-kata sahabatnya. “gimana kalau kamu sekali-kali ikut liat. Lagian nggak bosen apa tiap malem cuma tidur.” Vanya menoleh. “Fella…. Malem itu emang waktunya tidur, istirahat. Bukan kelayapan dijalanan.”
Fella tertawa .”berhenti Van.” katanya. Vanya berhenti mendadak. “kenapa?” tanyanya heran. “barusan ada kucing lewat. Kayanya kamu tabrak deh.” wajah Vanya memucat. “yang bener?” tanyanya lagi. Fella mengangguk. Vanya langsung membuka pintu mobilnya dan melihat ke depan mobilnya lalu menunduk melongok ke kolong mobilnya. Kosong, tidak ada apapun dan akhirnya bernapas lega. Ia tau mitos yang membicarakan mengenai kesialan yang akan didapat kalau mereka menabrak kucing.
Ia menatap Fella yang kini sudah terduduk dibelakang setir. Menggantikan posisinya sebelumnya dan ia tersenyum lebar. Senyum penuh kemenangan. ia mendekati Fella. Mengetuk kaca dan berkata “iseng banget sih.” saat Fella membuka kaca. “udah ayo masuk. Ikut aku ya.” katanya sambil mengedikkan bahu ke kursi penumpang disebelahnya. “mau kemana? Jangan macem-macem ya Fell.” Ancamnya saat roda mobilnya sudah berputar. Fella tertawa. “nggak macem-macem kok. Cuma satu macem.” sahutnya.
Fella melihat Vanya cemberut. Ia sepertinya sadar akan dibawa kemana oleh Fella. Mobilnya berhenti. Fella keluar sementara Vanya masih terduduk manis ditempatnya. “ayo keluar aahh.” bujuknya. Vanya masih bergeming. Melirik kesekitar. Sepi, tapi ia bisa melihat kerumunan orang tak jauh dari tempatnya sekarang. “mau ngapain sih?” tanyanya ketus. “cari suasana baru aja buat kamu.” Fella membuka pintu mobil dan setengah menariknya keluar dari mobil.
Fella tersenyum dan setengah menyeret Vanya yang terlihat acuh mendekati kerumunan itu. Dan seperti biasa. Dion sudah berada pada posisinya. Siap beradu dengan lawan yang berbeda dari yang kemarin. Mata Vanya membulat seketika. Menatap Dion dari atas sampai bawah. Bibirnya menganga heran sampai dua orang bermotor itu hilang dari pandangan. Menyisakan keriuhan mereka.
Senggolan dari Fella-lah yang akhirnya membuyarkan lamunanya. “kenapa? Terpesona?” godanya. “HAH? GILA. Mana mungkin.” jawabnya cepat. “trus ngapain bengong ampe begitu?”
“kamu nggak liat. Balapan liar dan Dion nggak pake helm, nggak pake jaket, dan Cuma pake celana pendek. dia nggak takut mati apa?” Fella tersentak, Vanya yang dikiranya terpesona malah mengungkapkan sesuatu yang tidak diduganya. “jangan-jangan dijalan juga ugal-ugalan lagi.”
Fella diam dan berfikir sejenak. Dion memang tidak pernah memakai helm. Dia mungkin punya, tapi sepertinya dia lebih suka menyimpannya dirumah. “tapi dia nggak pernah kenapa-kenapa kok.”
“iya, sekarang nggak kenapa-kenapa. Tapi entar, nyawa manusia kan nggak ada yang tau Fell.”
“jujur ya. Dia pasti bukan pengendara yang baik. Dia suka nerobos lampu merah, dia suka masuk trotoar, dya suka berhenti ditempat yang nggak seharusnya.” katanya pada Fella sambil menarik tangan gadis itu menjauh dari kerumunan orang yang masih terus bersorak-sorai menanti pemenang malam ini.
“kalau lagi buru-buru doang kok.” jawabnya.
“kalo setiap hari aja kamu kesiangan berarti hampir setiap hari dong kamu diajak ugal-ugalan dijalan sama dia.” Fella diam. Kehabisan kata-kata. Semua kata-kata Vanya benar. Tapi bukankah ia baik-baik saja. Ia tidak pernah mempermasalahkan keamanan berkendara Dion karena memang dia tau Dion memang seperti itu, sejak dulu. “kamu tuh tinggal dijakarta sendiri Fell, sama kaya aku. Makannya kamu harus bisa jaga diri baik-baik.” Katanya lagi sambil masuk ke mobilnya. Fella mengikuti dan duduk di sebelahnya. “Vanya, Dion itu baik kok.”
“iya aku tau dia baik. Tapi dia harusnya bisa jagain kamu. Paling nggak ngasih suatu keamanan buat kamu.” Oke, Fella mulai tidak bisa embantah kata-kata Vanya karena dia sadar Vanya benar.
***
Hari ini Fella tidak kesiangan karena ia punya waktu yang cukup untuk tidur tadi malam akibat Vanya yang terus-menerus mengomelinya masalah keamanan berkendara. Ia menyisir rambutnya yang masih basah lalu mengambil tasnya diatas meja dan keluar dari rumahnya. Butuh waktu kurang dari lima belas menit untuk sampai di depan komplek perumahannya agar bisa menaiki angkutan menuju kampusnya. Ia menyumpal telinganya dengan earphone bervolume rendah lalu berjalan pelan menyusuri komplek perumahannya.
Suara klakson itu memekakan telinga. Menukik gendang telinga Fella yang bahkan sudah disumpal dengan bundalan yang mengeluarkan suara musik. Fella menoleh dan tepat saat itu sebuah motor berhenti disampingnya. Fella tidak tau siapa karena ia memakai helm Full face dan saat pria itu membuka kaca helmnya, Fella masih ragu kalau ia mengenal pria itu. “mau ke kampus?” tanyanya. Fella mengangguk dan melihat kebingungan Fella, pria itu membuka helmnya. Menunjukkan wajahnya sepenuhnya. Fella mengernyit lalu berkata. “anak desain juga ya?” katanya sambil menunjuk ajah pria itu. ia merasa ajah pria itu familiar di tapi tidak benar-benar mengenalnya. Pria itu mengangguk. “Firman.” Ia menyodorkan sebelah tangannya. Fella menggapainya sambil tersenyum.
Ia memang bisa dibilang tidak terlalu memperhatikan siapa teman-teman sekalasnya. Yang benar-benar dia tau hanya Vanya dan beberapa teman yang cukup popular dikelasnya. “bareng yuk. Aku juga mau ke kampus. Mata kuliah pagi pak ihsan kan?” tanyanya. Fella sekali lagi mengangguk dan terpesona saat melihat pria itu tersenyum. Dia memang tidak terlalu tampan namun cukup manis dengan lesung pipinya. “Fell.” Pria itu menggoyang-goyangkan telapak tangannya didepan wajah Fella yang sedang melamun. “eehh iya.. kenapa?” katanya tergagap dan hanya bisa tersipu menyadari bahwa pria didepannya tertawa melihat tingkah konyol Fella. “berangkat bareng yuk.” Katanya lagi. “boleh.” Jawabnya singkat sambil mengangguk. pria itu lalu memberikan helm yang digantungkan dimotornya. “nih.” Katanya menyerahkan pada Fella. Fella terdiam dan mengambil helm itu. “rambutku masih basah, nggak usah pake helm ya. Lagian nggak akan ada polisi juga.” Katanya sambil menyerahkan kembali helm itu. pria didepannya terkekeh. “Fella, helm itu bukan cuma buat menghidari polisi. Helm itu untuk keamanan. Kalau nanti kenapa-kenapa dijalan, helm itu bisa menyelamatkan kepala kamu dari benturan keras. Tapi bukan berarti aku mendoakan yang macam-macam. Hanya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Aku akan tetap berhati-hati.” Fella termangu. Menyerap baik-baik kata-kata Firman. Lalu tersenyum malu. Ia merasa seperti anak kecil yang baru saja diberi ceramah oleh gurunya. “tapikan kita nggak akan kenapa-kenapa kalo kamu hati-hati.” Katanya lagi, mencoba mencari celah. Pria itu tersenyum. “jalanan itu nggak bisa di prediksi Fella. Kecelakaan itu bukan cuma karena kita nggak hati-hati. Tapi bisa juga karena orang lain nggak hati-hati. Itulah kenapa kita butuh yang namanya safety riding. Karena nyawa kamu lebih berharga dari apapunFella kembali merona karena malu pada Firman yaahh, ia sadar bahwa semua kata-kata Firman benar. Firman memakaikan helm itu ke kepala Fella.
Dan perjalanan dengan Firman seperti sesuatu yang baru baginya. Firman jelas berbeda dengan Dion. Fiman lebih taat peraturan. Ia menjalankan sepeda motornya tidak dengan kecepatan tinggi meskipun dibeberapa jalan memang terlihat lenggang. Ia berhenti disetiap lampu merah, tidak pernah menerobos meskipun tidak ada kendaraan dari arah lain. Dia tidak mengambil jalur pejalanan kaki semacet apapun jalanan yang mereka lewati. Firman memakai helm, memakai jaket dan sepatu. Tidak seperti Dion yang terkadang bahkan memakai sandal.
thanks ya.” Kata Fella sambil memberikan helmnya pada Firman. Firman tersenyum. Membuka helm dan jaketnya. Memperlihatkan sosoknya yang hanya berbalut kemaja hitam yang digulung sampai lengan dan Fella baru menyadari bahwa mungkin ia menyukai Firman. Bodohnya ia karena selama mereka satu kelas ia tidak pernah melirik ke arah Firman sedikitpun.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas dan langsung disambut tatapan heran dari Vanya. “bareng Firman? Atau ketemu didepan?” Tanya Vanya dan hanya disambut oleh sebuah senyum oleh Fella yang langsung duduk disebelahnya. “ketemu dikomplek. Ditawarin bareng. Yaudah.” Fella tida bisa menyembunyikan raut bahagianya yang membuatnya terus menerus diledek oleh Vanya. “dia itu rajin masuk nggak sih Van? Kok aku jarang liat ya.” Katanya sedikit berbisik pada Vanya karena seorang dosen sudah mulai berceloteh didepan kelas. “rajinlah. Nggak kaya kamu. IPKnya diatas 3.6” Fella langsung membulatkan matanya. Lalu mengangguk pelan. “kenapa? Mulai naksir.” Vanya terkikik sepelan mungkin membuat pipi Fella merona.
“mau pulang bareng lagi?” Fella dan Vanya yang sedang makan dikagetkan dengan kedatangan sosok Firman yang langsung duduk disamping Vanya, tepat didepan Fella. Firman tidak tau bagaimana bisa ia manjadi terlalu percaya diri untuk mengajak Fella pulang bareng padahal sebelunya jangankan berbicara, menatapnya pun ia tidak berani.
“Nggak usah, aku bareng Dion aja nanti.” Katanya. “ngapain bareng Dion? Emang itu orang daritadi batang hidunya keliatan?” Vanya menyambar. “udah deh, bareng Firman aja.” Katanya lagi. Dari tadi pagi memang Fella belum sama sekali melihat Dion. Ponselnya pun tidak aktif. “yaudah deh kalo nggak ngerepotin.” Katanya dengan senyum simpul.
Fella buka tipe wanita yang mudah jatuh cinta makannya kali ini ia bingung bagaimana mendeskripsikan perasaanya pada Fiman. Ia pikir selama ini ia menyukai pria seperti Dion. Tapi ternyata ia salah. Hanya dengan kata-kata Firman dan itu bisa langsung menghipnotisnya.
Kata-kata itu terus berputar diotak kecilnya. Dan ia tersenyum sementara Firman fokus ke jalanan yang ramai sore ini. suara dering ponsel membuatnya tersentak dan ia meraihnya dari dalam tas. “iya… kenapa… APA? aku kesana sekarang.”
“Firman, kita kerumah sakit dulu ya.” Katanya sambil mengucapkan nama rumah sakit yang dimaksud. “kenapa Fell?” Tanyanya pada Fella setelah mengangguk. tapi yang ia lihat dari kaca spionnya adalah Fella yang wajahnya memucat dan dalam hitungan detik airmatanya turun.
Firman tidak bertanya lebih lanjut dan kembali fokus pada jalanan. Saat sampai di parkiran. Fella langsung turun dan memberikan helm yang dipakainya kepada Firman dan melesak masuk ke rumah sakit. Firman mencoba mengejar Fella yang setengah berlari. “sus, kamar atas nama Dion Setya Nugraha.” Katanya pada suster yang berjaga di depan. Masih mencoba mengahalau airmata yang berusaha terjun bebas melewati kelopak matanya. “Dion kenapa Fell?” Tanya Firman sementara suster mencari data atas pasien atas nema Dion. “Dion kecelakaan.” Dan air mata itu turun lagi. Firman mengarahkan buku-buku jarinya untuk mengapus air mata itu. “kamar mawar nomor 205 dilantai dua.” Fella secara tidak sadar langsung menggadeng tangan Firman menuju tangga setelah mengucapkan terima kasih pada suster. Dan matanya terpaku pada sosok orang yang terbaring diranjang kamar nomor 205. Ia masih berdiri didepan. Hanya melihat dari kaca yang ada ditengah pintu. Ia bisa melihat hampir seluruh tubuh Dion dibalut perban. Sebelah kakinya di gips dan tergantung agak keatas. Perban itu juga menyilang dari bahu kiri sampai ke pinggang kanan Dion. Kepalanya juga di perban dan wajahnya, Fella bisa melihat pipi sebelah kanan Dion luka. Sepertinya terkena aspal.
Bibir Fella bergetar dan ia menagis tanpa suara. Ia membalik badanya dan memeluk Firman. “itu Dion Firman, itu Dion” katanya sabil menangis didada Firman. Firman mengelus pundak Fella. Mencoba memberikan ketenangan untuk gadis itu. “Fella.” Yang dipanggil menoleh dan mendapati Adnan menghampiri mereka. Adnan adalah salah satu sahabat Dion yang ia kenal. “Adnan, Dion nggak kenapa-kenapa kan? Kenapa bisa jadi begini?” Fella sesenggukan sementara Adnan hanya memandang nya dengan kesedihan yang sama. “Dion tabrakan Fell, dia nerobos lampu merah jam tiga pagi. Dia nggak nggak sadar ada mobil yang melaju kencang dari arah lain.” Fella menutup mulutnya. “dia nggak pake helm jadi kerangka otaknya pecah dan sekarang dia koma.” Hati Fella mencelos seketika. Ia menatap Fimran dan sekelebat bayangan saat dirinya naik motor bersama Dion berputar bagai slide. Hanya Dion, bagaimana kalau saat itu dirinya bersama Dion. apa yang akan terjadi padanya.

Fella, helm itu bukan cuma buat menghidari polisi. Helm itu untuk keamanan. Kalau nanti kenapa-kenapa dijalan, helm itu bisa menyelamatkan kepala kamu dari benturan keras. Tapi bukan berarti aku mendoakan yang macam-macam. Hanya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Aku akan tetap berhati-hati.”

jalanan itu nggak bisa di prediksi Fella. Kecelakaan itu bukan cuma karena kita nggak hati-hati. Tapi bisa juga karena orang lain nggak hati-hati. Itulah kenapa kita butuh yang namanya safety riding. Karena nyawa kamu lebih berharga dari apapun

Thursday 13 August 2015

Senja di sebuah Taman

 Sejak sejam yang lalu Damar belum bergerak dari posisinya.
Ia menatap ke taman. Kaca mobilnya dibuka lebar-lebar sehingga ia bisa dengan jelas melihat dua sosok yang sejak tadi tidak lepas dari pandangannya.
Bagi orang lain. Melihat seorang ibu dan anak penjual kue itu memang tidak menarik.
Wanita paruh baya dan seorang anak yang kira-kira berusia 10 tahun itu berpakaian lusuh. Duduk di depan taman dengan menggelar sebuah koran dan menaruh dua baskon berisikan dagangan mereka.
raut wajah wanita itu sendu dan terlihat lelah anaknya pun terlihat seperti tidak begitu terurus. Kaus yang dipakainya lusuh. Seperti telah dipakai berhari hari tanpa dicuci.
Damar sudah hapal jadwal dua orang itu. Sepuluh menit lagi. Mereka akan beranjak dari tempatnya sekarang dan menyusuri perumahan megah untuk menuju gubuk mereka.
Damar masih mengikutinya dari belakang. Pelan-pelan hingga tidak ada satupun yang curiga. Hingga sampai ke sebuah rumah kecil diujung jalan. Kedua orang itu masuk. Dan setengah jam kemudian anak kecil itu keluar kembali. Dengan kaus yang sedikit lebih bersih dan rambut yang masih basah, ia berlari menuju lapangan bola tak jauh dari rumahnya.
Damar sempat melihat sebuah senyum tersungging dari bibir anak itu. Selang kepergian anak kecil itu, seseorang seumur dirinya menyambangi rumah itu. Dengan kemeja kotak-kotak dan jeans belel, laki-laki itu masuk setelah melepas alas kakinya.
Hari beranjak sore dan damar belum merubah posisi mobilnya, belum juga berniat meninggalkan tempat itu. Hingga senja berganti pekat. seorang laki-laki paruh baya mengelap peluh saat sampai dirumah itu. Pria itu duduk sebentar didepan rumah, baru akhirnya masuk.
Lima belas menit kemudian. Seisi rumah keluar. bersama seorang anak kecil yang telah kembali dari kegiatan bermainnya, dengan wajah sumringah seakan lelahnya hari ini tak mereka rasakan. Ketiga laki-laki itu memakai sarung dan ibunya menenteng mukena.
Damar keluar dari mobil. Dan perlahan mengikuti jejak keluarga itu, seperti rutinitasnya kemarin-kemarin.
Damar bisa melihat sayup-sayup percakapan mereka. Membuat hatinya terasa nyeri. Tawa renyah tak pernah lepas dari bibir mereka.
Mereka memasuki sebuah mushola kecil di kampung itu. Begitu juga dengan Damar. Ia mengikuti para laki-laki menuju tempat wudhu dan mulai berwudhu tanpa membuat orang lain terlebih keluarga itu curiga.
sebelum sholat dimulai. Ia duduk menyender di tembok, mengambil sisi paling kiri sambil menunggu sang imam. Ia hanya berjarak beberapa meter dari pantauannya. Setelah imam masuk dan menyuruh makmum merapikan shaf. Damar tersentak oleh suara itu "sini nak, masih muat" pria paruh baya yang sejak tadi dipandanginya itu kini menatap kearahnya dengan senyum tulus. Dengan canggung ia mendekat dan kini berada disebelah pria itu.
Setelah menyelesaikan solat. Ia menoleh dan sedikit terkejut melihat pria itu mengulurkan tangannya. Seperti yang biasa orang lain lakukan ketika selesai sholat. Damar menjabat tangan itu. Satu detik.. dua detik... tiga detik.. ia belum juga melepaskan tangan itu. Ia menarik nafas panjang. Mencoba menahan air mata yang sudah terasa menggenang dipelupuk matanya. Mendorong keinginan untuk mencium tangan itu atau mengempaskannya dengan kasar. Bingung harus tersenyum atau malah meluapkan marah pada pria itu.
Pria itu berdehem, membuat damar kembali dari lamunanya. "Eehh maaf pak." katanya sambil melepaskan jabatannya pelan-pelan.
"Kamu bukan orang sini ya nak?"pria itu menoleh setelah selesai berdoa. Damar menggeleng pelan. "Darimana dan mau kemana?" Tanyanya lagi
"Saya mau pulang. Hanya sekedar mampir karena pas jamnya sholat." Katanya berbohong. Pria itu mengangguk. Hanya kali ini damar bisa melihat wajah itu dengan jelas. Wajah yang dihiasi guratan kelelahan. Tanpak tidak terurus. Kulit pria itu hitam seakan ia menghabiskan setiap harinya dibawah paparan sinar matahari.
"Bapak tinggal didaerah sini?" Tanyanya.
"Iya, tidak jauh dari sini. Diujung jalan." Selesai berdoa pria itu menyingkir mempersilahkan orang lain yang ingin sholat. Damar mengikuti.
"Itu anak-anak bapak?" Tanyanya lagi sambil melirik ke dua laki-laki beda umur yang sedang mengobrol dengan warga lain.
"Iya."
"Hanya dua?" Tanyanya lagi
"Iya cuma dua." Jawabnya singkat dan seketika itu juga Damar serasa dihantam oleh batu ribuan ton. Dadanya nyeri dan sesak oleh rasa sakit hati.
"Sebenernya anak saya ada satu lagi." Damar yang sedari tadi menunduk langsung mengangkat wajahnya dan melihat raut wajah pria itu berubah sendu.
"Kemana dia pak?" Tanya damar pelan.
"Dia diangkat oleh sebuah kelurga kaya. Dan sekarang mungkin dia sudah bahagia. Tidak merasakan susah seperti adik-adiknya."
Damar tersenyum kecut. Dadanya berdentam-dentam dengan keras sampai terasa ingin melompat dari tempatnya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang. Apa ia harus berterimakasih pada ayah kandungnya, pria yang ada didepannya ini bahwa ia membiarkan anaknya diasuh oleh keluarga kaya. Rumah megah, mobil mewah, pendidikan tinggi dan uanga banyak yang bisa ia nikmati.
Atau ia harus marah karena pada kenyataannya ayahnya membiarkannya jatuh ke tangan seorang koruptor kelas kakap dan seorang pecandu narkoba.
Ayah dan ibu angkatnya begitu baik. Walaupun mereka jarang berada dirumah karena sibuk, rumah megah itu kosong. Tiap pulang, ia merasakan hawa dingin menyelimuti rumah itu. Rumah seperti tidak berpenghuni.
Orang tuanya memang selalu mencukupinya dengan uang, bahkan lebih dari yang ia minta tapi pada kenyataannya itu saja tidak cukup buatnya.
Ia ingin orangtuanya ada saat itu membuka mata, mereka akan sarapan bersama. Lalu pulangnya, ia akan disambut oleh senyum hangat ibunya dan mereka ada bercengkrama bersama hingga makan malam. Tapi pada kenyataannya semua itu hanya menjadi angan buatnya. Orangtuanya terlalu sibuk bekerja untuk mengejar duniawi.
Tiga bulan yang lalu beberapa anggota polisi datang kerumah dan menangkap ayahnya karena kasus dugaan korupsi dan sebulan kemudian ibunya digerebek disebuah tempat tengah mengadakan pesta barang haram. dan akhirnya ia tau bahwa ia bukan anak kandung keluarga itu. ia diadopsi sejak berumur dua tahun lebih. Tidak lama setelah ibunya melahirkan adiknya. Ibu angkatnya menceritakan semuanya saat Damar berkunjung ke panti rehabilitasi tempat ibunya dirawat.
Dan sekarang ia berada dihadapan ayah kandungnya. Segudang pertanyaan bergumul diotaknya
Apakah orangtuanya tau kalau ia menderita?
Kebahagiannya tidak seperti yang mereka kira?
Apakah mereka tau kalau selama hidupnya Damar kesepian?
Apakah mereka sadar kalau mereka memberikan Damar ke orang yang salah?
Apa mereka tau bahwa ayah angkatnya adalah seorang koruptor dan ibunya seorang pecandu narkoba?
Apakah mereka tau kalau Damar tidak mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka harapkan?
Dan pertanyaan terkahir dalam benaknya adalah

Apakah mereka tidak menyesal saat tau bahwa anaknya, darah dagingnya telah dihidupi dengan uang haram??





Thursday 19 February 2015

Surat untuk Kau yang Pernah Kupanggil SAHABAT







        
           Sebelumnya, aku tidak pernah berfikir untuk menulis surat ini. aku bukan seorang penulis yang pandai merangkai kata. Menyulap sebuah makian menjadi kata yang begitu indah. Tapi aku sadar bahwa mungkin dengan menulis surat ini. akan sedikit mengurangi rasa sakit hatiku. Mungkin kalau kau membaca surat ini. kau akan berfikir bahwa aku pengecut. Aku pria yang terlihat baik-baik saja tapi menyimpan jutaan rasa sakit yang bahkan tidak akan pernah bisa kau bayangkan. 

         Tapi harusnya kau sadar bahwa aku hanya manusia biasa. Mudah merasa sakit saat tergores luka. Mudah terbakar saat kau sulut api. Bahkan bisa menangis saat merasakan pedih. Aku nyatanya sudah kehabisan kata untuk memakimu. Aku sudah terlalu lelah untuk menonjok ataupun menamparmu. Aku sudah ingin menutup lembaran demi lembaran yang kau torehkan dalam hidupku, juga mantanku yang tak lain adalah pacarmu. Tapi kenapa terasa begitu sulit.
              
          Aku hanya ingin mengenang sedikit tentang kita. Tentang persahabatan kita yang tidak pernah kubayangkan akan berakhir seperti ini. kau ingat saat kita pertama kali bertemu di bangku sekolah menengah. Kita sama-sama dihukum karena telat. Dan sejak itu kau dan aku bagai saudara yang begitu sulit terpisahkan. Walaupun berada di kelas yang berbeda, saat lepas dari jam pelajaran bisa dipastikan dimana ada aku situ kau selalu beriringan dengaku. Kita bagai dua sejoli yang tidak terpisahkan. Kita tidak pernah peduli saat banyak orang bilang bahwa kita “homo”. Kita selalu menutup telinga saat orang bilang bahwa kita aneh dengan segala tingkah laku kita.
              
            Orangpun banyak berpikir bagaimana mungkin kita bisa sebegitu dekat padahal kepribadian kita begitu berbeda. Aku adalah laki-laki pendiam dan cenderung kaku sedangkan kau adalah laki-laki urakan yang begitu cerewet dan tidak bisa diam. Tapi aku sadar mungkin perbedaan itulah yang membuat kita bisa saling melengkapi. Kau bisa membuatku menjadi sosok yang tak kalah cerewet denganmu yang akhirnya membuatmu diam tanpa suara. 

        Kau ingat saat pertama kali kau jatuh cinta? Saat kita kelas 2 SMA. Yaah.. tuhan begitu baik membiarkan kita masuk ke sekolah menengah atas yang sama.  Kau jatuh cinta pada Mila, anak baru yang menurutmu begitu lucu. Gadis berkuncir kuda dengan kacamata yang selalu membingkai mata indahnya. Iya, kau yang nyatanya begitu pandai bergaul pun Nampak mati kutu saat bertemu dengannya. Kau hanya berani sesekali meliriknya di kantin dan melempar senyum kecut saat berpapasan dengannya. 

         Hingga akhirnya kau mengandalkanku yang kebetulan satu eskul dengannya. Aku yang notabenya kurang pandai bergaulpun harus mulai memberanikan diri untuk membantumu. Mulai dari mengobrol dengannya sampai akhirnya mengenalkan kalian. Meminta berbagai macam media sosialnya hanya agar kau bisa mengetahui lebih dalam tentangnya. Tentang perasaannya setiap hari, makanan kesukaannya, film favoritnya hingga foto-foto di akun media sosialnya.

           Hey sahabat… kau ingat saat kau menelponku jam 2 pagi hanya karena kau tidak bisa tidur karena habis bertelpon ria dengannya. Kau ingat saat pagi buta di hari minggu kau sudah menggugah tidur nyenyakku hanya untuk membantumu memilih pakaian yang cocok untuk jalan dengannya. Kalau kau lupa dengan yang itu, kau harus ingat yang ini. ingat saat hujan deras dan kau meminta tolong untuk membelikan sekotak cokelat untuk Mila yang saat itu ngambek karena kau telat menjemputnya. Iya.. saat itu hujan deras dan demi kau, sahabatku, aku rela melaju dengan sepeda motorku menuju kafĂ© tempat kalian berada. Sebagian tubuhku basah karena jas hujanku nyaris tidak berfungsi dibawah hujan yang begitu derasnya. Dengan keadaan setengah kuyub kau menemuiku hanya untuk mengambil cokelat itu dariku dan memberikannya pada pacarmu.

            Aku bukannya ingin mengungkit apa yang sudah aku lakukan padamu. Pada kenyataannya kau juga begitu baik padaku. Ingat saat aku kesulitan mengerjakan tugas melukis dari guru kesenianku. Kaulah yang malam itu begadang mencoret-coretkan cat air di kanvas. Kau masih terjaga bahkan saat aku sudah terlelap tidur. Ingat saat aku terlibat pertengkaran dengan anak sekolah lain yang kalah saat bermain basket denganku. Kaulah orang pertama yang maju. Tidak peduli bahwa mereka beramai-ramai dan kita hanya berdua. Kau yang punya keahlian bela diripun tidak luput dari luka memar akibat tertonjok. 

            Hingga kita lulus dan masuk di kampus yang sama. Semuanya masih begitu indah. Kita mulai berbagi semua-muanya. Kita berbagi kamar, berbagi lemari, berbagi makan bahkan berbagi pakaian. yaah.. kita memang akhirnya memilih menjadi lebih mandiri dengan kost digang dekat kampus. Kau mungkin tidak akan melupakan bagaimana kita berjuang mati-matian menghemat uang jajan agar bisa sampai akhir bulan. Membatasi setiap pengeluaran agar tidak perlu meminta uang saku kepada orang tua di pertengahan bulan. Kau ingat saat kita makan sepiring berdua?? Lucu kala mengingat bagaimana kita dulu begitu solid. Aku bahkan rela memberikan uang simpananku untuk membantumu membayar uang semester kala orangtuanmu telat mengirimimu uang. Sekali lagi, aku bukannya ingin mengungkit kebaikanku padamu. Hanya ingin kita sama mengingat bagaimana kita, yang dulu begitu dekat bisa menjadi seperti dua orang yang tak saling kenal. Kita dulu yang selalu beriringan bisa menjadi bersebrangan. Sulit dipercaya kalau hidup bisa berbalik secepat itu. 

         Kau ingat saat kau meluapkan emosi padaku saat putus dengan Mila. Hubungan kalian yang sudah bertahun-tahun harus kandas begitu saja. Sahabat, apakah kau tau bahwa aku juga merasakan sakit. Bahwa aku bisa merasakan kesedihanmu, bahwa aku rela kau jadikan pelampiasan kekesalanmu. Aku tetap terduduk diatas ranjangku kala kau bercerita dengan dada naik turun dan emosi yang terus membuncah. Lalu kau marah saat aku dengan santainya bilang “sudah, masih banyak wanita diluar sana yang lebih baik dari dia.” Kau tersulut amarah dan bilang bahwa aku tidak tau apa-apa soal cinta dan wanita. Aku yang memang belum pernah berpacaran kembali menjadi sasaran kekesalanmu. Aku sadar mungkin kata-katamu benar. Aku memang tidak mengerti apa-apa soal cinta dan pada akhirnya kau keluar dari kamar dengan membanting pintu keras-keras. Aku yang semalaman tidak bisa tidur karena menanti kau belum pulang terus menerus mencoba menguhubungimu dengan ponselku dan mendapati nomor telponmu tidak aktif. 

         Kau tau bahwa tidak sampai disitu sahabat. Tengah malam aku sibuk berkeliling mengunjungi tempat-tempat nongkrong kita dan berharap menemukanmu disalah satu tempat, tapi hasilnya nihil. Badanku menggigil menahan dinginnya angin malam karena tidak membawa jaket saking terburu-burunya. Lalu jam 3 pagi aku kembali kerumah dan mendapatimu tergeletak didepan rumah dalam keadaan mabuk berat. Aroma alkohol menguar dari mulutmu dan membuatku ingin muntah, tapi ternyata setelah aku membawamu masuk justru kau yang muntah. 

         Paginya aku bolos kuliah hanya untuk merawatmu yang belum sepenuhnya sadar. Padahal  aku ada kuis di dua mata kuliah hari itu. kau terbangun dengan rasa pusing yang sangat pada kepalamu. Itulah yang kau bilang saat itu. aku mengambilkanmu air hangat tapi tidak berani berkomentar apapun. Aku takut kau kembali tersulut amarah dan aku tidak mau kau kehilangan kendali seperti semalam. Tapi sudah kuduga bahwa kau orang yang begitu baik. Kau meminta maaf padaku atas kejadian semalam dan saat itulah aku melihat pancaran kehidupan baru dalam bola matamu. 

         Gairah hidupmu kembali lagi. Kau kembali menjadi orang yang kukenal dulu. dan pada akhirnya kaulah yang menjadi saksi pertama kali aku jatuh cinta. Yaahh.. aku yang kau bilang masih polos kini jatuh cinta. Aku menyukai seorang wanita. Wanita berambut panjang anak fakultas ekonomi. Aku yang cenderung pemalu kau godok habis-habisan untuk bisa lebih percaya diri. Kau mengajarkanku cara berkenal dengan seorang wanita. Aku bingung, dulu aku bisa dekat dengan Mila untuk mengenalkanmu padanya. Tapi kali ini kenapa terasa begitu sulit. Mungkin ini juga yang kau rasakan dulu. nyatanya kau yang jelas-jelas pandai bergaulpun tidak mudah mendekatkan diri pada wanita pujaanmu. 

         Kau membenahiku dari segala sudut. Kau mengajariku cara berbicara agar tidak cenderung kaku. Memperbaiki penampilanku yang terkesan jadul dan akhirnya kau juga yang menjadi mak comblang buatku. Fania, yaa Fania namanya, kau mendekati Fania hingga akhirnya mengenalkanku padanya. kau tidak tau bagaimana aku berterima kasih padamu sahabat. Kau membuat semuanya terlihat mudah kala gayung bersambut. Aku mulai sering menghabiskan waktuku dengan Fania, kau tidak marah karena sadar kau juga dulu menghabiskan banyak waktu bersama Mila dan aku tidak masalah. Kita sama-sama mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta. Kita tidak pernah berhenti saling support.

 Tapi kini kau punya sahabat baru, Fania tak ubahnya sahabat bagimu. Kita sering pergi bertiga. Menghabiskan malam minggu bertiga. Mengerjakan hal-hal konyol bertiga. Aku tidak merasa cemburu karena berfikir bahwa itu adalah hal yang wajar. Justru aku senang karena kau menerima Fania dengan baik. Sehingga aku tidak terlalu merasa mengabaikanmu. Bahwa kita masih tetap bersama saat aku mempunyai kekasih. 

Aku tidak pernah tau kalau itu adalah awal bencana untuk persahabatan kita. Iyaa… persahabatan kita yang akhirnya menjadi taruhannya. Malam itu, malam saat aku bertengkar hebat dengan Fania dan Fania memutuskan hubungan. Kau lah yang pertama mengulurkan tangan kepadaku. Kau merentangkan lenganmu dan memelukku. Mengucapkan beribu kata bahwa banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik dari Fania dan aku bisa mendapatkan wanita manapun yang aku mau. Saat itu aku memang tidak menangis atau meluapkan emosi sepertimu. Tapi kau tau bahwa aku merasakan sakit yang teramat dalam. 

 Kau akhirnya menuntunku kembali. Kau membakar kembali semangatku yang beberapa hari pupus. Aku tidak menyangka bahwa efek putus cinta bisa sebegitu dahsyatnya. Aku jadi berfikir bahwa dulu kau menghabiskan malam dengan mabuk-mabukan mungkin wajar karena pada akhirnya kau lebih cepat pulih dibanding aku yang hanya bisa diam dan tidak berani mengekspresikan luka itu.

 Tapi, saat luka itu perlahan terobati. Kenapa kau yang membantuku menutup luka itu justru merobek paksa luka itu bahkan semakin dalam? Aku tidak akan pernah melupakan malam itu. malam dimana kau berdandan begitu rapi. Kau yang biasanya cuek mendadak menjadi begitu rapi dan wangi pada saat itu. aku yang melihatmu bahkan sempat menggoda mu dan mengira mungkin kau sedang jatuh cinta lagi. Tapi kau tidak bersikap seperti biasa. Kau terkesan menyembunyikan sesuatu. Kau menjawab pertanyaanku hanya dengan sepotong senyum kecut yang sulit aku artikan. Kau keluar dari kamar dengan setangkai mawar yang kau sembunyikan di laci meja belajarmu. Lalu pergi begitu saat tanpa pamit. 

Aku yang entah kenapa mempunyai firasat tidak enak langsung membuntutimu dari belakang. dan saat itulah aku merasakan langit seakan runtuh didepan mataku. Kakiku terasa tidak memijak tanah kala dari kaca sebuah kafe aku melihatmu tersenyum pada Fania, mencium keningnya dan memberikan mawar itu padanya. berulang kali aku mengucek mataku dan berfikir bahwa aku salah liat, tapi sosok Fania terasa semakin nyata. Yaa.. itu Fania, aku tidak mungkin tidak mengenalinya walau kami sudah tidak bersama. 

Aku langsung berfikir apa kau pikirkan saat itu sobat? Apa kau terpikir akan aku saat kau tersenyum dan mencium kening wanita itu?  heeyy.. wanita itu mantan kekasihku dan kau sahabat terbaikku. Bagaimana mungkin kau melakukan itu padaku? Dadaku terus berdentum-dentum keras kala melihat kau asik bercanda dengannya. Apa kau alasan wanita itu memutuskan hubungan denganku. Oohh aku harap tidak. Sungguh aku tidak bisa menerima kenyataan itu. 

Malam itu kau pulang dengan senyum sumringah. Aku berusaha bertanya dan luka itu terasa menggores lebih dalam kala kau sekali lagi hanya menjawab dengan senyum tanpa dosa itu. berhari-hari aku menyembunyikan luka itu dan berusaha bersikap sebiasa mungkin denganmu tapi ternyata kau yang lebih banyak berubah. Kau lebih sering membatalkan janji nongkrong denganku. Kau sering menghilang tanpa jejak. Bahkan kau jadi lebih sulit dihubungi. Apa karena Fania? 

Aku tidak tau apa yang lebih menyakitkan dari ini. dari kenyataan bahwa sahabat terbaikku sekarang menjadi pacar dari mantanku. Dan mungkin dia adalah alasan kenapa Fania memutuskanku. Hari itu. aku memberanikan diri bertemu dengan Fania. Aku terpaksa menunggu wanita itu didepan kelasnya Karena ia sama sekali menolak bertemu denganku. 

Kau tau sobat apa yang aku rasakan saat itu? saat aku mendengar dari telingaku sendiri bahwa mantan pacarku, mencintaimu. Mencintai sahabatku dan yang lebih parah, kau tega menjadikannya pacar saat dia menjadi milikku. Kau tau apa yang lebih sakit dari itu? kau adalah alasannya sobat. Kau adalah alasan kenapa ia memutuskan hubungannya denganku. Dia akhirnya memilihmu atau mungkin kau yang menyuruhnya memilih?

Aku yakin kau tidak tau bagaimana sakitnya karena itu tidak akan ada dalam pikiranmu. Yaa.. jangankan kau, akupun tidak pernah berfikir bahwa kejadian ini akan aku alami. Luka yang kau buat, yang bahkan belum sempat terobati kini malah kau siram dengan air garam. Seandainya ada kata diatas kata “SAKIT HATI” mungkin itu yang pantas aku sandang. Bagaimana mungkin kau tega melakukan itu padaku kawan? Apakah persahabatan kita tidak ada harganya buatmu? Adakah sedikit terlintas wajahku saat kau berdua dengannya. Adakah kau teringat bagaimana aku bilang bahwa aku sangat menyayanginya? Tidakkah kau berfikir bagaimana perasaanku saat mengetahui ini semua?

Dan kini setelah malam itu aku mengepaki barang-barangku sehabis membongkar hubunganmu dengan mantanku. Aku masih saja sering teringat denganmu. Aku tau bahwa maaf yang kau ucapkan malam itu belum bisa aku jawab bahkan sampai detik ini. bukannya aku tidak pemaaf. Aku hanya butuh waktu untuk melupakan semuanya. Melupakan tiap inci goresan luka yang kalian buat. Mungkin kau akan bilang aku berlebihan, bahwasanya hal seperti ini sering juga terjadi pada yang lain. Tapi nyatanya kau mungkin tidak akan pernah terfikir bagaimana kalau kau ada di posisiku. 

Aku tidak berharap kau membaca surat ini. aku hanya ingin kau tau bahwa aku masih sering merindukanmu sobat. Merindukan persahabatan kita. Apakah kau juga sama? Atau mungkin kau sudah sibuk dengan yang lainnya. Nanti, disaat rasa sakit hati itu memudar, kala goresan luka itu menghilang, kala aku bisa mengingatmu tanpa merasakan sakit. Saat itulah aku akan menemuimu. Aku akan berdiri didepan rumahmu, rumah kita dulu, aku akan berdiri disana, merentangkan lenganku lebar-lebar dan berkata “kau tetap sahabat terbaikku.”